Pujan Karo, Upacara Tradisi Masayarakat Tengger


Upacara Karo, Rekaman Kesetiaan Dua Abdi Setya dan Setuhu

Pada setiap tanggal 16 bulan purnama bulan Karo, masyarakat Tengger merayakannya dengan permainan Sodoran dan mengeluarkan Jimat Klontong untuk dibersihkan. Pada saat itu seluruh masyarakat merayakannya dengan sukacita, saling berkunjung untuk mempererat tali persaudaraan. Berbagai makanan baik yang berupa Tumpeng, kue- kue dan sesanding untuk dibawa ke Sanggar Punden, dan untuk dima­kan bersama-sama.

Upacara Karo di awali dengan kunjungan ke Sanggar Pundon, tem­pat makam cikal bakal desa. Kemudian dilanjutkan mengadakan upacara pujan di Sanggar, dengan maksud mengucapkan terimakasih kepada Hong Pokulun, atas hasil panen yang baik. Tidak lupa pula setelah selesai dari Sanggar Pamujan dan dilanjutkan berziarah ke makam leluhur, per­arakan ke Punden cikal bakal itu menjadi ramai karena hunyi gamelan yang mengiringinya. Di tempat suci tersebut, Dukun mulai mengujub- kan dengan membaca mantra-mantra, sementara alunan gamelan dengan gending Rancagan meningkahi ucapan Dukun yang mengucap mantra. Seusai Dukun membacakan mantranya, yang hadir disitu kemudian mem­beri sesajen yang berupa juadah, pipis, tumpeng panggang ayam, gedang ayu. Sesajen itu dimaksudkan sebagai sandingan arwah leluhur.

Selesai dengan upacara di Punden, kemudian mereka pulang ke- rumahnya masing-masing. Tumpeng dan lauknya yang telah dimantrai dibawa pulang untuk dimakan bersama dengan seluruh keluarga.

Di dalam pujan Karo, dilangsungkan beberapa kegiatan yaitu So­doran, Selamatan Tumpeng Gede di tempat petinggi, menyediakan se­sanding di rumah masing-masing, diakhiri dengan Ngeraon.

Dalam rangkaian upacara Karo itu, Sodoran merupakan pertunjuk­an yang menarik seluruh masyarakat. Lazimnya penyelenggaraannya di tempat petinggi atau Balai Desa, yang diatur sebara bergiliran penyeleng­garaannya Sodoran menurut dongengannya berhubungan dengan penghor­matan turunnya Jimat Klontong dari tempat penyimpanan. Tempat pe­nyimpanan Jimat Klontong, bergiliran antara desa yang satu dengan yang lain. Bagi masyarakat Tengger Jimat Klontong dikramatkan, mereka percaya bahwa Jimat Klontong itu merupakan jimat tiban, artinya datang sendiri tidak diketahui asal usulnya. Orang pertama yang menjumpainya ialah pendeta yang bernama Kyai Dadap Putih. Kepercayaan itu terutama dikalangan masyarakat desa Ngadisari dan sekitarnya.

Tetapi menurut kepercayaan masyarakat Tengger yang tinggal di daerah Tosari dan Wonokitri, yang termasuk Kabupaten Pasuruan, Jimat Klontong itu diketemukan oleh dua orang pertapa yang bernama Kyai Tunggak dan Kyai Tompo, setelah kedua orang itu bertapa selama 40 hari. Maksud diadakannya Sodoran, bagi masyarakat desa Tosari dan “Wonokitri, adalah untuk memperingati arwah leluhur orang Tengger yang bernama Ajisaka serta pengikutnya. Di kalangan masyarakat Ngadisari, sodoran diadakan untuk memperingati pertandingan dua abdi yang sa­ngat setia yang bernama Satya dan Satuhu. Diceritakan pula bahwa baju Ontokusumo itu oleh Kyai Dadap Putih disimpan di Tosari, sedangkan pengaronnya disimpan di Ngadisari.

Jimat Klontong itu berupa:

  1. Delapan batang Sodor yang tangkainya terbuat dari bambu apus se­besar tangkai sapu, sepanjang 3 m. Warnanya kehitam-hitaman seperti hangus, pada ujung sodor itu diikatkan sabut kelapa pada dua tempat
  2. Pengaron kanteng, yang lebih kecil dari pengaron keramat tempat baju klontong, pada sebelah luar dibubuhkan kapur melingkar. Sedangkan dibagian dalam tertera gambar gambar memakai kapur juga, meling­kari dalam jarak yang sama. Gambar itu berupa.
  3. Empat buah tanduk banteng, berwarna hitam.
  4. Kendi kecil berwarna hitam.
  5. Tabung dari bambu dengan tutup kayu. Garis tengahnya 20 Cm, ting­ginya 20 Cm. Di dalamnya terdapat Oeangg Republik Indonesia (ORI) lama, beberapa helai uang Jepang.
  6. Dua buah kapak batu monolitik.

Dalam pertunjukan Sodoran, benda-benda tersebut mempunyai tugas ma­sing-masing, kecuali tabungan (celengan) dan kendi.

Suasana Sodoran benar-benar merupakan pesta antara penduduk desa di Ngadisari, Jetak, Wonotoro, dan Ngadas. Mereka memang meng­anggap pertemuan Sodoran itu antara dua fihak yang akan besanan. Kedua kepala desa yang mengadakan sodoran seolah-olah besan antara dua belah fihak. Pada tahun 1955 Petinggi Ngadisari yang menjadi tuan rumahnya, sedang petinggi Wonotoro sebagai besannya (tamunya). Petinggi Jetak sebagai pengiring. Pada tahun 1978, Petinggi Jetak sebagai tuan rumah yang mempunyai hajat, sedang petinggi Ngadisari sebagai besannya, sedang petinggi Wonotoro sebagai pengiring.

Pada waktu yang telah ditentukan bersama, biasanya sekitar jam 10.00 pagi, datanglah rombongan petinggi dan pengiring yang akan men­jadi tamu. Petinggi berjalan paling depan diiringi dengan gamelan yang terdiri dari kendang, kenong, slompret dan kendang kecil yang bernama ketipung. Keseluruhan gamelan itu kemudian dikenal dengan nama Ke­tipung.

Sesampainya di tempat petinggi, yang menjadi tuan rumah, segera mempersilahkan tamunya masuk ke pendopo. Di tempat itu telah terse­dia bangku panjang, tempat para peserta sodoran. Peserta dibagi menjadi dua, sesuai dengan kedudukan mereka sebagai tuan rumah dan tamunya. Di sanapun telah disediakan sajian berupa kue pasung, pipis juadah, je­nang, nasi, pisang ayu. Semua makanan sajian itu ditempatkan di takir kawung, yang di alas dengan ajang malang.

Sebelum sodoran mulai petinggi yang menjadi tuan rumah mem­beritahukan maksud sodoran dan meminta agar para pesertanya mema­tuhi aturan yang ditetapkan. Setelah itu, petinggi menyerahkan kuasa kepada orang yang telah ditunjuknya untuk memimpin sodoran. Pemim­pin itu membaca mekakat, yang merupakan pengantar dimulainya so­doran.

Sang pemimpin sodoran mengucapkan mantra yang maksudnya mengundang para roh halus dengan berbagai perwujudannya untuk meng­hadiri sodoran itu. Sesudah itu mulailah ia meresmikan kedudukannya dengan sebutan yang dijabatnya. Oleh karena pekerjaannya ialah menjadi pemimpin yang memberi aba-aba dalam sodoran, ia disebut Prentah. Pembantu-pembantunya juga disebut menurut jabatannya yaitu: Kerti- jaya, Tunggur, Senapati, Lurah Kebolengan dan Kepetengan. Peserta harus menyebutnya dengan nama jabatan itu, dan dilarang keras menye­but namanya yang sebenarnya.

Setelah persiapan untuk Sodoran selesai, Prentah menyilakan Le­gen dari desa tuan rumah mengawali tarian sebagai pembukaan. Sikap tarian itu ialah, tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan diangkat ke atas, hingga jari-jari setinggi telinga kanan, jari telunjuk diluruskan.

Selama tarian itu berlangsung, gending Rancangan mengiringi si penari. Si penari memutar mutarkan jari telunjuknya sambil sebentar- sebentar merendahkan badannya sedikit, dengan menekukkan lututnya sedikit dan lurus kembali. Kemudian kaki diayunkan kedepan sampai tiga langkah. Setiap langkah bertepatan dengan irama gong, berhenti sejenak, menunggu gong berikutnya menapak lagi dan menapak lagi. Apa­bila sudah tiga langkah maju, maka ia kembali menuju ke tempat semula. Langkah waktu kembali itupun harus tiga langkah. Waktu memutar un­tuk berbalik harus ke arah kiri, bukan sebaliknya. Gerakan gerakan itu diulangi ke sana ke mari sampai tiga kali. Pada babak berikutnya, bunyi gamelan Rancagan makin menggebu, kendang semula dipukul dengan tangan, diganti dengan pukulan kayu.

Si penari itu kemudian mengajak seorang Legen tamu untuk menari bersama, keduanya berdiri berhadap-hadapan dalam jarak 6 meter. Ke­tika dua fihak penari mulai menari, irama gamelan berbunyi seperti irama permulaan, gerakannya pun mengulang seperti yang pertama. Ketika irama gamelan mulai menggebu lagi, keduanya mengambil sodor yang sudah di sediakan.

Cara memegang sodor ialah tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan mengepit sodor, dengan bagian ujung yang ada serabutnya di muka. Kalau irama gamelan cepat penarinya melangkah ke depan sampai tiga langkah dan kembali ke tempat semula, tiga langkah juga.

Apabila kedua Legen itu selesai dengan tariannya, maka Prentah berseru: Sarak, kedua Legen itu mengambil tanduk banteng masing-masing seorang. Tanduk itu berisi air, dan tanduk ini setelah penarinya selesai menari, diberikan kepada peserta Sodoran untuk berganti menari Antara So­doran babak pertama dengan babak berikutnya, selalu diselingi dengan semacam teka-teki, antara Prentah dengan Kertijaya, serta Tunggur.

Percakapan itu antara lain berbunyi:

Prentah            :”Kertijaya, dos pundi ajengane Brang ler?”(Bagaimana kehendak kelompok utara, Kertijaya?)

Kertijaya         : “ngGih, sampun sedeng kantos.” (Ya, sudah sedang menunggu.)

Prentah            :”Sabrang kidul?” (Bagaimanakah kelompok selatan.)

Tunggur           : “nggih, sampun sedeng kantos.” (Ya, sudah sedang menanti.)

Prentah            :”reh denten sampun kantos, maesa berik, kang di pundut.” (oleh karena sudah dinanti, yang diminta untuk dijawab “Maesa berik”) Maesa berik artinya kerbau yang berlaga, maka Prentahpun menyerukan “Wayon”, agar gending dipukul dengan Rancagan lagi.

Wayon artinya perintah untuk memukul gamelan lagi. Sesudah adanya aba-aba Prentah itu sodoran mulai lagi. Setiap kali Sodoran itu diakhiri dengan aba-aba Sarak, artinya menyerahkan tanduk, sampai se­luruh peserta Sodoran selesai dengan tanda Sodorannya.

Pasangan tarian biasanya dua orang yang saling berlawanan, ini melambangkan dua utus­an Setya dan Setuhu. Kemudian juga terjadi antara dua pasang, yang jumlahnya 4 orang. Sebagai tari pembukaan, bukan hanya Legen saja, kadang-kadang 5 orang yaitu, Petinggi dengan 4 orang pengiringnya.

Prentah selalu mengucapkan aba-aba: Gayung, setiap babak teka- teki selesai untuk diteruskan dengan teka-teki yang lain. Jawaban teka- teki itu sudah dihafal benar, sehingga jawabannya pasti tepat. Berikut ini beberapa contoh tentang teka-teki serta arti jawabannya:

  1. Maesa berik                          = bentelan, tetel
  2. Raga ebah                            = awak mosik, ikan osik

seperti api yang padam karena air pencuri menjauh tidak berani perbuatan tenungpun sirna.

Kemudian terdengarlah gending Jaten meningkah di udara. Dengan gending’ itu dimaksud sebagai suatu pemberitahuan bahwa para istri yang melakukan sodoran telah datang menjemput dengan membawa ma­kanan. Setelah terdengar gending giro, memberi tahukan bahwa istri-istri itu sudah boleh menemui suaminya. Segeralah timbul suasana akrab, dan makan bersama terjadilah. Setelah istirahat, sodoran dilanjutkan lagi sampai sekitar jam 15.00. Sodoran ini ditutup dengan bacaan mantra oleh Dukun dan mempersilakan para roh-roh halus yang diundang pulang ke asalnya. Sajian-sajian yang ada di atas meja dibagikan kepada yang hadir, dan Petinggi yang menjadi tuan rumah menjamu tamunya dengan makan minum. Jimat Klontongan dimasukkan kembali ketempatnya, siap untuk dipindahkan penyimpanannya ke desa yang akan menjadi tuan rumah. Pengiringnya laki-laki dan perempuan. Apabila jimat Klon tong itu sudah berada di tempat yang baru, disimpan di sanggar penyim­panan dan akan dikeluarkan lagi. pada upacara Karo tahun berikutnya.

Selesai upacara Sodoran di tempat Petinggi diadakan selamatan Tumpeng Gede. Sajian itu terdiri dari:

  1. Sajian Sanggar Ageng
  2. Sajian Tumpeng Ageng
  3. Sajian Sesanding.

Sajian Sanggar Ageng disebut juga dandosan resik, yang disediakan pe­tinggi di rumahnya sendiri. Sajian ini ditujukan untuk arwah leluhur agar desa dan penduduknya tidak diganggu. Di samping itu juga disampaikan untuk Hong Pokulun serta Aji Saka.

Tumpeng Ageng, yaitu sajian yang dikumpulkan dari penduduk yang dikumpulkan di rumah Petinggi. Suatu sajian yang lengkap ini ter­diri dari: Nasi tumpeng berbentuk kerucut, ayam panggang, pisang setangkap (dua sisir) kuwe pipis (nagasari dari gandum), juadah, kuwe pasung, agem yaitu bunga senikir yang disisipkan pada daun pisang, kelapa jejangan, sirih (dahu sepikul), pinang. Tumpeng Ageng ini dibagi- bagikan kepada yang hadir dalam Sodoran.

Sajian Sesanding, dibuat oleh masing-masing penduduk, dimaksud­kan untuk keperluan seluruh keluarga. Sajian ini biasanya diatur di atas balai-balai bambu, dengan dialasi tikar dan daun pisang yang lebar. Sajian itu terdiri dari: tumpeng kecil yang berjumlah 11 atau 22, 33, 44 asal habis dibagi dengan 11. Cara menghidangkannya disejajarkan kesamping. Nasi dengan lauk pauk, bermacam-macam kue, pisang ayu, sirih.

Di belakang jajaran tumpeng itu di tempat yang tinggi ditempatkan sebuah Agem. Agem yaitu bunga senikir yang disisipkan pada sehelai daun pisang. Agem ini dipegang pada waktu mengadakan upacara me­nyembah leluhurnya. Agen ini dijepit di antara jari-jari, dan digerak- gerakkan tiga kali, seperti dalam sikap menyembah. Sesanding itu disiap­kan oleh masing-masing rumah tangga. Upacara Karo yang berlangsung hingga 7 hari itu diakhiri dengan Ngeraon sebagai tanda syukur kepada Hong Pokulun, serta penghormatan kepada roh leluhur di Sanggar Punden.

Upacara Karo bagi masyarakat Tengger kiranya dapat dibandingkan dengan hari raya Idul Fitri bagi orang-orang Islam. Upacara Karo menu­rut keterangan Dukun Ngadisari untuk mengingatkan kisah dua orang abdi yang setia dari Aji Saka dan Nabi Muhammad.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Reog  di Jawa Timur. Jakarta:  Upacara Kasada dan Beberapa Adat Istiadat Masyarakat Tengger, Proyek Sasana Budaya , Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1978-1979. hlm. 65-84

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Probolinggo, Seni Budaya, Th. 1978 dan tag , , , , , , , . Tandai permalink.

Satu Balasan ke Pujan Karo, Upacara Tradisi Masayarakat Tengger

  1. pahang berkata:

    saya masih tidak mengerti apa maksud dari kalimat terakhir.

Tinggalkan komentar