Terjadinya Reog Panaraga, Versi Kelana – Sanggalangit


Bujangga Anom adalah putera raja Daha, Sri Genthayu, pada suatu hari diam-diam telah meninggalkan negerinya, kemudian berguru kepada seorang petapa yang sakti di lereng gunung Lawu. Kebetulan sang petapa tersebut mempunyai murid pula yang bernama Kelana Sewandana, seorang raja di Bantarangin. Terjalinlah persahabatan yang akrab antara Bujangga Anom dan Raja Kelana Sewandana. Ketika diuji kesaktian masing-masing oleh sang guru, setelah mereka menyelesaikan masa puruhitanya, ternyata keduanya sebanding. Kelana Sewandana sangat berkenan hatinya terhadap Bujangga Anom, lalu diangkatnya menjadi patih kerajaan Bantarangin.

Pada suatu malam Sang Kelana bermimpi kawin dengan puteri Daha yang bernama Dewi Sanggalangit, yang tidak lain adaiah saudara Bujangga Anom sendiri. Keesokan harinya Sang Kelana mengutus Patih ( Bujangga Anom menyampaikan lamaran ke Daha. Bujangga Anom berang­kat ke Daha dengan membawa perajurit secukupnya.

Syahdan sampai di perbatasan Bantarangin. dan Daha, perjalanan pasukan Bujangga Anom dicegat oleh pasukan harimau dan merak, rakyat Raja Singabarong yang merajai hutan belantara yang sukar ditembus oleh manusia. Perang terjadi, tetapi pasukan Bantarangin kalah, dan terpaksa mengundurkan diri kembali ke Bantarangin.

Prabu Kelana Sewandana, setelah mendengar laporan Patih Bujangga Anom, menjadi sangat murka. Ia ingin berangkat sendiri, dan memerin­tahkan menyiapkan pasukan prajurit pengiring berlipat ganda, baik yang berkuda maupun yang berjalan kaki.

Di perbatasan Bantarangin dan Daha terjadi lagi bentrokan antara pasukan Singabarong dan’pasukan Kelana Sewandana. Kali ini pasukan Singabarong terdesak. Banyak prajuritnya yang mati atau tertawan. Ke­mudian tampil Raja Singabarong sendiri untuk melawan Sang Kelana. Ia didampingi oleh Raja Merak yang berjalan maju dengan mengem­bangkan bulunya yang berwarna hijau berkilauan sangat mempeso- nakan. Jalannya tegak dengan angkuh dan angkernya. Sedang Raja Singa­barong berjalan dengan gayanya yang malas, alap-santun, sebentar-se- bentar mengibaskan kepalanya, sehingga surinya yang lebat terurai ber- alun-alun, terkena sinar matahari seperti emas diupam layaknya.

Bujangga Anom kuatir kalau-kalau Prabu Kelana Sewandana men­jadi terlena karena pemandangan yang indah dan agung itu, maka lekas dihampirinya dengan isyarat untuk bersiap-siap berperang. Prabu Kelana menangkap isyarat itu, lalu maju menyambut musuhnya. Terjadi perke­lahian seru, satu lawan dua. Prabu Singabarong yang semula berjalan dengan alap-santunnya tanpa memperlihatkan kehebatannya, setelah ber­tarung, ternyata sangat cekatan, luar biasa kekuatannya, meloncat ke kiri, menghindar ke kanan, menapuk, menggigit, menerkam, menerjang, sehingga Kelana Sewandana terengah-engah kehabisan napas. Apalagi di­lawan dua bersama Raja Merak yang menyerang dari atas, memupuh, memagut, menyusuh, berulang-ulang. Benar-benar Kelana Sewandana tidak mendapat kesempatan untuk membalas. Akhirnya ia menarik diri, dan memerintahkan seluruh pasukannya mundur meninggalkan medan.

Kelana mencari tempat persembunyian untuk bersamadi. Ia minta bantuan gurunya. Tiba-tiba gurunya pun menampakkan diri, berdiri di depannya dan menyampaikan pesan, agar Raja Singabarong dan Raja Merak dipancing dengan tetabuhan, dan orang menari-nari di depannya, dengan menggunakan topeng yang aneh, lucu, tetapi sekaligus pun mena­kutkan. Dengan demikian Raja Singabarong dan Raja Merak akan hanyut terlena oleh bunyi tetabuhan dan gerak tari serta perujudan yang aneh tersebut. Dan di situlah letak kelemahan Singabarong dan Merak. Pada saat yang demikian terbukalah peluang bagi Kelana Sewandana untuk melumpuhkan kesaktian mereka dengan melecutkan cemeti pusaka yang bernama “gendir wuluh gadhing” ke tubuh mereka. Sang petapa kemudian menyerahkan sebuah cemeti pusaka yang dimaksud kepada Prabu Kelana Sewandana. Sesudah itu gaiblah ia.

Dengan semangat yang pulih kembali, Kelana Sewandana menyusun barisannya mengatur siasat. Patih Bujangga Anom dimintanya mengenakan topeng yang dimaksudkan dan menari-nari menggoda di depan Singaba­rong dan Merak, dibantu oleh dua orang wira yang berpakaian badut dan bertopeng pula, sedang beberapa prajurit berkuda ikut pula menari-nari di atas kudanya masing-masing mengitari tidak jauh. Beberapa prajurit lain­nya membunyikan tetabuhan seadanya, terdiri dari peralatan musik perang berupa kendhang, dhog-dhog, gong beri, bendhe, selompret, dibarengi dengan suara senggakan yang riuh rendah. Sementara pasukan-pasukan lainnya dipimpin oleh Kelana Sewandana bersiap-siap setiap saat untuk menyerang pasukan Singabarong dan Merak, setelah Kelana memberikan isyaratnya dengan melecutkan “gendir wuluh gadhing” ke tubuh Singa­barong dan Merak.

Siasat dilaksanakan sesuai dengan rencana. Mula-mula Singabarong dan Merak terkejut keheran-heranan. Mereka saling berpandangan, tetapi kemudian Merak pun mulai mengigal. Bulu ekornya yang panjang itu di­kembangkan tegak berdiri melingkar membuat bentuk kipas rasaksa berwarna hijau kemilauan sangat indahnya. Dengan anggun ia berjalan kian-kemari dengan kepalanya menganggut-anggut mengikuti irama ken­dhang.

Tanpa disadari kaki Singabarong pun mulai ikut berkejutan mengi­kuti bunyi tetabuhan yang sigrak bersemangat itu. Lama-lama badannya pun ikut bergerak, meliyuk-liyuk menirukan orang menari. Kepalanya digelengkan ke kanan dan ke kiri, surinya berombak-ombak. Sorak-sorai orang Bantarangin bergemuruh memenuhi angkasa, bersahutan dengan senggakan-senggakan menambah kemeriahan suasana. Patih Bujangga Anom mengenakan topeng berwarna merah dengan sepasang matanya yang melotot, hidung panjang, kumis tebal dan rambut gimbal. Ia menari- nari dfcngan gerak-gerik yang lucu di hadapan Singabarong dan Merak sambil menggoda. Kegembiraan semakin memuncak, ketika Raja Merak terbang ke udara untuk kemudian hinggap bertenggar di atas kuduk Singa­barong dan mengigel.

Prabu Kelana Sewandana waspada. Cemethinya sudah disiapkan. Pasukan berkuda dan yang berjalan kaki sudah siap-siap pula menanti isyarat dari pemimpinnya. Singabarong dan Merak sudah mabuk kepa­yang dan lupa segalanya. Dan pada saat itulah bunyi “gendir wuluh gadhing” menggeletar melecut tubuh Singabarong dan Merak sekaligus, hingga kedua mahluk itu lumpuh tiada berdaya sama sekali.

Bersamaan dengan bunyi lecut cemethi, tiba-tiba tetabuhan ber­henti mendadak, sebagai isyarat bagi pasukan berkuda yang sudah dise­pakati untuk menyerbu barisan musuh yang sudah lengah sama sekali. Pasukan yang berjalan kaki mencegat mereka yang berusaha melarikan diri, dengan demikian mereka ditumpas atau ditawan.

Singabarong dan Merak minta pengampunan dan merajuk-rajuk agar kekuatannya dipulihkan kembali. Mereka berjanji membantu Sang Kelana melamar puteri Daha. Permintaan Singabarong dan Merak dika­bulkan. Dengan kesaktian Kelana, Singabarong dan Merak pulih kembali kekuatannya. Peperangan dihentikan, dan mereka pun bersama-sama mengiringkan raja Kelana Sewandana meneruskan perjalanan ke Daha.

Sepanjang jalan menuju ke Daha-, penduduk desa-desa yang dile­wati menjadi terheran-heran menyaksikan suatu perarakan yang aneh, yang selama hidup belum pernah mereka saksikan. Paling depan sebagai perintis sepasukan prajurit bersenjata. Kemudian seorang penari dengan menggunakan topeng merah lucu tetapi pun menakutkan. Rupanya Patih Bujangga Anom enggan menanggalkan peranannya sebagai badut Ganong (demikianlah sebutan namanya kemudian). Jalannya maju mundur menari- nari menggoda Singabarong, yang juga ikut menari. Raja Merak mengigal, angkuh dan anggun bertenggar di kuduk Singabarong. Di belakangnya barisan penabuh. Alat tetabuhannya terdiri dari kendhang, dhog-dhog, bemdhe, gong beri, selompret. Lagunya berirama gembira, sigrak dan ber­semangat, diselingi sorak dan senggakan, menggempita sampai terdengar jauh. Kemudian menyusul Prabu Kelana Sewandana. diapit-apit oleh barisan kawalnya, yang disusul oleh pasukan lainnya, beijalan kaki maupun yang berkuda.

Catatan:

Adegan terakhir inilah yang kemudian menjadi tontonan Reog di Panaraga. Nama “reog” Barangkali diambil dari nama alat tetabuhan sejenis tambur, atau kendhang, atau yang sering disebut “dhog-dhog” yang berfungsi sebagai penentu irama.

Sampai di sini dongeng asal-usul Reog Panaraga sebenarnya tamat. Tetapi dongeng Kelana Sewandana sendiri masih bersambung. Pada sambungan ini terdapat beberapa versi yang berbeda satu sama lain, namun tidak prin­sipiil. Dua versi yang agak jauh berbeda adalah seperti di bawah ini.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Reog  di Jawa Timur. Jakarta: Proyek Sassana Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978/1979. hlm. 50-54

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Kesenian, Legenda, Ponorogo, Seni Budaya, Th. 1978 dan tag , , , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar