Legenda Tiban


Alkisah dahulu kala berkuasalah seorang raja yang memerintah dengan otoriter, apa yang harus dititahkan harus dilaksanakan, apa yang dikehendaki harus dituruti, apa yang diminta harus diberikan. Pepatah Jawa mengatakan “Kalau Raja berkata merah maka merahlah, sedang kalau raja berkata Hijau maka hijaulah”. Rakyat menurut segala perintahnya bukan karena kepatuhanya melainkan karena takut. Situasi yang demikian membawa Sang Raja untuk mendapat perlakuan yang lebih tinggi lagi, yaitu sang raja ingin diperDEWAkan oleh kawulanya. Demikian gambaran Raja Kediri yang menyebutnya KERTAJAYA. Wilayah kerajanKediripada waktu itu amatlah luas termasuk kademangan Ngimbang (Sekarang Ngadiluwih) yang mempunyai 4 kademangan yaitu: 1. Kademangan Ngimbang; 3. Kademangan Megalamat; 2. Kademangan Jimbun; 4. Kademangan Ceker.

Meskipun Kerajaan diperintah oleh sang Raja yang otoriter namun keadaan masyarakat Kediri dalam keadaan kemakmuran. Dalam segala persoalan selalu diselesaikan dengan sistem Gotong Royong setelah diadakan syukuran sebagai rasa ungkapan kegembiraan mereka pada kekuatan yang lebih tinggi, Super Natural. Warga masyarakat yang terlebih dahulu memungut panennya untuk dibagikan kepada tetangga lingkungannya agar dapat ikut bergembira, namun saying sekali kepribadian yang demikian ini tidak terpelihara, oleh pemimpin bahkan sang pemimpin ingin membawa dirinya agar kawulanya bahkan sang Brahmana pun diminta untuk menyembah dan mendewakan mereka. Kata orang Matahari berputar siang dan berganti malam walaupun malamnya dapat berganti siang.

Artinya keadaan didunia tidak kekal adanya yang semula kaya dapat juga pada waktunya menjadi miskin begitu pula semula gagah perkasa dapat menjadi lemah tak berdaya. Begitu pula gambaran Kerajaan Kediri yang semula dalam keadaan makmur, dimana-mana lumbung-lumbung desa tegak berdiri dengan penuh padi berangsur-angsur menjadi menipis dan cenderung menjadi kosong. Hal tersebut terjadi berlangsungnya musim kemarau yang sangat panjang.

Musim Kemarau berlangsung begitu lama mendominasi musim penghujan. Para petani menganggur di rumah karena sawahnya tak dapat diolah, tanahnya kering, padat dan pecah-pecah yang memang tidak mendapat pengairan dikarenakan sungai-sungai mengering, tanaman cenderung menjadi layu. Musim kemarau seakan-akan tidak berkesudahan. Segala daya upaya sudah diusahakan untuk mendapatkan air. Sumber-sumber telah diperdalam namun belum dapat untuk memenuhi kebutuhan pengairan. Air-air tersebut hanya dapat mengatasi kebutuhan minum dan kebutuhan dapur.

Rakyat Semakin Gelisah, dalam suasana terjepit inilah para Demang minta persetujuan Kerajaan Kediri untuk mengumpulkan rakyatnya diajak musyawarah dalam menanggulangi musin kemarau yang panjang tersebut. Demikian pertemuan yang dipimpin oleh pinisepuh atas beberapa usul saran dan pendapat telah mufakat bahwa musim kemarau yang berlangsung panjang tersebut merupakan kutukan kepada manusia atas ketidakpercayaan dan ketidaktakwaan terhadap kekuatan yang lebih tinggi tersebut. Oleh sebab itu untuk menebus kutukan tersebut adalah permohonan ampun kepada kekuatan supra-natural tersebut. Rakyat Ngimbang dengan sisa hartanya sedikit diberikan untuk digunakan sebagai syarat pelaksanaan Upacara Adat yang disebut Tiban. Rakyat kemudian berkomunikasi dengan kekuatan super natural. Petani yang memiliki lembu dalam jumlah yang besar membawa pecutnya sebagai lambang kekayaanya.

Upacara berlangsung dengan menyiksa diri dan berjemur di panas terik. Sarana yang demikian dirasa belum dapat berkomunikasi dengan kekuatan super natural tadi, maka penyiksaan diri tersebut muncul dengan menggunakan pecut yang terbuat dari Sodo Aren. Saling mencambuk diantaranya secara bergiliran. Sudah barang tentu dalam permainan ini banyak cucuran darah, karena kekhusukannya maka segala yang diderita tidak terasa. Dalam suasana religi inilah kemudian turun hujan yang tidak pada musimnya.

Hujan yang semacam inilah yang dinamakan Hujan Tiban. Bagaimana kegembiraan rakyat Ngimbang beserta Pinisepuh tidak dapat digambarkan, bersyukurlah mereka atas Rahmat-Nya. Pada keesokan harinya ramailah di sawah-sawah atau Tegal-tegal dimana para petani untuk pertama menaburkan benihnya. Demikian kejadian itu yang kemudian diikuti untuk musim-musim kemarau berikutnya mengadakan Upacara Tiban dengan harapan turunnya hujan. Pada akhirnya upacara ini terus berlangsung sampai kini meskipun telah beralih fungsi yang semula sebagai media religi berubah menjadi suatu permainan rakyat yang dikenalkan setahun sekali dalam rangka menyonsong tahun baru jawa (1 SURO).

Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:   Profil Kebudayaan Informasi Nilai-nilai Budaya dan Legenda Kabupaten Kediri. Disbudpar Kabupaten Kediri, Kabupaten Kediri, 2010. 


Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Kediri, Legenda dan tag , , , , , . Tandai permalink.

Satu Balasan ke Legenda Tiban

  1. Monica berkata:

    good

Tinggalkan komentar