Jaka Sumilir


Tersebutlah kisah, pada waktu itu terjadi perang saudara antara Kerajaan Daha melawan Kerajaan Jenggala. Raden Panji Asmara Bangun Raja Daha mengangkat salah seorang puteranya yang bernama Jaka Sumilir untuk menjadi senapati perang melawan Jenggala.

Pada waktu itu Jenggala diperintah oleh Raja Lembu Amijaya, yang tidak lain adalah paman Jaka Sumilir. Rasa hati Jaka Sumilir men­jadi kisruh. Ia harus menunaikan kewajibannya sebagai seorang ksatria, menjadi senapati dalam peperangan. Dan ini pasti diidamkan oleh setiap prajurit yang maju ke medan perang. Memimpin pasukan segelar sepapan adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi seorang prajurit. Namun dalam sisi yang lain, Jaka Sumilir harus berperang melawan pamannya sendiri. Sisi yang ketiga adalah dia harus melaksanakan tugas ayahandanya. Dia tidak boleh menolak perintah pamanda Raja Daha.

Demikianlah Jaka Sumilir menjadi sangat bingung. Tidak ada pilihan yang mudah baginya. Ke sana onak, ke sini duri. Ke sana jurang, ke sini tebing yang tinggi.”Mendung kesedihan menyelimuti wajah sang senapati Jaka Sumilir. Sebagai seorang patih, yang telah banyak makan garam kehidup­an, Patih Gembangkara dapat membaca mendung kelabu yang menutupi kalbu sang Senapati Jaka Sumilir. Oleh karena itu sang Patih Gembang­kara kemudian bertanya dengan lemah lembut kepada sang Senapati muda Jaka Sumilir.

“Ananda Jaka Sumilir. Sebelumnya paman mohon maaf, bila ananda menganggap paman terlalu lancang. Tetapi saya sebagai warang- ka dalem kerajaan, merasa berkewajiban untuk ikut serta dalam meme­cahkan masalah-masalah yang dianggap pelik dan rumit, Maka ijinkanlah paman bertanya pada Ananda. Apakah gerangan yang menyebabkan, Ananda Jaka Sumilir selalu bermuram durja ? Dari wajah dan mata anan­da, paman bisa membaca kekisruhan dan kedukaan yang sedang melanda Ananda. Apakah yang sedang Ananda risaukan ? Bukankah Ananda baru saja dilantik menjadi senapati perang ? Bukankah ini membuat Ananda menjadi bangga ?”.

Mendengar pertanyaan paman patih yang penuh dengan kasih sayang dan pengertian ini, maka Jaka Sumilir seakan-akan mendapatkan tumpuhan untuk mencurahkan semua perasaan sedihnya yang selama ini selalu dipendam dalam hatinya. Maka ia pun menumpahkan segala perasaannya. Ujarnya,

“Paman Patih Gembangkara, memang adalah menjadi kebang­gaan dan idaman setiap prajurit untuk bisa diangkat menjadi seorang senapati perang. Namun demikian, dalam hal ini saya dihadapkan pada pilihan yang paling rumit dan sukar. Saya diangkat menjadi senapati perang. Sedangkan yang harus saya perangi, yang harus saya hancurkan adalah negara paman saya sendiri, Amijaya. Tegakah saya melawan paman Lembu Amijaya yang telah demikian baiknya kepadaku ketika aku masih kanak-kanak ? Tidak ! Paman Patih Gembangkara.

Aku tak kuasa untuk’ melawan pamanku sendiri yang aku kasihi seperti aku mengasihi ayahandaku sendiri. Namun, aku sebagai seorang ksatria, wajib menjalankan darma seorang ksatria, maju ke medan perang. Tetapi asal bukan pamanku sendiri yang aku hadapi, sampai titik darah penghabisan- pun itu bukan apa-apa bagiku. Memang darma seorang ksatria adalah berperang untuk membela negara. Dalam hal ini aku harus melaksanakan perintah ayahanda. Ke mana aku harus melangkah Paman Patih ? Rasa­nya semua serba sulit.

Tetapi aku sudah sampai pada suatu titik kesim­pulan dan pendapat, tidak akan mau memerangi negara pamanku sendiri Lembu Amijaya. Oleh sebab itu aku sudah bertekad untuk mengingkari perintah ayahanda dan pergi mengembara, meninggalkan Kerajaan Daha, Aku tidak mau berperang melawan pamanku. Itulah keputusanku”. Demikian jawaban Jaka Sumilir. Ia telah bertekad untuk tidak melaksanakan perintah ayahandanya, untuk memerangi Jenggala, daa akan pergi mengembara. Patih Gembangkara menyetujui gagasan sang Senapati Jaka Sumilir untuk menghindarkan peperangan antara Jenggala dengan Daha.

Kemudian ia pun mengikuti jejak Jaka Sumilir, pergi mengembara, menurutkan arah pandangan mata dan jalannya sang kaki. Maka mereka berdua bersepakat untuk memulai pengembaraan mereka saat itu juga. Dengan setia Patih Gembangkara mendampingi Raden Jaka Sumilir. Mereka berdua menempuh arah selatan. Mereka terus menerus berjalan, sampai sang kaki tak mampu lagi melangkah. Dalam hal yang demikian mereka menyetujui untuk beristirahat, sesudah jauh meninggalkan Kerajaan Daha.

Pada suatu malam, ketika lelah dalam perjalanan, mereka beris­tirahat di bawah sebuah pohon yang sangat besar di tengah hutan belan­tara. Tiba-tiba mereka mendengar sebuah suara tanpa rupa. Setelah perhatikan benar-benar, ternyata suara tadi berasal dari pohon besar

tempat mereka bernaung. Suara tanpa rupa itu mengatakan supaya mereka meneruskan pengembaraan, menuju ke arah tenggara. Jaka Sumilir dan Patih Gembangkara nanti akan menemukan sebuah tempat di sebuah hutan. Di sana mereka akan menemukan sebuah tela­ga. Di pinggir telaga itu tumbuh pohon gayam yang amat besar. Tempat itu disebut Wana Atis atau Hutan Atis. Bila mereka telah sampai di tem­pat seperti yang digambarkan tersebut diminta supaya Jaka Sumilir dan Gembangkara membuka hutan tersebut dan mendirikan sebuah per­kampungan.

Demikianlah petunjuk dari suara tanpa rupa yang mereka dengar­kan dengan saksama. Setelah memberikan petunjuk-petunjuk itu suara itu pun tak terdengar lagi. Setelah suara itu lenyap, Jaka Sumilir kemu­dian bertanya kepada patih Gembangkara, “Paman patih Gembangkara, siapakah gerangan yang telah mem­berikan petunjuk-petunjuk tadi, Paman?”.

Patih Gembangkara pun menjawab, “Saya pun tak tahu, Ananda, siapakah yang telah memberikan petunjuk-petunjuk .kepada kita tersebut. Kita hanya mendengar suara­nya. Tapi sama sekali tidak melihat orangnya. Memang penuh dengan keanehan hutan ini “. Akhirnya Jaka Sumilir dan Patih Gembangkara sepakat, dengan tekad yang bulat, mengikuti apa yang dikatakan oleh suara tanpa rupa tersebut. Siapakah sebenarnya yang telah memberikan petunjuk dengan tidak menampakkan diri itu ? Konon kata para penembang, dia adalah Begawan Amirasa.

Demikianlah akhirnya kedua orang yang sedang mengembara itu menurutkan kata suara tanpa rupa, menuju ke arah tenggara. Dengan bersusah payah, melewati hutan yang lebat, jurang yang curam, akhirnya mereka menemukan juga sebuah hutan dengan telaga yang indah dan pohon-pohon gayam yang besar-besar di pinggir telaga itu. Seperti apa yang diwangsitkan oleh suara tanpa rupa itu, maka mereka pun mulai­lah membuka hutan yang masih liar itu, yang merupakan sebuah pekerja­an yang tidak ringan.

Konon ketika mereka berdua sedang membuka daerah hutan yang liar itu, tiba-tiba muncullah jin yang berujud menusia bernama Jayawidarba. Lalu bertanyalah jin itu kepada kedua.orang itu,

“Wahai, manusia, siapakah namamu ?” Gembangkara dan Jaka Sumilir pun lalu menyebutkan namanya.

“Apa maksud kalian berdua datang kemari ?” Tanya jin itu. Gembangkara dan Jaka Sumilir pun mengatakan bahwa mereka sedang mengembara untuk mencari ketenangan dan kedamaian. Jin itu pun kemudian meneruskan ujarnya,

“Ki sanak, mungkin Ki sanak mengira bahwa daerah ini adalah sebuah hutan belantara yang masih liar dan tidak ada yang menguasai­nya. Pendapat Ki sanak itu tidak seluruhnya benar. Sebab sesungguh- sungguhnya kawasan ini, ada di bawah kekuasaanku. Ketahuilah Ki sanak saya sebenarnya adalah raja yang menguasai negeri ini. Sebuah kerajaan yang besar dan kuat, yang kasat mata. Orang-orang kebanyakan tidak akan melihatnya. Oleh sebab itu saya minta pengertian anda. Ki sanak boleh meneruskan usaha kalian membuka hutan ini, tapi dengan satu syarat, yakni ki sanak yang bernama Jaka Sumilir, saya minta sudi menjadi menantu saya. Akan saya kawinkan dengan anak saya yang cantik, si Sarioneng. Jika ki sanak mau menerima syarat saya ini, ki sanak boleh meneruskan usaha ki sanak untuk membuka hutan ini menjadi sebuah pedesaan “.

Demikianlah sebenarnya raja jin Jayawidarba mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Sarioneng. Jaka Sumilirpun menyang­gupi apa yang menjadi persyaratan, yang telah dikemukakan oleh raja jin Jayawidarba. Sesungguhnyalah kerajaan itu adalah kerajaan jin yang sangat besar. Sebuah kerajaan yang kaya raya, subur makmur, tenang tenteram dan damai. Terlebih tamansari yang indah itu disemarakkan lagi oleh kecantikan putri Sarioneng

Akhirnya Jaka Sumilir pun dikawinkan dengan putri Sarioneng Kini, setelah Jaka Sumilir diangkat jadi warga kerajaan jin Jayawidarba, sebagai suami Sarioneng, semua berubah dengan tiba-tiba. Jaka Sumilir tidak lagi merasa berada di sebuah hutan belantara, tetapi berada pada sebuah kerajaan yang indah permai. Tentu saja, karena kerajaan jin, maka semua nayaka praja dan para kawulanya juga berujud jin semuanya. Patihnya, tumenggungnya, senapatinya, pengawalnya, dan seluruh kawulanya adalah jin belaka.

Setelah Jaka Sumilir diangkat jadi menantu Jayawidarba, maka sang prabu Jayawidarba kemudian turun tahta. Jaka Sumilir dinobatkan menjadi raja yang baru, menggantikan Jayawidarba, dan bergelar Sang Prabu Kusumawicitra.

Perkawinan Jaka Sumilir dengan putri Sarioneng membuahkan seorang putri yang cantik jelita seperti ibunya. Putri tersebut diberi nama Dewi Kadar wati. Sang Prabu Kusumawicitra, atau Jaka Sumilir mulai berpikir bagaimana caranya bisa mengubah kerajaan jin ini menjadi kerajaan manusia.

Maka dicarinyalah akal. Sedikit demi sedikit, setiap ada pejabat jin yang pensiun atau diberhentikan, maka sebagai penggantinya diusahakan seorang manusia biasa. Demikianlah terus menerus, setiap ada pengganti­an pejabat, Jaka Sumilir menggantikannya dengan manusia. Lama kela­maan pejabat-pejabat kerajaan telah berujud manusia semuanya. Dan pelan tapi pasti kerajaan itu pun akan berubah menjadi sebuah kerajaan manusia. Demikianlah kisah Raden Jaka Sumilir, yang kemudian menjadi raja dengan gelar Sang Prabu Kusumawicitra.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Cerita Rakyat Jawatimur, DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN,

 

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Kediri, Kediri [Kota], Legenda dan tag , , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar