Upacara Boyongan, Kabupaten Blitar


Nama Upacara
Setelah bangunan selesai upacara terakhir dalam proses pembangunan rumah ba­ru adalah “upacara boyongan”. Upacara ini dimaksud untuk mengantarkan doa selamat kepada penghuni rumah-baru, yang dimulai dengan proses pindah serentak bersama keluarga (bhs. Jawa “boyongan”). Ada sementara pihak yang menyebut upacara ini sebagai “Upacara buka pintu”. Kiranya nama upacara tersebut terakhir ini diambil dari proses : “pintu dibuka untuk pertama kalinya secara resmi” (karena proses ini didahu­lui oleh upacara tersebut).

Tujuan Upacara

Upacara “boyongan” dimaksudkan oleh kultur Jawa (la­ma), untuk memberi suasana tenteram pada pemakaian rumah baru tersebut sebagai tempat tinggal dan ber- lindung bagi penghuninya.

Tempat dan Waktu

Upacara boyongan ini juga diselenggarakan dibangunan rumah baru. Waktu penyelenggaraan upacara ini adalah sore hari atau malam hari. Hari diadakannya upacara ini adalah pada hari pindahan keluarga penghuni (dalam satu hari; hari itu juga) atau sehari — dua hari setelah rumah-baru tersebut dihuni. Selamatan demikian dapat diulangi pada hari ke-5 (sepasaran) dan pada hari ke-35 (selapanan).

Penyelenggara

Upacara boyong diselenggarakan oleh siempunya hajat Sedapat-dapatnya, bila mungkin diselenggarakan oleh orang (kepala keluarga) yang akan menghuni rumah ba­ru termaksud. Kalau upacara-upacara yang dahulu dapat “dipikul bersama” oleh famili orang yang berkepentingan, maka upacara “boyongan” ini seharusnya diselengga­rakan sendiri oleh kepala keluarga yang bakal menghuni rumah baru tersebut. Terkecuali bila temyata orang yang bersangkutan, secara ekonomis tidak mampu benar benar.

Peserta Upacara

Upacara boyongan ini dihadiri oleh lebih banyak peserta dibanding dengan jumlah peserta pada upacara sebelum- nya. Sebagian besar para peserta terdiri dari para tetang- ga-dekat-di sekitar lokasi bangunan rumah baru. Sebagi- an tetangga dekat—lama, disekitar lokasi rumah si- empunya hajat, juga diundang sebagai peserta upacara. Begitupun semua tenaga tukang dan tenaga pembangun­an rumah baru tersebut, sang at diharap keikut sertaan- nya sebagai peserta upacara. Secara psikologis upacara “boyongan” yang sakral ini, seolah-olah berupa upacara kegembiraan, sebab sudah dapat mengakhiri proses pem­bangunan dengan sukses.

Sebuah bangunan rumah baru telah jadi terwujud de­ngan selamat. Hal tersebut dapat kita sejajarkan dengan upacara resepsi pada upacara perkawinan.

Pimpinan Upacara

Pimpinan upacara boyongan adalah seorang dukun atau- pun seorang kyai; seperti halnya pada upacara-upacara yang diadakan lebih dahulu.

Namun ada kemungkinan lain yaitu karena jauhnya jarak antara rumah lama (rumah si empunya hajat) de­ngan lokasi rumah baru, menyebabkan personil (oknum/dukun/kyai lain yang “menguasai”, daerah diseki­tar bangunan baru tersebut. Disini dipakai kata “me­nguasai” dalam arti memiliki pengaruh pribadi di wilayah sekitamya. Pada prinsipnya – prinsip status iapun seorang dukun atau kyai/ulama.

Perlengkapan  Upacara

perlengkapan upacara pada “slametan boyongan” ini terdiri khusus dari bahan hidangan makanan dan wadahnya. Alat-alat tersebut :

  • nyiru (bhs. Jawa : tambah, tempeh).
  • Takir (wadah, terbuat dari daun pisang).
  • Piring-piring Gelas-gelas.
  • Baki.
  • Cowek (sebuah atau semacam wadah ter­buat dari tembikar; biasanya untuk membuat sambel).

Perlengkapan  upacara yang berupa hidangan/makanan:

a)     nasi gurih (nasi putih yang rasanya dibuat gurih karena pada proses pengolahannya : beras direbus dengan santan).

b)     ingkung (masakan daging ay am dan “ayamnya” di­ buat utuh tubuhnya.

c)      kue-kue dan penganan tertentu.

d)     Pisang raja atau sejenisnya.

e)     air kopi atau air teh; dsb. 

Tata Pelaksanaan Upacara

Seluruh alat-alat upacara dipersiapkan diruang tengah atau ruang muka, dari bangunan rumah baru. Seperti lazimnya, alat-alat upacara (dim. hal ini hidangan dan makanan diatas wadahnya masing-masing) diletakkan di atas tikar yang sudah dibentangkan lebih dahulu. Tata pelaksanaan upacara diatur sedemikian rupa agar para peserta dapat duduk bersama mengelilingi alat-alat upacara tersebut. Pada umumnya para peserta duduk dikaki dinding ruang an upacara. Boleh jadi karena ba- nyaknya peserta yang diundang, maka sekaligus kedua nxang (ruang tengah dan ruang muka) dipakai sebagai arena upacara “slametan boyongan”. 

Jalannya Upacara

Sebagai upacara-upacara terdahulu upacara boyongan berpuncak pada “ujub”, yaitu pengucapan doa-mantera oleh dukun pada upacara slametan. Setelah pemimpin upacara selesai “ngujubake” (mengucapkan doa man- tera), berakhirlah upacara boyongan ini dengan pem- bagian hidangan (bhs. Jawa “berkat”) kepada para peserta. Pembagian “berkat” tersebut dilakukan oleh salah seorang peserta dengan prinsip bagi rata secara adil dan habis. Atau terkadang hidangan upacara ter­sebut telah disediakan tersendiri untuk masing-masing peserta; jadi sudah dalam keadaan “siap dibagikan” atau “siap diberikan” kepada masing-masing peserta.

Pada beberapa tempat; upacara boyongan ini ada kalanya disertai adegan tanya—jawab semu antara penghuni dengan pemimpin upacara. Bagian penting dari tanya jawab semu tersebut adalah sbb. :

Pemimpin Upacara                : “Kula nuwun”

Penghubi rum ah-baru         :  “Mangga”, sampeyan tiyang pundi?

Pemimpin Upacara                : “Kula tiyang dusun …. “

Penghuni rumah-baru          : “Sampeyan ajeng punapa ?

Pemimpin Upacara                :  “Kula bade pados ngenger- an Tiyang sugih waras pun­di ?

Penghuni rumah-baru          : “Oh inggih ngriki tiyang sugih waras”

Terjemahan kedalam bahasa Indonesia sbb. :

 Pemimpin Upacara               : “Permisi”

Penghuni rumah-baru          : “Silahkan. Anda orang mana”

Pemimpin Upacara                : “Saya orang dari dusun”

Penghuni rumah-baru          : “Anda ada perlu apa ?

Pemimpin Upacara                : “Saya mau mencari tempat menum- pang. Dim ana orang yang sehat — bahagia ?

Penghuni rumah-baru          : “Oh, ya disini orang yang sehat dan bahagia itu”.

Walaupun tanya-jawab-semu tersebut sudah “dilatihkan” oleh pemimpin upacara kepada si pemilik rumah, namun penampilannya seolah-olah “spontan”.

Upacara- boyongan ini sudah jarang dilakukan, namun de­mikian masyarakat desa Plasarejo : di Kabupaten Blitar, masih menjalankannya upacara ini.

Untuk melestarikan serta menggali/mencari sisa-sisa tradisi yang sedang dalam proses “ditinggalkan” (proses menyusut), namun belum punah.. Untuk mengingatkan kepada generasi berikut bahwa sejarah budaya kita sangat beragam.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Timur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm 1981 – 1996,

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Blitar, Seni Budaya dan tag , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar