Selamatkan Lingkungan Hidup Jawa timur : Mulai Dari Rehabilitasi Hutan


Menurut data dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, luas hutan di Jatim mencapai 1.357.206,30 hektar, lebih dari 700 ribu hektar mengalami rusak parah. Kerusakan terbesar diakibatkan oleh illegal logging dan kebakaran yang mencapai sedikitnya 660 ribu hektar atau lebih dari 50 persen. Dari jumlah itu, 500 ribu hektar berada di luar kawasan lindung dan sisanya (160 ribu hektar) berada di kawasan hutan !indung dalam wilayah kelola Perhutani. Sedangkan kawasan hutan yang gundul mencapai 120 ribu hektar.

Hasil perhitungan Departemen Kehutanan menyebutkan, laju pengurangan luas hutan (deforestasi) di Jatim mencapai 438,1 hektar/ tahun. Rinciannya, di hutan primer seluas 25,1 hektare/tahun atau 5,7 persen hutan sekunder 43,6 hektare/tahun atau 9,9 persen, hutan lainnya 369,5 hektare/tahun atau 84,3 persen. Sementaraitu, total deforestasi di Pulau Jawa selama kurun waktu 2007-2010 jika dihitung secara konservatif dengan laju deforestasi yang stabil, mencapai 10 ribu hektar.

Kondisi seperti itu tentu menjadi ancaman serius bagi mas a depan lingkungan hidup di Jatim. Dengan luas hutan yang relatif sempit atau sekitar 28 persen dari luas daratannya, hingga saat ini Jatim belum dapat memenuhi harapan yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 yang menetapkan luas minimal hutan 30 persen dari luas wilayah daratan.

Permasalahan hutan di Jatim menjadi semakin kompleks karena tingginya angka lahan kosong di dalam kawasan hutan, pemanfaatan kawasan hutan untuk keperluan non kehutanan, dan banyaknya kawasan hutan produksi dengan kemiringan yang sangat curam. Padahal hutan dengan tingkat kemiringan 40% – 60 % ini sesuai dengan criteria Keppres No. 32/90 (sebagai turunan dari UU No 5/90 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya) harus berupa hutan lin dung dan tidak boleh ditanami cengan hutan produksi.

 Kondisi ini jelas sangat tidak mendukung keseimbangan ekositem. Salah satu dampaknya adalah menurunnya lebih dari separuh jumlah sumber-sumber mata air. Belum lagi banjir dan erosi yang selalu timbul di musim hujan. Dalam hal ini, Gubernur Jatim Soekarwo beberapa waktu lalu mengungkapkan, “Dari 111 mata air di Kota Batu, kini hanya tersisa 47 titik. Itu pun yang keluar airnya pada musim kemarau hanya tujuh mata air”, ujarnya prihatin.

Masalahnya, kondisi riil hutan yang sudah kritis itu sangat sulit direhabilitasi, karena hingga saat ini masih belum ditemukan model rehabilitasi yang paling efektif untuk menangani lahan kritis. Selama ini, reboisasi masih dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling mudah dilakukan.

Padahal apabila cara ini yang ditempuh, waktunya lama dan biayanya relatif mahal. Apalagi peluang keberhasilannya masih dipertanyakan mengingat dua hal negatif yang saling mempengaruhi. Yakni bila ditanam di muslin hujan, dikhawatirkan memicu aliran air permukaan (run off) yang bisa meniInbulkan erosi lahan . Akibatnya pohon yang baru ditanam ikut tergerus dan mati. Sebaliknya, bila reboisasi dilakukan pada musim kemarau terkendala sulitnya memperoleh air siraman.

Menyadari pentingnya peran hutan bagi lingkungan dan kehidupan  manusia, sudah saatnya untuk menyelamatkannya dari kerusakan. Beberapa langkah yang perlu dilakukan yaitu, pertama, segera dilakukan moratorium logging atau penghentian sementaraterhadap penebangan hutan, baik yang legal maupun illegal.

Sebenarnya, ide moratorium di Jatim pernah dilontarkan beberapa waktu lalu. Namun, kuatnya penolakan dari beberapa pihak yang merasa dirugikan, bermuara pada gugurnya konsep moratorium dalam naskah rancangan peraturan daerah (raperda) pengelolaan hutan di Jatim. Hal itu bisa dilihat pada naskah Perda Nomor 4 Tahun 2003 ten tang Pengelolaan Hutan di Provinsi Jawa Timur yang tidak membahas sarna sekali masalah moratorium. Karena itu, ide untuk membongkar ulang Perda Nomor 4 Tahun 2003 bisa dipertimbangkan. Ini agar pengaturan moratorium bisa lebih tegas.

Kedua, perlu dilakukan tindakan hukum yang tegas terhadap para pelaku pelanggaran dan penyalahgunaan hasil hutan. Tidak hanya para penjarah, pelanggar lain seperti pelaku penyimpangan atas penerbitan dokumen hasil hutan, pungutan liar terhadap iuran hasil hutan, dan para pelanggar lainnya juga harus ditindak tegas.

Selain itu, pola penanganan yang dilakukan aparat harus berorientasi pada tindakan proteksi atau pencegahan, terutama kepada masyarakat yang berpotensi menjarah. Pola tersebut antara lain pemahaman karakteristik masyarakat dan status ekonominya, juga dengan jalan mendekati tokoh masyarakatnya.

Ketiga, melibatkan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan kawasan hutan. Perum Perhutani sejatinya sudah menjalankan hal itu melalui penerapan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Intinya berupa pengeloaan sumberdaya hutan dilakukan secara bersama antara Perhutani, masyarakat, dan stake holder lainnya yang dijiwai prinsip saling berbagi. Hanya saja, yang perlu diperhatikan, penerapan PHBM harus bersifat kasuistik, tergantung dari tipologi hutan di tiap wilayah, karakteristik masyarakat sekitar, kemauan politik penguasa serta kelembagaan di daerah.

Keempat, menyerahkan pengelolaan hutan kepada masyarakat lokal. Selama ini masyarakat sekitar hutan atau komunitas pesanggem banyak mendapat perlakuan diskriminatif dari para pengelola hutan. Belum lagi tindakan anarki oleh para petugas penjaga hutan di lapangan. Padahal, sejatinya sebagai masyarakat yang hidup turun temurun di kawasan hutan, mereka memiliki kearifan local dalam mengelola ruang tinggalnya.

Bila dikaji, pola hidup seperti ladang berpindah di beberapa daerah sebenarnya sudah menerapkan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan. Prinsipnya, bila daya dukung lahan budidaya dianggap tidak lagi maksimal, maka mereka menebang hutan di tempat lain.

Hal ini akan memberikan kesempatan kepada lahan yang ditinggalkan untuk memperbaiki ekositemnya secara alami.

Kelima, perlu dicari model alternatif   percepatan rehabilitasi hutan dan lahan kritis dengan biaya murah. Pemprov Jatim saat ini bekerjasama dengan TNI AU untuk melakukan sistem tebar benih langsung dari udara. Cara ini dianggap efektif, terutama pada lahan-Iahan yang sulit dijangkau melalui model reboisasi secara konvensional. Benih yang ditebar berupa benih yang mempunyai bobot lebih berat semacam biji Trembesi. Diperkirakan, tingkat keberhasilan dengan menggunakan model ini bisa sampai 50 persen. Angka ini dirasa cukup baik mengingat efektifitas dan rentang waktu pencapaiannya jauh lebih besar diban ding cara-cara konvensional.

Sementara itu, ketika ditemui seusai menghadap Wakil Gubernur Jatim beberapa waktu lalu, Kep ala Dinas Kehutanan Provinsi Jatim, Ir. Choiruddin Syakir menjelaskan, pihaknya menargetkan 36 juta pohon yang akan ditanam di tahun ini.

Bibitnya nanti akan disuplai oleh beberapa pihak semisal Perum Perhutani Unit II Jatim, industri perkayuan di Jatim, dan seluruh pemkab/kota di Jatim. “Dari hasil akumulasi kesepakatan jumlah pohon yang dapat dikumpulkan, sedianya bisa mencapai 60 juta pohon, sehingga target 36 juta itu minimal yang harus direalisasikan,” ujarnya.

Choiruddin menuturkan, penanaman akan terus dilakukan selarna musim hujan yang saat ini diprediksi hingga Maret. Pasalnya, dengan curah liujan yang cukup, pohon yang ditanarn dapat tumbuh dengan baik.

Untuk jenis pohon yang ditanarn, rata-ra ta adalah sengon dan jati. Hal itu juga untuk memenuhi permintaan masyarakat, karena jenis tersebut punya nilai ekonomis yang cukup besar. Selain kedua jenis itu, ada pula pohon trembesi. Ini karena trembesi memiliki akar yang besar dan kuat, sehingga mampu menyerap air tanah lebih besar. Pohon trembesi juga dapat mereduksi terjadinya longsor pada lahan yang kritis •  rif

Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur : Prasetya, Buletin Bulanan, Sumber Inspirasi Birokrasi,13, Juni 2010

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Wisata dan tag , , , , , . Tandai permalink.

Satu Balasan ke Selamatkan Lingkungan Hidup Jawa timur : Mulai Dari Rehabilitasi Hutan

  1. Ping balik: Kondisi lingkungan di daerah kota Kediri | bobyyudha

Tinggalkan komentar