Agutta, Kabupaten Jember


Lokasi

Desa Badean Kecamatan Kota Bandawasa Bandawasa, eks-karesidenan Besuki, Kabupaten Jawa Timur,

AGUTTADi sebelah kanan jalan propinsi dari Kota Bandawasa menuju kota Jember, bersebrangan dengan desa Dabasah, jadi masih berada di dalam kota Bandawasa, .terletak desa Badean itu. Di sebelah utara dibatasi desa Kota Kulon. Desa Poncogati membatasi desa itu sebelah barat. Dan di sebelah selatan adalah desa dan jalan Nangkaan. Walaupun desa itu terletak dalam kota, akan tetapi kota Bandawasa yang berada di punggung perbukitan dan agak sepi dari jalan-jalan ekono­mi, menyebabkan suasana kota tidaklah terlalu mempengaruhi kehi­dupan masyarakat yang mayoritas penduduk Madura itu. Dan per­mainan Agutta yang beralatkan sebuah penumbuk padi, masih amat sering dilakukan orang.

Suasana dan Peristiwa Permainan

AGUTTA002Lima orang wanita setengah baya, tetapi ada juga yang nampak jauh lebih tua mengelilingi sebuah ‘Ronjangan’, yaitu sebuah alat penumbuk padi terbuat dari batang kayu, yang telah dihilangkan ba­gian isinya secara memanjang, sehingga terjadi ceruk sepanjang ba­tangnya. Ada sebagian yang duduk berjongkok, ada sebagian yang berdiri. Wanita-wanita itu memegang batang kayu lagi yang ukuran­nya lebih kecil, sepanjang kira-kira sama tinggi dengan pemukulnya, atau lebih sedikit.

Dengan batang kayu yang disebut ‘Gentong’ itu mereka memukul- mukul ‘Ronjangan’. Ritmis sekali pukulan-pukulan itu sehingga su­asana terasa penuh kegembiraan. Ada dtia buah batu diletakkan di kanan kiri ronjangan. Ternyata batu-batu itu juga berfungsi sebagai alat permainan mereka. Dengan kadang-kadang seseorang memukul­kan ‘Gentongnya’ pada batu itu.

Maka terdengarlah bunyi lain yang menjadi bagian dari musik yang dimainkan. Orang pun menyanyikan lagu-lagu tradisional Madura seirama dengan ritme permainan itu. Kapan kita akan melihat permainan yang disebut Agutta itu. Kadang-kadang kita mendengarnya sepan­jang siang dan malam hari. Ini pertanda ada sebuah keluarga yang punya hajad, entah perkawinan, entah khitanan. Tetapi kalau dengan tiba-tiba di suatu senja atau menjelang malam, orang ramai memain­kannya, dan lagi bersautan antara satu tempat dengan tempat lain, maka tengoklah langit. Nanti akan ternyata bahwa seorang ‘raksasa’ sedang nikmat-nikmatnya menyantap bulan kita yang indah itu. Orang-orang desa perlu mengusir raksasa itu agar tak berbuat bagitu kejam terhadap dewi bulan, karena itu mereka ramai membunyikan pukulan-pukulan Ronjangan atau juga batang-batang kayu di peka­rangan rumah. 

Latar Belakang Sosial Budaya.

Menjelang suatu perhelatan, baik perkawinan ataupun khitan­an, maka beberapa hari sebelumnya yang empunya kerja perlu me­nyediakan beras sebanyak-banyaknya untuk jamuan makan para ta­munya nanti.

Dipanggilah beberapa orang tetangganya atau sanak saudaranya untuk dimintai bantuan menumbuk padi. Siang malam mereka bekerja itu, tetapi untuk tidak terlalu membosankan maka di antara kerja keras itu mereka beristirahat seperlunya dan mem­buat suatu hiburan ringan yang sangat sederhana.

Ronjangan yang sudah kosohg mereka pukul-pukul dengan Gentong. Tidak asal sa­ja mereka pukul. Masing-masing saling menyesuaikan diri serta meresponse pukulan temannya.

Akhirnya terjadilah pola-pola permainan bunyi, yang menimbulkan kenikmatan untuk didengar dan dirasakan. Nyanyian pun diserta­kan di dalamnya, yaitu nyanyian tradisional masyarakat mereka Ke-isengan yang semula timbul sekedar main-main menyeruak ke­lelahan dan kebosanan kerja menumbuk padi, akhirnya berkembang menjadi suatu permainan yang kaya dengan berbagai bentuk perla- guan.

Malahan menjadi pengiring yang setia untuk lagu-lagu rakyat tradisional mereka. Peristiwa ini lama kelamaan menjadi tanda bagi orang lain, bahwa bila telah terdengar Agutta, permainan memukul Ronjangan, berarti seseorang atau sebuah keluarga sedang memper­siapkan sebuah perhelatan.

Para tetangga diharapkan siap untuk memberikan sekedar bantuan tenaga, fikiran dan sumbangan mate­rial serelanya, serta datang hadir pada hari pesta itu dilangsungkan nanti. Karena lama kelamaan permainan itu dirasakan nikmat seba­gai sebuah seni hiburan, maka sekalipun pekerjaan menumbuk pa­di itu sendiri telah usai namun orang menyuruh para penumbuk- penumbuk itu memainkan terus permainan Agutta ini disertai pe­nyajian lagu-lagu yang bersuasana gembira.

Dengan demikian para tetangga serta sanak saudara yang bekerja menyiapkan makanan ikut menikmati hiburan itu, sehingga kele­lahan di dapur pun dapat dilupakan. Permainan mereka baru akan dihentikan apabila tabuh atau musik gamelan telah tiba dan meng­gantikan kemeriahan perhelatan itu dengan gending-gending untuk diteruskan dengan seni pertunjukkan yang lain seperti Topeng Dhalang, Ludrug, Wayang Kulit dsb.

Mengenai hubungannya dengan kejadian gerhana bulan dapat­lah diterangkan sebagai berikut :

Terutama di dalam tradisi Jawa lama, terdapat suatu mithe tentang terjadinya gerhana bulan itu. Pada suatu ketika dewa-dewa meminum air amerta, yaitu air yang membuat para dewa tidak akan mati se­panjang jaman. Di luar pengetahuan dewa-dewa ternyata seorang raksasa Kala Rahu ikut menikmati air amerta itu. Dewa-dewa sangat marah.

Dewa matahari menghunus kerisnya dan memenggal kepala Kala Rahu. Walaupun kepala itu putus, akan te­tapi karena pada saat itu air amerta sudah sampai ditenggorokan, maka bagian kepala itu tak akan mati selama-lamanya.

Demikianlah bagian kepala sang Kala Rahu terus menerus melayang di angkasa. Sementara itu tubuh raksasa jatuh ke bumi dan berke­ping-keping menjadi alat penumbuk padi yaitu lesung menurut is­tilah Jawa dan Ronjangan menurut istilah Madura.

Kala Rahu sangat mendendam pada Sang Surya, dewa matahari. Ka­rena itu setiap saat dewa matahari kehilangan pengamatannya, Sang Kala menelan matahari sehingga terjadi gerhana matahari.

Demikian juga dengan kekasih sang Surya yakni dewi Bulan. Pada saat-saat tertentu raksasa itu menelan bulan. Tetapi manusia di bumi tidak rela dengan tingkah laku sang Kala Rahu ini.

Maka dipukul-pukul- nyalah tubuh sang Kala, yaitu lesung atau ronjangan itu sampai sang Kala merasa kesakitan dan segera melepaskan mangsanya itu.

Tentu saja karena gerhana matahari acapkali kurang mendapat perhatian orang karena agak sulit diamati bagi orang kebanyakan. Lagi pula pada saat kejadian pastilah orang sedang sibuk dengan pekeijaan sehari-hari di dalam mencari nafkah.

Sebaliknya gerha­na bulan sudah diketahui pengaruhnya, dan saat itu pastilah ba­nyak orang-orang yang tengah mengaso, berkumpul dengan ke­luarga dan tetangga di pekarangan rumah, dan bagi anak-anak me­rupakan kesempatan bermain bersama di halaman rumah.

Ketika bulan yaing diharapkan akan bersinar terang di sore hari itu ter­nyata lenyap cahayanya, maka tahulah orang bahwa Sang Kala te­lah datang lagi mengganggunya. Maka ditabuhlah lesung atau ron­jangan itu.

Demikianlah permainan Agutta dilakukan orang keti­ka terjadi gerhana bulan.

Para Pelaku Permainan dan Jalannya Permainan.

Seperti dikemukakan di atas, permainan Agutta ini bera­sal, dari kegiatan yang dilakukan oleh pekerja-pekerja penumbuk padi. Dan pekerja-pekerja itu adalah wanita, terutama ibu-ibu yang sudah separuh umur atau lebih, yaitu wanita-wanita yang masih kuat pisiknya. Demikianlah maka permainan Agutta itu sam­pai saat ini pun dilakukan wanita – wanita itu. Ada sekitar lima orang wanita dengan masing – masing mempunyai tugas tertentu dalam memainkan “Gentong”-nya pada ronjangan. Mereka juga me­nyanyi bersama atau kadangkala ada seorang yang khusus sebagai penyanyi tunggal, tetapi yang seorang ini pun kadang-kadang sambil memegang memainkan “gentong”-nya. Siapa yang harus memulai suatu permainan, tidaklah tetap, tergantung pada jenis perlaguan mana yang akan dibawakan.

Tetapi pada prinsip­nya terjadi demikian; seorang membuat suatu pola pukulan ter­tentu, ini menandai suatu jenis perlaguan, dan segera saja yang- lain-lain menanggapinya dengan pola irama tertentu pula yang secara kebiasaan telah mereka hafalkan dan mereka kuasai benar, merupakan suatu jenis perlaguan. Kemudian apabila ada nyanyi­an untuk pola atau jenis perlaguan tertentu maka merekapun mu­lai menyanyi entah bersama, bersautan, ataupun tunggal.

Apabila sebuah lagu sudah diulang-ulang dan dianggap sudah cukup di­nikmati, maka seseorang yang dianggap paling berpengaruh di an­tara mereka akan merubah pola pukulannya sedemikian hingga yang lain-lain merasakan bahwa tanda itu merupakan ajakan untuk menghentikan permainan atau merubahnya dengan jenis lagu yang lain.Beberapa lagu rakyat Madura merupakan lagu-lagu tradisi me­reka seperti Walangkekek, Orkesan, Fajjar Laggu, Lir Saalir, Man Jauma, Cung-cung Kuncung Konce dsb.

Tak ada ketentuan waktu kapan permainan itu harus dilakukan, sesuai dengan asal usulnya yaitu sekedar pelepas lelah diantara kerja keras menumbuk padi menyiapkan beras. Tetapi oleh karena kebiasaan itu telah menjadikan ciri atau pertanda adanya suatu perhelatan, maka lama kela­maan bahkan sengaja diselenggarakan tanpa rangkaian pokoknya lagi.  Jadi sekalipun orang tidak lagi menyiapkan beras dengan me­numbuk padi, namun orang menyuruh juga menabuh atau memain­kan Agutta ini dalam persiapan pesta perkawinan ataupun khitanan.

Sepanjang siang dan malam hari orang memainkannya, dengan waktu-waktu istirahat yang tidak terlalu panjang. Di sana sini menanda­kan bahwa mereka yang hendak membantu menyiapkan makan su­dah diharapkan datang di rumah perhelatan. Kemudian juga menan­dakan bahwa makan sudah siap untuk dimakan bersama. Atau juga menandai bahwa si empunya kerja telah siap menerima tamu-tamu hendak menyampaikan sumbangannya. Demikianlah permainan ini baru akan dihentikan kalau hiburan yang pokok untuk perhelatan itu telah siap dilakukan, misalnya tabuh, ludruk wayang topeng, wayang kulit dan sebagainya. 

Peralatan Permainan

Alat yang terpenting adalah Ronjangan atau sejenis dengan lesung di kalangan masyarakat Jawa. Terbuat dari batang kayu yang keras misalnya Nangka, batang kelapa yang tua,pohon asam.Te­tapi kebanyakan orang memilih kayu nangka. Panjangnya sekitar dua meter, dengan garis tengah sekitar tiga puluh sentimeter. Batang pohon itu dihilangkan kulitnya, kemudian dibuat ceruk memanjang dan cukup dalam. Di dalam ceruk itulah padi ditumbuk untuk dihilangkan kulitnya. Alat penumbuknya ialah kayu setinggi sekitar dua meter atau lebih sedikit dengan garis tengah tujuh sentimeter. Pada bagian yang harus dipegang di buat agak mengecil sehingga ja­ri-jari tangan cukup untuk melingkarinya. Bahan penumbuk inipun dari kayu sejenis.

Untuk permainan Agutta alat penumbuk itu yang disebut ‘Gentong’, disediakan lebih dari lima batang oleh karena adakala­nya untuk jenis-jenis perlaguan tertentu ada pemain yang sekali­gus memainkan dua gentong itu. Di sebelah kanan dan kiri ‘Ronja­ngan’ sejauh sekitar 50 cm diletakkan masing-masing sebungkah batu yang keras. Batu inipun dipukul-pukul dengan ujung lain dari gentong yang dipegang oleh pemain-pemainnya. Dengan demikian batu inipun menghasilkan suatu bunyi musikal tertentu dan ber­sama dengan pukulan-pukulan pada ronjangan akan menghasilkan suatu ensamble yang sedap.  

Tanggapan Masyarakat Kini.

Karena funsinya sebagai “intermesso” diantara kerja keras itu telah mencirii adanya suatu perhelatan, maka masyarakat masih sulit menghilangkan kebiasaan permainan itu dalam rangkaian perhelatannya. Hanya saja karena dengan adanya alat-alat penumbuk padi yang serba mesin, menyebabkan makin langkanya “Ronjangan” maka lama kelamaan dikhawatirkan juga bahwa permainan itu akan berangsur lenyap juga.

Apalagi bahwa dalam perhelatan orang telah menggunakan juga tanda-tanda lain yaitu tape recorder dengan pengeras suara menjulang tinggi di atas atap rumahnya, sehingga seluruh desa akan tahu di mana seseorang telah mempersiapkan pesta.

Alat teknologi yang terakhir ini jauh lebih praktis dan murah timbang mendatangkan lima wanita untuk disuruh seharian atau semalaman memainkan Agutta.

Dan sehubungan dengan gerhana bulanpun, permainan Agut­ta kini tidak lagi merupakan kegiatan yang menarik. Orang semakin tahu bahwa ilmu pengetahuan telah menjawab dengan tepat sebab- sebab gerhana bulan, dan bukan lagi seorang raksasa yang menelan Dewi Bulan. Mitos yang ada biarlah hidup sebagai dongeng kha­yal belaka dan menjadi perhatian para ahlinya sendiri.

Biarkanlah bulan memancarkan sinarnya atau tidak, toh se­karang anak-anak tidak tertarik untuk bermain di halaman lagi se­bab kesibukan belajar menyiapkan sekolah di pagi hari kini dirasa jauh lebih penting. Atau duduk bersama seluruh keluarga didepan pe­sawat televisi lebih asyik tinimbang mengobrol dengan tetangga di ha­laman rumah, memuji bulan dan memainkan Agutta.

PERMAINAN RAKYAT DAERAH JAWA-TIMUR; DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL PROYEK INVENTARISASI DAN DOKUMENTASI KEBUDAYAAN DAERAH 1983 – 1984, hlm.153-160

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Jember, Seni Budaya, Th. 1984 dan tag , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar