Cheng Hoo


Cheng Hoo dan Kita

Ketokohan Laksamana Cheng Hoo sudah diakui sedemikian rupa, bukan hanya di negerinya sendiri, Tiongkok atau di Indonesia sebagai negeri mitranya, tetapi juga didunia manca. Perjalanan yang mengarungi lima benua dengan gagah berani, telah menaklukkan gelombang samudra yang ribuan mil jauhnya, tetapi tidak pernah mengeluarkan sebutirpun untuk bertempur guna menalukkan suatu negeri. Kebesaran jiwanya, sebagai seorang muslim Tionghoa, nampaknya memberikan contoh kepada siapa saja yang mengenalnya, la bukan hanya panutan rakyat di negerinya, Tiongkok atau dinegeri lain yang pernah dikunjungi, tetapi juga bagi setiap umat. Salah satu contoh, sebagai seorang muslim, ia tidak menunjukkan seorang muslim yang eksklusif, tetapi menunjukkan sikap yang yang mau menghargai setiap orang atau setiap kepercayaan (agama).

Dalam perjalanan muhibahnya ke banyak negara, kendati dia seorang muslim, tetapi ia didampingi oleh anggauta dengan kepercayaan berbagai agama, ada yang beragama Tao, Budha, Konghucu dan sebagainya. Tidak ada diskriminasi. Petilasannya di klenteng Sam Po Kong misalnya, memberikan gambaran kepada masyarakat dari etnis dan berbagai kepercayaan, karena yang berkunjung bukan hanya etnis Tionghoa atau mereka yang beragama Islam, tetapi datang dengan berbagai etnis dan berbagai kepercayaan. Klenteng sebagai tanda peninggalan itu, menunjukkan dengan sesungguhnya, Cheng Hoo memperoleh penghargaan dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Di negerinya sendiri, dia sebagai adalah seorang kasim, yang memperoleh penghargaan dari raja, dimana ia selalu diajak setiap mengadakan perjalanan. Oleh karena itu Cheng Hoo begitu paham akan kehendak raja dan juga paham dengan ajaran Budha sebagai agama yang dianut sang raja. Kepercayaan sang raja terhadapnya, karena loyalitas yang tinggi terhadap raja dan negaranya serta mau menjunjung tinggi martabat bangsa dan negara diluar negerinya.

Muhibahnya mancanegara tentu saja, sekaligus menunjukkan kepada dunia luar, bahwa Tiongkok saat itu juga menjadikan sebuah negara yang memiliki armada laut yang kuat, yang mampu menandingi negara negara maju seperti, Portugal, Spanyol, Inggris dan sebagainya yang saat itu dikenal sebagai raja lautan. Hal itu terbutki, bahwa Cheng Hoo dengan armadanya mampu mengarungi tiga samudra besar untuk menuju ke lima benua. Tetapi yang menjadi titik pujian, ialah bahwa muhibah Laksamana Cheng Hoo, bukanlah beralasan untuk mencari rempah rempah yang menjajah negeri itu seperti yang dilakukan oleh banyak negara kolonialis, tetapi muhibahnya dilakukan dalam arti yang sebenarnya. Muhibah dengan penuh persahabatan. Banyak yang dipetik dari sang Laksamana ini. Paling tidak kita dapat menilai jiwa kepahlawanannya yang agung, sangat toleransi terhadap sesamanya, meski beda agama ataupun suku bangsa. Keberhasilannya dalam muhibah ke banyak negara bukan hanya menghasilkan di saat itu saja (di zaman Dinasti Ming), tetapi geloranya sampai sekarang abad ke 21 ini. Hal ini dapat dibuktikan, betapa besar gaungnya ketika banyak negara yang memperingati 600 tahun Cheng Hoo beberapa waktu yang lalu. Bukan hanya di Indonesia saja, tetapi juga di Singapura, Malaysia, Thailand dan memperoleh julukan sebagai “fo fa zeng” negara negara lain. Semuanya ini tidak lain karena kebesaran nama Cheng Hoo dan yang utama adalah rantai persahabatan antar bangsa yang di jalin dengan kokoh, sehingga berjalan berabad. Tentu saja ini merupakan suatu hal yang mahal, yang telah digulirkan oleh Laksamana Cheng Hoo. Cheng Hoo tidak saja sebagai orang yang bisa menjadi panutan bukan hanya dari etnis Tionghoa saja dimana dia berasal, tetapi bisa dijadikan panutan bagi setiap orang dari segala suku bangsa di dunia ini, termasuk rakyat Indonesia sendiri yang multi etnis. Bahkan keteladanannya terhadap rakyat ming, dia sampai memperoleh julukan sebagai “fo fa zeng” atau panggilan setingkat nabi. Cheng Hoo telah memberikan sebuah arti bagi masyarakat Indonesia, karena keteladanannya yang begitu agung untuk diteruskan, la bukan orang yang lahir di Indonesia, la adalah seorang yang lahir di negeri Tiongkok. Tetapi ia memiliki jiwa yang mendalam tentang Indonesia, sehingga namanya cukup harum di negeri ini. Ia telah banyak memberikan contoh tentang bagaimana hidup bertoleransi dengan komunitas yang berbeda suku dan agama. Tentu saja ia tidak pernah membicara perbedaan, tetapi lebih banyak membicarakaan persamaan. Cheng Hoo bukanlah Van de Plas, Jan Pieterson Coen atau Daendeles yang datang ke Indonesia memang bertujuan menjajah dan menguras kekayaan alam. Tetapi Cheng Hoo memberikan arti tersendiri dalam muhibahnya, bukan untuk menjajah tetapi untuk menoreh persahabatan. Dan terbukti bahwa persahabatan itu telah diteruskan oleh generasinya sampai sekarang. Oleh: Ny.Indahrini. Prastiti Psikolog

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Komunitas, Edisi Khusus, No. 40-April 2008.

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Sejarah, Surabaya, Th. 2008, Tokoh dan tag , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar