Osing dan Banyuwangi


Mengapa Banyuwangi Mendapat Predikat Kota Osing?

Kabupaten Banyuwangi terletak di ujung paling Timur dari pulau Jawa. Secara admin­istratif berada di dalam wilayah pemerintahan Pembantu Gubernur di Jember, disamping kabupaten-kabupaten lainnya seperti Situbondo, Bondowoso dan Jember.

Berbeda dengan ketiga kabupaten tersebut, yang berkembang menjadi kota dengan usia relatif muda (mulai berkembang pada zaman penjajahan Belanda karena ditunjang oleh berbagai macam perkebunan di daerahnya masing-masing), maka sejarah perkembangan Kabupaten Banyuwangi agak lain.

Sejarah Kabupaten Banyuwangi dimulai dari zaman Kerajaan Blambangan di daerah Selatan (sezaman dengan kerajaan Majapahit), yang kemudian ibukotanya berpindah makin ke Utara sehingga menjadi kota Banyuwangi yang sekarang ini. Perkembangannya pada abad-abad terakhir dari segi ekonomi juga banyak didukung oleh berbagai macam per­kebunan yang banyak terdapat di wilayahnya. Perkebunan tersebut semuanya mulai dirintis sejak masa penjajahan Belanda.

Sebagai suatu daerah kebudayaan, Banyuwangi termasuk lingkungan kebudaya­an Jawa, sebagaimana halnya Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura. Akan tetapi kalau diteliti lebih mendalam, sebenarnya daerah ini secara kultural merupakan suatu wilayah tersendiri dengan segala kekhasannya.

Hal yang demikian karena didukung oleh keadaan wilayah, dimana batas-batas alam dan kultur telah “memagari” daerah tersebut. Di sebelah Utara. Timur dan Selatan Kabupaten Banyu­wangi dibatasi oleh laut, sedang di sebelah Barat oleh ketiga kabupaten tersebut diatas, yang notabene sebagai wilayah kebudayaan tergolong baru.

Keadaan Banyuwangi ini mengingatkan kita kepada pulau/propinsi Bali, yang karena letak geografisnya menyebabkan selama ini tetap mempunyai corak kebudayaan yang asli dengan segala adat istiadatnya.

ASAL MULA ISTILAH ASING

Banyuwangi sebagai suatu wilayah kebudayaan mempunyai kekhususan, yang membedakannya dengan daerah-daerah lain, baik ditinjau dari segi bahasa, kesenian maupun adat istiadat penduduknya.

Sebagai suatu kabupaten dengan ibukota yang terletak di tepi pantai (pelabuhan), maka Banyuwangi (sejak) masa-masa yang lalu banyak dikunjungi oleh penduduk dari daerah lain, baik itu oleh suku-suku lain di seluruh wilayah Nusantara, maupun oleh orang-orang asing.

Tidak mengherankan jika bahasa daerah Banyuwangi, yang pada dasarnya bahasa Jawa (kuno) itu banyak dipengaruhi oleh bahasa- bahasa lain, seperti bahasa daerah Bali. Madura, Melayu bahkan konon bahasa Inggris.

Bahasa daerah Banyuwangi mengenal perkataan nagud (jelek), yang konon berasal dari perkataan bahasa Inggris no good. Bahasa daerah Banyuwangi yang berakhir dengan huruf “i” biasanya diucapkan seperti pada umumnya orang Inggris mengucapkan huruf “i” (=ai). Contoh: iki (=ini) diucapkan ikai. Lali (=lupa) diucapkan lalai

Orang luar menamakan wilayah kebudayaan Banyuwangi sebagai “daerah osing”. Perkataan “osing” yang berarti “tidak” sebenarnya merupakan sinonim dari perkataan bahasa Jawa “ora” yang juga berarti “tidak”. Disini berperan pengaruh bahasa Jawa dan

Bali, karena sing dalam bahasa Banyuwangi juga berarti tidak. Sebagai sebuah perkataan untuk menyatakan “tidak” maka perkataan “osing meniru tatanan bahasa Jawa: “ora”. Didalam bahasa percakapan sehari-haripun kalau orang Banyuwangi menyatakan “tidak”, tentu “osing” bukan “using”.

Oleh karenanya maka penulis lebih cenderung memakai istilah osing dan bukan using, sebab tata bahasa asalnya (induknya) adalah ora, bukan ura.

Pemakaian istilah Osing sebagai suatu nama bagi wilayah kebudayaan Banyuwangi sebenarnya relatif muda, baru sekitar abad XVIII. Menurut hasil Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa IKIP-PGRI Banyuwangi jurusan Sejarah, istilah osing dilontarkan oleh para pendatang dari Jawa Tengah yang membuka dan mendiami kawasan hutan di daerah Banyuwangi Selatan. Para penduduk Banyuwangi di sebelah Utara mereka, mulai dari Cluring sampai Kalipuro, disebut dengan istilah orang Osing. Maksud­nya orang (penduduk), yang kalau menyatakan tidak bukan dengan ora melainkan osing.

Berdasarkan data tahun 1987, dari jumlah 175 Desa/Kelurahan di Kabupaten Banyu­wangi, 94 diataranya para penduduknya kebanyakan menggunakan bahasa Osing.

KESENIAN DAN ADAT ISTIADAT

Di bidang kesenian kita kenal kesenian khas Banyuwangi seperti gandrung, aljin, angklung caruk, kendang kempul dan seni drama khas Banyuwangi yang disebut janger Banyuwangi (=damarwulan).

Kalau seni musik yang terkenal di Indo­nesia ialah gamelan, maka di daerah Banyuwangi gamelan ini merupakan suatu perangkat instrumen yang agak berbeda dan dimainkan dalam bentuk-bentuk kombinasi sedikit lain daripada gamelan Jawa pada umumnya. Pada gilirannya gamelan khas Banyuwangi ini menunjukkan irama-irama yang lincah dan dinamis, mirip-mirip gamelan Bali.

Seni tari yang berhubungan dengan seni musik pada hakekatnya adalah sebuah bentuk drama. Ada tari-tarian rakyat dan ada pula seni tari dan drama profesional yang khusus diusahakan dan dimainkan oleh tenaga-tenaga terlatih. Hampir semua tarian khas daerah Banyuwangi menghendaki pakaian khusus dengan corak ragam hias yang berbeda-beda yang memantulkan kesan kaya dan gemeHapan.

Di bidang seni kerajinan rakyat, Banyuwangi juga mengenal seni membatik dengan motif yang sangat tersohor, ialah ba­tik Gajah Oling. Kerajinan anyaman bambu juga terkenal, yang menghasilkan alat-alat rumah tangga dengan anyaman yang halus dan indah.

Dalam seni masak-memasak, puteri- puteri Banyuwangi juga mempunyai resep- resep khusus, yang walaupun bahannya sederhana, akan tetapi mempunyai rasa tersendiri, sehingga tidak berlebihan kiranya apabila disebutkan sebagai makanan khas Banyuwangi, seperti misalnya rujak-soto, cit, manisan pala, selai pisang, kue bahagia (bakiak) dsb.

Di bidang adat istiadat kita mengenal upacara-upacara yang disebut Rebo pungkasan, 1 Suro, petik laut dsb. Juga adat perkawinan ala Banyuwangi asli dimana si pria harus lebih dahulu melarikan calon mempelai puteri sebelum mendapat penga­kuan sah sebagai suami isteri. Ada lagi tradisi berpacaran yang disebut gredoan, dimana sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta dapat melakukan dialog pada malam hari.

Adanya lompatan-lompatan kemajuan di dalam era pembangunan sekarang ini, khusus­nya di bidang pendidikan dan transportasi, telah menempatkan wilayah kebudayaan Banyuwangi (wilayah Osing) sejajar dengan daerah-daerah maju lainnya di Indonesia, dengan tidak menghilangkan ciri-ciri khas budaya Osing itu sendiri.

(*Penulis adalah mantan staf Pemerintahan pada Kantor Pembantu Bupati di Banyuwangi).

musik pada hakekatnya adalah sebuah bentuk drama. Ada tari-tarian rakyat dan ada pula seni tari dan drama profesional yang khusus diusahakan dan dimainkan oleh tenaga-tenaga terlatih. Hampir semua tarian khas daerah Banyuwangi menghendaki pakaian khusus dengan corak ragam hias yang berbeda-beda yang memantulkan kesan kaya dan gemeHapan.

Di bidang seni kerajinan rakyat, Banyuwangi juga mengenal seni membatik dengan motif yang sangat tersohor, ialah ba­tik Gajah Oling. Kerajinan anyaman bambu juga terkenal, yang menghasilkan alat-alat rumah tangga dengan anyaman yang halus dan indah.

Dalam seni masak-memasak, puteri- puteri Banyuwangi juga mempunyai resep- resep khusus, yang walaupun bahannya sederhana, akan tetapi mempunyai rasa tersendiri, sehingga tidak berlebihan kiranya apabila disebutkan sebagai makanan khas Banyuwangi, seperti misalnya rujak-soto, cit, manisan pala, selai pisang, kue bahagia (bakiak) dsb.

Di bidang adat istiadat kita mengenal upacara-upacara yang disebut Rebo pungkasan, 1 Suro, petik laut dsb. Juga adat perkawinan ala Banyuwangi asli dimana si pria harus lebih dahulu melarikan calon mempelai puteri sebelum mendapat penga­kuan sah sebagai suami isteri. Ada lagi tradisi berpacaran yang disebut gredoan, dimana sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta dapat melakukan dialog pada malam hari.

Adanya lompatan-lompatan kemajuan di dalam era pembangunan sekarang ini, khusus­nya di bidang pendidikan dan transportasi, telah menempatkan wilayah kebudayaan Banyuwangi (wilayah Osing) sejajar dengan daerah-daerah maju lainnya di Indonesia, dengan tidak menghilangkan ciri-ciri khas budaya Osing itu sendiri.

(Penilis mantan staf Pemerintahan pada Kantor Pembantu Bupati di Banyuwangi).

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Abd. Gaffar. Gema Blambangan, Humas Pemerintah Kabuoaten Dati II Banyuwagi GB. No. 081 /1998, hlm. 37- 38

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Banyuwangi, Kesenian, Sejarah, Seni Budaya, Th. 1998 dan tag , , , , , , . Tandai permalink.

Satu Balasan ke Osing dan Banyuwangi

  1. andini anwar berkata:

    saya ingin mengetahui nama orang belanda pemilik pabrik kopra di banyuwangi yg terbunuh bersama keluarganya…apakah anda mengetahuinya dan bagaimana cerita sebenarnya

Tinggalkan komentar