Candi Bajangratu


Nama-nama tempat atau pedukuhan di daerah Trowulan kadang-kadang menarik untuk diperhatikan khususnya kaitannya dengan peninggalan purbakala di tempat tersebut. Misalnya Candi Kedaton yang baru saja kita uraikan diatas terletak di dukuh Keda­ton desa Sentonorejo. Nama Sentonorejo rupanya menarik pula untuk di teliti lebih jauh, karena kenyataannya di desa Sentonorejo banyak sekali ditemu­kan data arkeologi yang cukup penting untuk mene­lusuri bekas ibukota Majapahit.

Kira-kira 3 km. di sebelah timur Kedaton ada pedu­kuhan bernama Kraton, desanya bernama Temon. Di dukuh itu kita jumpai sebuah peninggalan purba­kala yang dikenal dengan nama Candi Bajangratu. Bangunan ini dibuat dari batu bata dan merupakan sebuah pintu gerbang lengkap dengan atap. Dalam ilmu purbakala pintu gerbang semacam ini di­sebut dengan istilah paduraksa.

Keadaan bangunannya boleh dikatakan masih utuh dan baik dan tinggi seluruhnya mencapai 16,5 meter. Bentuk bangunan, sebagaimana bentuk candi pada umumnya, terdiri dari bagian kaki, bagian tubuh dan bagian atap candi yang tinggi dan langsing. Bentuk atap mirip dengan atap candi berangka tahun dari komplek candi Penataran, terdiri dari tingkatan horisontal dengan puncak berbentuk kubus. Tiap-tiap lapis pada tingkat-tingkat atap itu dilengkapi dengan berbagai pahatan/ornamentasi sehingga membuat atap candi itu nampak indah.

Di tengah-tengah setiap sisi perbingkaian atap terda­pat pahatan kala, dimulai dari tingkat bawah sampai tingkat atas dengan segala variasi bentuk dan ragam hiasnya yang umumnya berupa sulur daun, cakar dan naga kecil dan jenis binatang lainnya.

Pada tiga tingkatan atap, di tengah, kita dapati tiga deretan menara yang pejal yang masing-masing ter­diri atas lima buah menara.

Disamping relief kepala kala kita dapati juga re­lief matahari yang memancarkan sinarnya. Matahari ini merupakan perubahan bentuk dari ke­pala kala (Suyatmi, makalah P.I.A. II. 1977). Relief ini dilengkapi dengan pahatan dua ekor naga yang berkaki dan bercakar berdiri berhadapan meng­hadap ke arah matahari. Naga tersebut bertelinga panjang dan bertanduk. Moncongnya menganga bergeligi tajam.

Pada atap tingkat atas kita dapati ragam hias “kala mata satu” yang bentuknya seperti siput yang bulat. Ragam hias ini tempatnya berada di tengah maupun di sudut atap sebagai pengganti kepala kala.

Ditinjau dari seni bangun, candi Bajangratu me­mang banyak menarik perhatian. Disamping bagian atap yang bentuk dan pengerjaannya menampakkan kehalusan dan keindahan tersendiri, maka bagian tubuh dan kaki juga memberikan kesan tersendiri.

Pintu candi mengarah utara ke selatan dengan lebar 1,38 meter dan tingginya dari lantai lorong can­di sampai ambang pintu atas 3,21 meter. Tinggi pintu keseluruhan dari permukaan tanah 5,11 meter.

Dari permukaan tanah menuju lantai lorong orang akan melewati enam trap tangga naik dan turun pada sisi yang lain. Panjang lantai lorong 4,08 m.

Di tengah-tengah lantai kita dapati batu ambang bawah pintu nampak dengan dua lubang bekas tem­pat engsel pintu di sebelah kanan dan kiri.

Susunan lengkung atap bagian dalam agak ber­beda dari candi pada umumnya. Biasanya lengkung atap tersusun seperti trap makin ke atas makin sempit dan diakhiri dengan penutup sungkup berbentuk persegi. Sedang lengkung atap di sini berbentuk su­sunan trap (unduk-unduk) terbalik dari atas ke bawan dari arah utara dan selatan dan berakhir di tengah-tengah. Tepat di bawahnya terletak pintu lorong candi sebagai tersebut di atas. Susunan trap (undak-undak), lantai dan lengkung atap semuanya dibuat dari batu andesit.

Candi Bajangratu merupakan gapura bersayap seperti gapura komplek makam Sendangduwur di Paciran.

Sayap bagian timur sudah runtuh, tapi bekasnya ma­sih tampak jelas. Sayap bagian barat, walaupun sudah retak masih agak banyak yang tertinggal. Pada bagian tersebut kita dapati relief yang menggam­barkan perkelahian antara seorang yang berwajah kera dengan seorang raksasa. Tampak si raksasa kalah, di­injak-injak. Juga kita dapati pahatan yang menggam­barkan pintu semu denganbingkai yang tebal.

Pada kaki candi (gapura) juga kita dapati bebera­pa pahatan berbentuk panil-panil yang sebagian sudah dihias dengan relief yang keadaannya sudah pada aus.

Dari beberapa relief yang dapat dikenali, kemungkin­an melukiskan cerita Sri Tanjung. Ceritera ini ditandai dengan adanya relief yang menggambarkan seorang wanita naik pada punggung ikan.

Walaupun bagian-bagian detail candi sudah ba­nyak yang rusak, namun secara keseluruhan candi Bajangratu masih nampak indah dan megah. Berkaitan dengan hal itu candi Bajangratu rupanya di­bangun pada zaman kerajaan Majapahit pada abad XIV. Suyatmi menghubungkan candi tersebut sebagai pendarmaan Raja Jayanegara dan dibangun pada ta­hun 1340. Untuk menjaga agar candi tidak cepat runtuh, ma­ka bagian atap candi ditopang dengan sejumlah tiang besi yang terdapat pada lantai lorong pintu gapura.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Tjokro Soedjono, Trowulan Bekas Ibukota Majapahit [Booklet]. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987/1988.

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Mojokerto, Sejarah, Th. 1987, Wisata Sejarah dan tag , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar