Semanggi yang, Tak Ada Matinya


MINGGU siang, jam menunjukkan sekitar pukul13.00 WIB. Seorang perempuan parobaya, Temi, 52 tahun, penjual semanggi Suroboyo memecah kesunyian perumahan di kawasan Tropodo, Waru, Sidoarjo. Dengan menggendong besek anyaman besar terbuat dari bambu, di sepanjang jalan yang dilalui, Temidengan suara khasnya menjajakan barang dagangannya: Semang- ggiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii………..! Suara melengking ini tak Cuma sekali diteriakkan, tapi berkali-kali agar orang tertarik dan membelinya. Mereka yang mendengar teriakan trade mark penjual semanggi lalu memanggilnya.

Temi pun menuju  sebuah rumah setelah ada yang memanggilnya. Lumayan, pemilik rumah pesan sekitar 10 bungkus karena lagi kedatangan kerabat bersilaturahmi di hari libur. Suasana rumah yang disinggahi Temi jadi riuh.

Para pembeli harus bersabar  menunggu giliran untuk dilayani. Temi pun mulai sibuk. Semanggi Suroboyo yang sudah dimasak dan akan diberi bumbu dimasukkan dulu dalam pincuk beralas daun pi sang dilapisi kertas koran. Pincuk daun pisang ini juga menambah sedapnya semanggi.

“Sudah lama saya nggak makan semanggi, makanan khas Surabaya kesukaan saya sejak kecil. Nikmat plus lezat. Uenaakkk  tenani,” komentar Yanto, salah satu pembeli kemudian disambut yang lain dengan acungan jempol. Satu pincuk Temi mematok harga Rp 5.000 plus satu kerupuk puli. Harga ini sarna dengan penjual semanggi lainnya. Kalau ingin tambah kerupuk puli lagi, harus bayar Rp 1.000. Hari Minggu, menurut pengakuan Temi, memang panen baginya. “Dari hasiI penjualan hari Minggu saya bisa membawa pulang sekitar Rp 500 ribu. Ini berbeda dengan hari-hari bias a, paling banter saya bisa memperoleh uang rata-rata Rp 200 ribu – Rp 250 ribu,” tutumya. Temi yang warga Kendung, Benowo, Surabaya mengaku berjualan semanggi sudah puluhan tahun. Profesi ini digelutinya karena sudah turun temurun dari nenek moyangnya. Di kampungnya perempuan yang berprofesi seperti dirinya tidak  sebanyak dulu. Kini, ada sekitar 40 orang

Mereka menyebar ke seluruh penjuru kota Surabaya Tapi, Temi disamping Surabaya juga kebagian wilayah Sidoarjo. Setiap Sabtu dan Rabu, ia berjualan keliling di Rungkut, Surabaya.

Sedangkan hari Minggu dan Jumat, Temi berjualan di perumahan-perumahan kawasan Tropodo, Waru, Sidoarjo. “Boleh dibilang saya berjualan dua hari di Rungkut dan dua hari di Tropodo. Kalau dihitunghitung dalam satu minggu saya berjualan cuma empat kali saja.

Dari Benowo kami berangkat ramai-ramai bersama ternan, dan saya ke sini (maksudnya Tropodo) ganti angkot tiga kali,” kata perempuan dengan empat anak dan dua cucu ini. Menurut Temi, bahan bumbu sebetulnya sederhana saja. Rumusnya bumbu pecel diberi telo (kefela rambat). “Komposisinya kacang tanah 1 kg, ketela rambat 5 kg (telo), gula merah (gula jawa) 1 kg, jeruk purut, kencur dan garam.

Setelah bahan-bahan tadi ditumbuk kemudian dikristalkan biar gam pang membawanya. Begitu ada yang beli, bumbu semanggi yang sudah mengkristal tadi diambil sesuai kebutuhan, kemudian diberi air dan diadukaduk. Setelah encer baru ditaburkan ke semanggi yang sudah lebih dulu dimasukkan dalam pincu,” ujamya

Makanan semanggi suroboyo, tutur Temi, juga bisa dipesan dan dibuat oleh-oleh kerabat yang tinggal di luar kota karena tahan lama. Caranya, daun semanggi yang baru dipetik biar awet dikeringkan dulu. Kalau cara pengeringannya melalui proses yang benar bisa tahan lama, kadang bisa bertahan satu tahun. “Daun yang sudah dipetik kalau ingin dikeringkan dicuci yang bersih lalu dijemur di terik matahari. Waktu yang dibutuh kan untuk mengeringkannya sekitar enam jam. Walau dikeringkan wama semanggi tidak berubah. Nah, kalau ingin dikonsumsi jangan lupa mencuci lagi daun semanggi kering kemudian direbus. Begitu usai merebus, daun semanggi dicuci lagi hingga bersih kemudian diperas hingga kering dan baru bisa dikonsumsi,” jelas Temi. Cum a, keluh Temi, mencari daun semanggi saat ini tidak segampang dulu seiring dengan menyempitnya lahan persawahan. Kalau dulu mencari daun semanggi yang tumbuh liar tinggal memetik di pematang sawah, kini tak bisa dilakukan lagi. Bahan baku susah didapat, penjualnya pun makin berkurang. Bagi orang yang masih punya lahan memanfaatkan situasi ini sebagai peluang. Mereka membuka lahan yang khusus ditanami semanggi, dan hasilnya dijual kepada para penjual semanggi. “Harga satu taker-nya Rp 10.000,” terang Temi.

Kapan makanan semanggi pertama kali muncul? Temi pun tak tahu, karena menganggap makanan semanggi suroboyo yang digelutinya diperoleh dari turun-temurun. Namun siapa sangka sesungguhnya sebagai salah satu sayur hijau, semanggi memiliki kandungan zat besi yang tinggi. Bisa jadi kandungan tersebut membantu meningkatkan kadar hemoglobin dalam darah. Bahkan tinjauan ahli gizi Adriyanto SH MKes AMdG (Jawa Pos, 5 Oktober 2008) menyebutkan, kandungan zat besi yang terdapat pada semanggi bisa mencegah

anemia gizi, atau kekurangan gizi. Ditambahkan, semanggi yang mengandung serat sangat bagus untuk kolesterol dalam darah. Kandungan serat itu juga bisa

membantu melancarkan buanga air besar. Bahkan, semanggi juga memiliki kandungan fitoestrogen yang bias membantu mencega osteoporosis.

Nah, karena memiliki berbagai khasiat dan sebagai makanan khas, semanggi suroboyo serasa tidak ada matinya, apalagi harus punah .•     abi/ryan

Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur : SAREKDA, Media Informasi Biro Administrasi Perekonomian Sekretariat daerah Provinsi Jawa timur, EDISI 007/2009

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Wisata, Wisata Kuliner dan tag , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar