Jaka Bandung


“Ki Ajar”, kata Nyi Ajar gunung Gebang. “Saya akan minta maaf kepadamu, karena tidak menurutkan pesanmu. Pisau yang kau pinjamkan kepadaku hilang dan kini rasanya aku telah mengandung”

Ki Ajar diam termangu-mangu. Ia bukanlah suami Nyi Ajar. Mereka itu hanyalah dua orang pertapa yang tinggal berdekatan di lereng gunung Gebang itu. Beberapa hari yang lalu Nyi Ajar datang untuk meminjam pisau untuk membuat takir. Akhirnya Ki Ajar berkata: “Nyai, rupa-rupanya telah takdir dewata-agung. Yang kau kandung itu anak kita.”

Nyi Ajar tak dapat berkata-kata. Ia mengakui, bahwa sebagian besar kesalahan ada di fihaknya. Bukankah Ki Ajar telah berpesan, jangan menaruh pisau itu di pangkuannya? Ia lupa dan melanggar larangan itu. Dengan lesu Nyi Ajar kembali ke rumahnya. Bulan berlalu dengan cepatnya. Genaplah bulan bagi kandungan Nyi Ajar dan lahirlah seorang bayi laki-laki, tetapi sangat jelek rupanya. Sejak dapat berjalan, Jaka Bandung, demikian nama anak itu, sudah suka berjalan-jalan ke hutan, sehingga kulitnya menjadi makin kasar.

Pada suatu hari didengarnya tentang sayembara, Prabu Brawijaya. Jaka Bandung minta diri kepada ayah-bundanya, lalu berjalan ke Majapahit. Prabu Brawijaya sendiri menerangkan syarat-syaratnya:

“Bila kau berhasil minta benih kepada kanda dipati Bangah di Pejajaran dan kembali dalam sehari ini, kau akan kuambil menjadi menantu. Bila kau tak berhasil, akan kusuruh potong lehermu sebab kau berbohong kepada raja. Apakah itu telah terang?”

Jaka Bandung: “Daulat TuanKu.”

Baginda: “Kalau sudah terang, berangkatlah sekarang.”

jaka Bandung menyembah, lalu mundur. Tiba di alun-alun ia bersemadi bersilang tangan di dada dan dalam sekejap mata ia telah sampai di Pejajaran dan bertemu dengan dipati Bangah.

Jaka Bandung menyembah, katanya: “Tuanku dipati Bangah. Hamba diutus oleh Sri Baginda-maharaja Brawijaya untuk minta benih.” Dipati Bangah telah maklum apa yang dimaksud dengan benih itu. Ia masuk ke dalam dan ke luar lagi dengan membawa sebuah tabung bambu. “Jangan kau buka tutup tabung itu”, pesannya. Jaka Bandung menyanggupi, lalu pergi. Dalam perjalanan itu Jaka Bandung tak dapat menahan hati untuk melihat isi tabung itu. Tiga kali ia membuka tabung itu dan setiap kali tak dilihatnya sesuatu apapun, hanya terdengar suara yang menakutkan.

Ketika Jaka Bandung kembali di balai penghadapan, Prabu Brawijaya belum lagi bubaran. Baginda sangat heran, digamitnya Jaka Bandung untuk mendekat. Setelah dekat

Baginda berkata: “Wahai Jaka Bandung. Kamu telah kembali. Manakah benih yang kau bawa?”

Jaka Bandung: “Inilah TuanKu. Harap Tuanku terima.”

Tabung bambu diterima oleh Prabu Brawijaya lalu dibuka. Isinya  telah habis. Tabung itu hampa belaka.

Baginda dengan agak marah berkata: “Jaka Bandung. Ke manakah isinya? Tabung ini telah kosong.”

Bandung: “Ampun Tuanku. Tadi di perjalanan tabung itu hamba buka sampai tiga kali.”

Baginda: “Kau kuutus ke Pejajaran untuk mengambil isi tabung itu. Sekarang telah hilang. Bila kau tak dapat membawa kembali kemari sehari ini, tentu kau kubunuh.”

Jaka Bandung: “Daulat Tuanku. Harap Tuanku menunggu sebentar.

Jaka Bandung menoleh ke kiri dan ke kanan.  Ajaib! Di alunalun telah terkumpul segala jenis binatang hutan berkelompok-kelompok memenuhi tempat. Prabu Brawijaya dan segala hadirin  sangat takjub.

Jaka Bandung: “Itulah isi tabung itu Tuanku. Silahkan terima.”

Prabu Brawijaya sangat suka hatinya. Kemudian diadakan permainan menangkap binatang hutan itu yang sangat menyenangkan Sri Baginda. Setelah puas, Jaka Bandung diperintahkan untuk mengembalikan binatang-binatang itu ke hutan. Jaka Bandung menyanggupi, seorang diri ia menghalau binatang-binatang ke luar alun-alun ke hutan. Sesudah itu ia tak kernbali ke kota Majapahit, tetapi kernbali ke pertapaan Gunung Gebang. “Anakku Jaka Bandung. Bagaimanakah kabarnya? Apakah kamu berhasil dengan sayembara Prabu Brawijaya itu?” tanya Ki Ajar.

“Berkat doa restu bapa pendeta, hamba berhasil,” jawab Jaka Bandung.

Ki Ajar berkata lagi: “Kalau begitu wahai anakku! Kembalilah ke kota Majapahit, segala kehendak raja hendaklah kau perturutkan. Lagi pula aku berpesan: Bila kau bertemu dengan dewi Sekar-kemuning, bersabarlah kau anakku. Tungguhlah sampai hatinya terbuka bagimu. Dan bila malam hari ada barang aneh, janganlah kau ganggu. Perhatikanlah pesanku ini anakku.”

Jaka Bandung menyembah, terus berangkat. Kebetulan hari itu Prabu Brawijaya sedang duduk di balairung sari, ketika Jaka Bandung datang menghadap. Baginda terpaksa memenuhi janjinya,

tetapi sangat susah, karena dewi Sekar-kemuning menolak untuk menikah dengan Jaka Bandung. Baginda berkata: “Nini dewi! Janganlah kau menolak juga, karena dengan demikian kau akan membuat ayahmu ini menjadi raja yang bohong, tak setia pada janjinya. Lebih baik Nini dewi memajukan syarat. Betapapun beratnya, calon suamimu wajib memenuhi.”

Dewi Sekar-kemuning: “Kalau begitu, ayahanda, saya mau kawin, asal dibuatkan sebuah taman yang indah dengan 4 buah telaga di dalamnya. Semuanya itu harus selesai dalam satu malam.”

Prabu Brawijaya memanggil Jaka Bandung. Setelah datang, Baginda menitahkan syarat tuan puteri. Jaka Bandung menyanggupi. Pada malam harinya Jaka Bandung bersemadi mohon pertolongan dewa-dewa. Dalam sekejap mata permohonannya dikabulkan oleh dewata-agung. Sekali lagi R. Jaka Bandung memohon, agar diberikan rupa yang elok tiada tara. Itupun segera dikabulkan dan berubahlah rupa Jaka Bandung menjadi seorang satria muda elok parasnya.

Keesokan harinya Prabu Brawijaya dan dewi Sekar-kemuning terkejut bercampur girang, melihat taman yang indah dan Jaka Bandung yang tampan. Kini dewi Sekar-kemuning tak dapat menolak lagi. Kedua muda-mudi itu dipertemukanlah dalam perkawinan. Rupa-rupanya dewi Sekar-kemuning telah menyerah kepada takdir dewata agung dan menerima Jaka Bandung sebagai suaminya. Jaka Bandung selalu ingat akan nasehat ayahnya yaitu Ki Ajar Gunung Gebang.

Oleh karena itu bila malam hari, Ki Jaka selalu bersiap sedia dan berjaga-jaga. Dewi Sekar-kemuning tidak tahu akan sikap suaminya, sehingga timbul syak wasangkanya. Dikiranya R. Jaka tidak cinta kepadanya, sehingga kembali hatinya tertuju kepada perkutut Mertengsari. Pada malam yang kedelapan, sedang R. Jaka tiduran di kamar pengantin, terjadi hal yang mengerikan. Mempelai puteri sejak sore hari tidur dengan menyelimuti dirinya dari kaki sampai kepala. Tengah malam baru saja lalu. Tiba-tiba dari selimut yang menutupi dewi Sekar-kemuning keluarlah seekor naga yang besar dan menakutkan sekali. R. Jaka sangat khawatir akan keselamatan isterinya. Oleh karena itu ditariknya kerisnya, dan sekali terayun kepala naga itu telah hampir putus terpenggal oleh keris Ki Jaka. Darah menyembur keluar dan menetes di tubuh Tuan puteri. Dengan hati-hati R. Jaka menarik ular itu dari selimut dewi Sekar-kemuning lalu keluarlah ia ke tamansari untuk membuang bangkai ular itu, tersampir pada sebuah cabang pohon nagasari.

Dengan kerisnya yang masih berlumuran darah, ia kernbali ke kamar pengantin dengan maksud membersihkan kamar itu dari noda-noda darah. Tetapi baru dia masuk kamar, dewi Sekar-kemuning bangun dan terperanjat sekali, melihat Jaka Bandung dengan keris terhunus berlumuran darah. Pikirnya, tentulah R. Jaka hendak membunuhnya. Dengan menjerit Tuan puteri meloncat dari tempat tidur dan lari ke luar terus menuju ke kamar Sri Baginda. R. Jaka terpaku melihat perkembangan kejadian itu.

Sri Baginda sangat terkejut melihat puterinya menyerbu masuk ke kamar tidurnya, dengan pakaian penuh noda-noda darah dan meratap-ratap.

Baginda: “Sabarlah anakku. Ada apa?”

Tuan puteri: “Ayahanda. Menantu Baginda temyata orang jahat. Ia hendak membunuh ananda.”

Bagaikan disambar petir hati Baginda, dengan murka Baginda memanggil pengawal dan memerintahkan menangkap Jaka Bandung dan membawa ke hadapan Baginda. Setelah R. Jaka terbelenggu, dan dilemparkan ke hadapan Baginda, tangan dan kaki Baginda tidak terkendali lagi.

Berulang-ulang jatuh menimpa tubuh R. Jaka. Tetapi pukulan dan tendangan Baginda segera membangunkannya, lalu sambatnya: “0, Tuanku yang mulia. Sedikitpun hamba tak berdosa. Mengapa tuanku siksa seperti ini?”

Baginda: “Dosamu kau jinjing dan kau junjung. Masih berani bertanya pula. Lihat Tuan puteri itu, penuh dengan noda darah. Dan apa kerjamu di kamar pengantin menimang-nimang keris pusaka?”

R. Jaka: “HarapTuanku berhenti sebentar memukuli hamba. Hamba akan memberi keterangan.”

Baginda berhenti menyepak dan memukul, bentaknya: “Cobalah beri keterangan.”

R. Jaka: “Ketika baru saja lewat tengah malam, hamba melihat seekor ular naga ke luar dari selimut Tuan puteri Sekar kemuning. Karena kekhawatiran hamba akan keselamatan Tuan puteri, dengan cepat naga itu hamba bunuh dengan keris hamba. Darahnya memercik ke luar, menetes di tubuh Tuan puteri. Hamba tarik ular itu ke luar lalu hamba buang ke taman. Tersampir pada cabang pohon nagasari. Bergegas-gegas hamba kembali ke kamar untuk membersihkan darah yapg ada di kamar, tetapi baru saja hamba masuk, Tuan puteri telah bangun dan lari ke luar. Itulah yang terjadi tuanku.”

Baginda menjadi agak reda marahnya, katanya: “Aku masih belum dapat percaya akan ceritamu, sebelum terdapat bangkai ular itu. Pengawal kau lihat ke taman, apakah ada bangkai ular naga. Sementara itu masukkan Ki Jaka ke dalam penjara.”

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: BABAD TANAH JAWI: Galuh Mataram

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Beranda dan tag , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar