Upacara Colpak Ko-pangko


Apabila seorang bayi telah terlepas pusatnya, dikalangan masyarakat Madura, diadakan upacara Ko-pangko’. Dengan upacara itu dimaksudkan, bayi di pangku secara bergantian oleh kerabat perempuan suaminya dan saudara perempuan ibunya.

Upacara ini diadakan setelah colpak bujel, yaitu apabila pusar si bayi sudah tanggal. Bujel itu tidak boleh dibuang, tetapi ha­rus di simpan atau dirawat. Menurut kepercayaan, bujel (pusar) yang direndam dalam air, dapat diminumkan kepada bayinya, jika bayi itu sakit.

Dalam upacara Ko-pangko’ itu, bayi dipangku secara ber­gilir, maksudnya agar saudara ibunya baik dari fihak suami ataupun dari orang tuanya sendiri, segera mengenal.

Hidangan yang disertakan dalam upacara ini adalah nasi Tompeng, leng­kap dengan lauk-pauknya. Makanan ini dikendurikan kepada tetangga dan famili dari fihak Bukayah maupun keluarga Buser Maksud selamatan itu ialah agar si bayi dijauhkan dari mara bahaya, demikian pula segera dapat tumbuh dengan sehat.

Bujel si bayi, diberi garam kemudian disimpan, dan jika nanti si bayi telah dewasa, dan merantau, kalau ibunya rindu dapat memanggilnya dengan cara menyirami bujel tersebut dengan memanggil-manggil namanya. Upacara ini dilakukan di tempat ari-ari si bayi ditanam. Kenduri untuk upacara Ko- pangko’ itu diadakan pada malam hari. Sejak waktu itu diada­kan lamella’, sampai sebelas hari lamanya. La’mella’, adalah berjaga, sama pengertiannya dengan Leklekan di Jawa.

Dengan colpak bujel, berarti pula, kepada si bayi harus diberikan nama. Nama itu dapat diambil dari nama para nabi atau rasul. Bahkan di kalangan masyarakat Madura, nama- nama yang sering dipakai ialah nama sahabat empat, dari Nabi Muhammad.

Nama itu dimintakan kepada nientoa (mertua) atau kepada orang tuanya sendiri. Seringkah nama itu juga dimintakan dari seorang Kyae atau Ulama.

Di samping itu, dasar untuk memberi nama kepada bayi adalah disesuaikan dengan hari-pasaran, ketika bayi itu lahir, dan menurut petunjuk buku Primbon. Nama itu menurut ke­percayaan masyarakat Madura haruslah yang dapat menjadikan anak yang menyandang nama itu selamat, dan bahagia hidup­nya.

Oleh karena itu, dalam sebuah keluarga yang akan menetapkan nama bagi bayinya, melibatkan banyak fihak, misalnya, mer­tua perempuan isterinya, kerabat perempuan dari fihak suami dan isteri, dan juga dari sesepuh atau Kyai yang dianggap da­pat memberikan nama yang tepat.

Dengan kata lain seorang bayi dapat saja mempunyai calon nama untuk dirinya, seba­nyak orang yang terlibat untuk memberikan nama tersebut. Karena itulah dalam masyarakat dikenal upacara Ugem, atau undian. Caranya adalah seperti berikut.

Nama-nama yang telah diusulkan ditulis di kertas, kemu­dian dimasukkan ke dalamgalbas, yaitu stoples. Nama yang di­tuliskan itu dikocok kemudian ayahnya diminta untuk menca­but mungkur, artinya mencabut dengan membelakangi galbas. Nama yang tercabut itulah yang resmi menjadi nama anaknya.

Sudah tentu, nama-nama yang dicalonkan itu sebelumnya su­dah dipilih yang sesuai dengan harapan orang tuanya, sehingga nama manapun yang terambil, nama yang sebelumnya sudah dianggap sesuai oleh orang tua si bayi.

Cara memberikan nama dengan Ugem ini, sekarang sudah jarang dilakukan, khususnya bagi keluarga yang tinggal di kota.

Upacara pemberian nama bagi keluarga Madura, baru dilaku­kan setelah bayi berumur sebelas hari, dan setelah si bayi meng alami colpak bujel, tanggal tali pusatnya. Angka sebelas bagi kebanyakan orang Madura, dianggap angka keramat, karena tanggal sebelas merupakan tanggal kelahiran Syeh Abdulkadir Jaelani, yaitu seorang tokoh agama Islam, yang konon mem­punyai berbagai mukjizat dan ketasdikan. Itulah sebabnya ke­banyakan para keluarga Madura memberikan nama untuk anaknya dijatuhkan pada hari ke sebelas sejak bayi itu lahir. Kapan tepatnya pemberian nama bagi bayi terdapat beberapa kebiasaan, diantaranya bersamaan dengan upacara Ko-pangko’ tetapi dapat juga diperkenalkan pada waktu diadakan upacara pa polo arean, yang artinya empat puluh hari.

Ketika seorang ibu melahirkan, maka ditempat tidurnya, diberi sajian dan syarat yang diadatkan seperti berikut :

  • Di bawah tempat tidurnya digantungkan pisang klutuk, dimaksudkan agar si bayi tidur nyenyak, dan tidak nangisan.
  • Di tempat tidur bayi diberi ramuan berupa daun jrango, (dringu), bangpote, artinya dringu – bawang merah. De­ngan ramuan itu dimaksudkan agar ditempat itu bebas lalat.
  • Di tempat tidur ibunya diberi pisau yang dilumuri kapur sebagai penolak roh jahat.

Pantangan-pantangan yang harus ditaati.

Selama seorang ibu mempunyai bayi, maka berlakulah berbagai pantangan, diantaranya :

Makan-makanan yang crobu, yaitu berjenis makanan yang mengandung petis, cabai, lombok, dan makanan yang disebut cenge acan, ialah sambal terasi.

Makan ikan laut yang termasuk atau sejenis ikan yang bersengat, (Jawa : Patil), kepala kambing, dan dedaunan sayur yang memabukkan, misalnya Lembayung.

Dilarang bersanggama sampai usia bayi cukup 40 hari.Se- bagai tanda bahwa larangan itu harus dipatuhi oleh suami nya, maka dalam jangka waktu sebelas hari, si ibu mema­kai gurita. Sesudah melampaui hari ke sebelas, si ibu me­makai bengkong.

Dengan memakai bengkong itu, sebagai petunjuk bahwa larang an untuk bersanggama masih berlaku, bahkan bukan hanya sampai hari ke 40, tetapi dapat juga terjadi sampai hari ke 100. Apabila bengkong itu sudah dibuka, sebagai lambang bahwa hubungan kelamin antara suami isteri sudah dibolehkan.

Dalam hal tertentu, misalnya sampai dengan hari ke 40 bengkong itu belum ditanggalkan, maka jika terpaksa menga­dakan hubungan kelamin, maka si isteri dapat membuka sim­pul bengkong yang berisi ramuan jamu dek cacing towa, yang dipeleskan atau dihaluskan untuk diminum, sesudah coitus itu terjadi.

Demikian juga apabila si ibu masih meneteki bayinya, pada hal ia harus “melayani” suaminya, sesudah selesai, harus mengu­nyah ketumbar dan perawas, kunyahan ramuan tadi dioles­kan pada puting susu, agar si bayi tidak kena sawan, atau men­cret.

Apabila seorang ibu terpaksa bepergian jauh dan mengi­nap maka, syaratnya harus membawa jarum atau bawang putih boleh juga jrango , agar terhindar dari gangguan bi-ibi (sema­cam kuntil-anak) atau Li’bali’ bukkak (sundel bolong).

Agar anak yang dibawa bepergian itu tidak merepotkan karena buang air besar, maka yang harus dilakukan oleh ibu­nya ialah mengikat atau menyimpulkan ujung selendang, di­sebut bintel, dengan berucap : bahwa ia tidak mengikat ujung selendang, tetapi mengikat kotoran si bayi.

Demikian pula apabila dikehendaki agar bayinya tidak selalu rewel, maka kotoran anak yang pertama sesudah lahir, yaitu tae dangdang, dioleskan pada bagian bawah gentong air minum, yang disebut bajan.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Upacara Tradisional daerah Jawa Timur.Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi Daerah 1983-1984, Surabaya September 1984,  hlm.  42-45

 

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Madura, Seni Budaya, Th. 1984 dan tag , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar