Kasni Gunopati


Kasni001Kasni Gunopati lahir di Ponorogo, 30 Juni 1934. Pendidikan Sekolah Rakyat (SR). Namun masa mudanya lebih banyak untuk ngangsu kawruh, semedi, dan mengabdi pada orangorang yang berngel- mu.
Tahun 1954, Kasni merintis berdirinya kesenian reog dfi Ponorogo.
Tahun 1987 meraih juara I festival reog tingkat Jawa Timur, piagam dari Kodam VI Brawijaya, dan Kakanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur.
Selain memimpin paguyuban reog Pujangga Anom, ia sebagai Kamituwo Dusun Merbot, Desa Kauman, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo. Oleh warga Ponorogo, ia disebut-sebut sebagai sisa warok tulen terakhir. Penampilannya mirip seorang resi yang memberikan kesejukan bagi yang kepanasan, memberikan kedamaian bagi mereka yang penuh kekacauan. Tercatat sebagai ketua perwakilan aliran kepercayaan Purwa Ayu MardiUtama. Ponorogo bagian barat.
Bersama istri, Kasemi, dan 5 anaknya masingmasing: Ismini. Siti Nurjanah, Rumanah, Trianawati, dan Gathot Harian- to; ia bertempat tinggal di Jl. Raden Patah No. 4, Desa Kauman, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo.
Postur tubuhnya kurus, jangkung, janggut dan kumisnya tidak lebat tapi panjang dan memutih. Nada bicaranya lembut, andhap-asor, lugas, namun sarat dengan makna, penuh petuah atau wejangan.
Kamituwo Kucing, begitu masyarakat Somoroto menyebutnya. Toh julukan yang begitu indah tidak membuat warok yang satu ini tersinggung. Di kalangan jagoan, nama Kasni Gunopati memang tidak segegap-gempita rekan-rekannya. Maklum yang dikejar oleh bapak dari 5 orang anak ini bukan sekedar ilmu kanuragan, yang bisa membuatnya kebal. Tapi ilmu kasampurnan (kesempurnaan). Yang disebut warok, menurut Kamituwo Kucing, adalah orang yang tahu sangkan paraning dumadi (asal-usul manusia). “la harus mengetahui asal-usul dan paham lahir-batin dirinya. Ini sangat berat. Sebab, ia hidup untuk menegakkan kebenaran dan keadilan,” tuturnya.
Bersikap dan bertindak sebagai warok dan warokan, semua orang bisa. Namun untuk memegang predikat warok sejati, tidak setiap orang mampu. Perjalanannya cukup panjang, penuh liku-liku dan sejuta goda. Caranya? “Harus kuat melek (tidak tidur), tahan lapar, kuat menahan satwat, dan semedi,” jawabnya.
Dari kegemarannya bersemedi ia mendapatkan lamat (petunjuk) tentang hakikat hidup. Maka ia kini dengan lancar dapat mengungkapkan falsafah hidupnya. “Harus eling, nrima, lan waspada. Kita harus selalu ingat pada Sang Pencipta. Tidak membeda-bedakan orang. Senang menolong tanpa pemrih, jujur, dan juga harus selalu instropeksi diri,” katanya. (AS-10)

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Ponorogo, Seniman, Th. 1996, Tokoh dan tag , , , , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar