KH. Askandar: Kiai Pejuang Kemerdekaan dari PP. Mambaul Ulum


KH. Askandar: Kiai Pejuang Kemerdekaan dari PP. Mambaul Ulum

Asal Usul Keluarga
Tanggal kelahiran KH. Askandar tidak diketahui dengan pasti, hal tersebut dikarenakan tradisi masyarakat terdahulu yang belum menganggap penting tanggal kelahiran beliau. Namun, berdasarkan informasi KH. Askandar sendiri pada saat berusia 66 tahun, di mana pada umur tersebut (1967) beliau wafat. Sehingga dapat diperikan Beliau lahir pada tahun 1901.
KH. Askandar lahir di Dusun Sragi, Desa Sumber Dukuh, Kecamatan Gampeng Rejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Ayahnya bernama Kiai Abdullah Iskam yang merupakan tokoh panutan dan tokoh agama di tengah masyarakat. Kiai Abdullah Iskam sangat konsen terhadap pendidikan keluarganya. Tujuan pendidikan keluarga tersebut agar anak-anaknya kelak menjadi insan-insan yang saleh dan salehah, berguna bagi agama, bangsa, dan negara.
KH. Askandar sejak usia dini sudah dididik dengan pendidikan keagamaan dengan penuh disiplin. Saat umur 7 tahun, Askandar telah mengkhatamkan Al-Qur’an di bawah asuhan langsung kedua orang tuanya. Selain pengeahuan bacaan Al Qur’an, Askandar kecil juga diajarkan tentang tata cara ibadah serta akidah. Selain pendidikan keagamaan, Kiai Abdullah Iskarn ternyata juga memperhatikan pendidikan umum bagi Askandar kecil, terbukti ketika usia 8 tahun, KH. Askandar disekolahkan di sekolah Rakyat

Pendidikan
Setelah lulus sekolah rakyat, KH. Askandar yang kala itu berumur 13 tahun dimasukan di Pondok Pesantren Jampes yang diasuh oleh Kiai Dahlan. KH. Askandar nyatri di Pesantren Jampes sekitar 5 tahun saja. Setelah merasa cukup, atas berkat saran Kiai Dahlan, KH. Askandar disuruh melanjutkan nyantri di Kiai Manaf Abdul Karim di Pesantren Lirboyo. KH. Askandar memulai mondok di Pesantren Lirboyo pada tahun 1919 atau usia 18 tahun.
Setelah merasa cukup mondok tiga tahun di Pesantren Lirboyo, KH. Askandar muda mohon izin kepada Kiai Manaf untuk mengembangkan ilmunya di pesantren lain. Atas saran Kiai Manaf, KH. Askandar Muda disarankan mondok di luar Kediri yaitu di Kabupaten Sidoarjo tepatnya pada Kiai Khozin, pengasuh Pesantren Buduran. Selama di Pondok Pesantren Buduran, KH. Askandar mempeajari ilmu tasawuf yang dimulai sejak usia 21 tahun. Di sela-sela mondoknya KH. Askandar muda bekerja sebagai penjaga tambak yang digunakan untuk memenuhi kebutuhannya selama berada di pesantren mengingat ia sudah tidak mendapatkan tunjangan hidup lagi dari orang tuanya. KH. Askandar muda nyatri kepada kiai Khozin hanya selama setahun.
Setelah dirasa cukup nyatri di Pesantren Buduran, kemudian KH. Askandar melanjutkan mondoknya di Pondok Panji Siwalan yang diasuh oleh Kiai Ya’kub yang kesohor dengan kewaliannya. Di Pondok Panji Siwalan mondok selama 1,5 tahun.
Saat usia 23,5 tahun atau sekitar tahun 1924, Askandar muda meninggalkan Panji Siwalan untuk melanjutkan nyatri kepada KH. Hasyim As’ari pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng. Pemilihan Pesantren Tebuireng bukan tanpa alasan, KH. KH. Askandar sangat ingin mempelajari ilmu hadits. Setelah khatam kitab Shahih Bukhori, secara tak diduga KH. Hasyim Asy’ ari memerintahkan agar KH. Askandar muda untuk pulang kampung halamannya agar mengamalkan keilmuan yang selama ini telah didapatkan di berbagai pondok pesantren.

Pengembaraan
Kepulangan KH. Askandar muda mendapat sambutan luar biasa dari keluarga serta masyarakat terbukti dengan dibuatkannya acara tasyakuran. Tersiarnya kabar kepulangan Askandar Muda yang telah pulang dari mondok di berbagai pesantren berakibat masyarakat sekitar Sragi datang untuk belajar kepada kiai muda tersebut.
KH. Abdulah Iskam yang melihat ketokohan Kiai Askandar, Sang Ayah berencana menikahkan Askandar dengan puteri dari temannya. Pernikahan tersebut dilaksanakan Kiai Askandar saat umur 25 tahun tepatnya pada tahun 1926. Selang setahun setelah pernikahannya lahirlah seorang bayi perempuan yang diberi nama Siti Khodijah dan pada tahun 1929 lahirlah anak kedua yang diberi nama Hasyim Asy’ari
Melihat perkembangan santri yang nyantri yang berjumlah 150 orang, Kiai Askandar berfikiran untuk mengambil santri seniornya yang berriama Aslam sebagai menantu agar bisa membantu mengurus pondok yang didirikannya. Namun, sayang keinginan tersbut tidak dapat terwujud dikarenakan Siti Khodijah meninggal pada pertengahan 1929.
Kesedihan KH. Askandar muda semakin bertambah, ketika ketidakmurnian mertuanya dalam mengambil Askandar sebagai menantu. Hal itu terbukti ketika mertuanya ternyata telah menghitung semua biaya mulai dari kelahiran Khodijah sampai acara kelahiran Hasyim Asy’ari sebagai utang yang harus dilunasi oleh Kiai Askandar muda. Akibat secara psikologis yang terganggu Kiai Askandar menulis surat thalaq (cerai) dan meninggalkan keluarganya. Pejalanan Kiai Askandar tanpa arah dan tanpa tujuan. Beliau hanya berjalan luntang-luntung dan akhirnya tiba di pesantren yang diasuh KH. Shiddiq, salah seorang murid Kiai Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan. Pada awalnya Askandar hanya berniat tabarrukan kepada KH. Shiddiq tetapi karena seringnya KH. Shiddiq menceritakan sejarah kerika nyantri di bawah asuhan Mbah Kholil Bangkalan. Semangat Kiai Askandar untuk menuntut ilmu kepada Mbah Kholil. Setelah mendapatkan ijin dari KH. Shiddiq, Kiai Askandar pergi ke Bangkalan.
Belum sempat Kiai Askandar mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya, seraya membentak, Kiai Kholil memerintahkan agar Askandar memakan buah salak yang telah tersedia di hadapannya. Tanpa berpikir panjang, Askandar langsung memakan buah salak tersebur hingga habis. Setelah habis satu buah, Mbah Kholil menyuruh Askandar memakan satu tangkai buah salak. Setelah setangkai buah salak habis dimakan, Mbah Kholil dengan logat Madura campur Jawa “mengusir” Askandar muda dengan berkata, “Kandar, muliho, mulih! Elmona sengkok, tadeklah ekalak Kiai Kandar! Muliho, mulih! mulih, Muliho Askandar Banyuwangi!” (Kandar, pulanglah, pulang! llmuku sudah habis kau makan. Pulanglah, pulang, pulang! Pulanglah ke Banyuwangi!)
Besarnya keyakinan bahwa perkataan Mbah Kholil adalah positif, benar, dan mengandung berkah, Askandar melanjutkan petualangannya ke Banyuwangi. Dalam perjalannya ke Banyuwangi Kiai Askandar singgah di pesantren Kampung Jalen, Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi. yang diasuh aleh KH. Abdul Basyar untuk tabarukan. Namun, nama Askandar sudah terkenal menjadi orang yang alim dan piawai dalam keilmuan dan akhirnya Askandar diminta untuk mengajar kitab Iqma’. Persinggahan Kiai Askandar mempertemukan jodoh dan menikah dengan Siti Robiah dari Tegal Pare. Berkat itu pulalah Kiai Askandar mendirikan Pesantren yang bernama Mambaul Ulum di Tegal Pare Berasan Banyuwangi pada tahun 1930.
Dalam perkembangannya perkembangan pesantren Mambaul Ulum sangatlah pesat, dibutuhkan lahan untuk membangun pondok-pondok untuk proses belajar mengajar serta tempat tinggal para santri. Untungnya ada seorang dermawan yang mau merelakan tanahnya untuk kemaslahatan pondok yaitu H. Syarkawi, tetapi Kiai Askandar mau menerima dengan sarat akad jual beli. Tanah tersebut digunakan sebagai lahan pertanian pondok yang hasilnya untuk membayar tanah serta sisanya digunakan untuk ibadah haji Kiai Askandar.

Pejuangan Melawan Penjajah
Revolusi Jihad yang dikumandangkan Ulama-ulama Jawa Timur membakar semangat para santri untuk ikut andil dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, tidak ketinggalan K.H. Askandar. Peran K.H. Askandar adalah dengan melatih laskar-laskar jihad sabillah dan Hibullah dari sekitaran Banyuwangi. K.H. Askandar selain dikenal sebagai orang alim juga terkenal sebagai pesilat yang disegani.
Perjuangan rakyat banyuwangi tidak lepas dari komando K.H. Askandar dari Mambaul Ulum, KH. Harun, pengasuh Pesantren Darun Najah, dan KH. Abbas, pengasuhPesantren Pecangakan, Genteng. Lantaran eratnya kerja sama antara ketiga ulama Banyuwangi ini, sering disebut sebagai Tri Tunggal Komando Banyuwangi. Dibawah komando Tri Tunggal Komando Banyuwangi perjuangan rakyat Banyuwangi juga terlibat dalam Agresi Belanda II pada 19 Desember 1948. Tri Tunggal pun berhasil mengendalikan Banyuwangi dari penjajah.
Perjuangan rakyat Banyuwangi dalam Agresi Belanda II sedikit terhambat, KH. Askandar yang hendak memberikan perlindungan kepada Kiai Dimyati akhirnya ditangkap Belanda dan dipenjara di Bondowoso. Selain kedua ulama tersebut KH. Abdurrahman dan KH. Muhson dari Tegal Pare juga ditangkap Belanda. Didalam penjara KH. Askandar sering mendapatkan penyiksaan yang tidak manusiawi karena KH. Askandar dianggap salah satu otak perlawanan rakyat Banyuwangi.
Setelah perjuangan panjang KH. Askandar dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa, akhirnya belia dapat kembali ke di Pesantren Berasan. Dalam perjalannya pasca mempertahankan kemerdekaan KH. Askandar melanjutkan perjuangannya dalam bidang dakwah sebagai pengasuh pesantren dan juga mengabdikan diri dalam organisasi NU Cabang Banyuwangi. Beliau wafat pada Sabtu, 26 Rajab pada usia 66 Tahun atau tahun 1967 masehi.

Sumber : Ainur Rofiq Sayyid Ahmad. Tiga Kiai Khos. Bantul: Pustaka Pesantren, 2008.

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Aktivis Pejuang, Banyuwangi, Beranda, Kediri, Pandidikan, Sejarah, Th. 2008, Ulama dan tag , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar