Pakeliran Wayang Kulit, Gaya Surakarta di Jombang


Pada dasarnya pakeliran wayang kulit Gaya Surakarta mengacu pada corak/Gaya Kraton Mangkunegaran dengan ciri urutan struktur pergelaran umum Jejer I, babak unjal. limbukan/kedhatonan. pasowanan jawi. perang gagal. Jejer II, gara-gara, perang kembang. Jejer III, perang brubuh, tanceb kayon. Perangkat gamelan yang dipakai saat ini adalah gamelan slendro dan pelog, dalam penggunaan pathet dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pathet nem. pathet sanga dan pathet manyura. Sajian iringan/gending pada umumnya menggunakan ayak-ayak, lancaran, srepeg dan sampak. Perangkat lain yang tidak kalah pentingnya adalah keprak (terdiri dari tiga sampai lima bilah lempengan terbuat dari perunggu, kuningan atau monel).

Secara keseluruhan pertunjukan wayang kulit Gaya Surakarta yang berkembang dan tetap eksis di Kabupaten Jombang disajikan oleh para dalang-dalang semalam suntuk, mayoritas masih mengacu pada tradisi/pakem lisan yang dianutnya-. Hal ini dikarenakan mayoritas dalang di Kabupaten Jombang dalam proses belajar menggunakan tradisi lisan, nyantrik/pecantrikan (berguru dan menimbah ilmu baik teori maupun praktek kepada seorang dalang). Artinya dari segi unsur pakeliran yang didapat dari sang guru dipraktekkan sesuai dengan apa yang diperoleh, hanya persoalan cerita dapat menggunakan tradisi lisan maupun dari buku-buku lakon yang sudah banyak diterbitkan. Sehingga dalam penyajian dan membawakan cerita dalang yang satu dengan yang lain hampir terdapat adanya kesamaan. Sepeti yang dilakukan oleh Ki Asri Budiman (almarhum), Ki Gondo Munanjar (almarhum), Ki Soewito, Ki Anom Antono, Ki Harnowo dan lain sebagainya.

Di kalangan masyarakat pedalangan Jombang riuh dan berkembangnya pakeliran gaya sekarang tidak membuat nyali menjadi kecil bagi para dalang yang menganut pakeliran Surakarta tradisi Mangkunegaran dan tatap pada pendiriannya menggunakan pakeliran tradisi yang sering disebut dengan kata-kata pakem. Sama halnya yang dilakukan oleh dalang-dalang sepuh Jombang, seperti Ki Soewito, Ki Gondo Munanjar (almarhum), Ki Sidi, dan lain sebagainya. Cara mereka dalam mempergelarkan wayang kulit lebih menekankan pada aspek tuntunan dan tatanan etika pencerminan budaya bangsa.

Ki Soewito dalang yang lahir dari Blitar dan kursus pada pendidikan Pasinaon Dalang Mangkunegaran disingkat PDMN di Kraton Surakarta sejak tahun 1968 dan lulus ditahun 1969. Setelah lulus Ki Soewito menuju pada sebuah kota yang dikenal dengan Kota Santri, berawal dari keahliannya sebagai dalang maupun pengrawit yang handal tak ayal lagi Ki Soewito mendapat banyak teman di kalangan seniman wayang, karawitan dan ludruk. Karena berbekal ilmu sudah cukup banyak dan matang, maka kesempatan pentas untuk ditanggap dari berbagai macam hajatan banyak berdatangan, dengan honor sekitar Rp. 1.500,00. Pada tahun 1970 beliau banyak diajak temannya dari seniman ludruk sebagai pengrawit dan pernah mengiringi penari remo yang tidak asing lagi bagi masyarakat Jawa Timur pada umumnya, khususnya Kabupaten Jombang yaitu Pak Bolet Amenan sebagai pencipta Tari Remo Bolet Gaya Jombangan. Mulai dari sini Ki Soewito jarang mendapat job/pentas sebagai dalang karena lebih sering tanggapan sebagai pengrawit/wiyaga. Sehingga sampai sekarang kesempatan mendalang hanya ada satu atau dua kali dalam satu (1) tahun, dengan gaya pakeliran yang didapat dari PDMN Surakarta dan tetap berkarya dihidang karawitan menciptakan gending-gending jawa.

Demikian halnya dengan Gondo Munanjar (almarhum) asal Puri Semanding Kecamatan Plandaan. berprofesi seorang dalang diawali dari belajar pada guru dalangnya asal Tulungagung yaitu Ki Katijan sekitar tahun 1973-1974. Sebagai dalang pakem dan sebagai murid yang berbakti pada guru, Ki Gondo Munanjar memulai karir menjadi dalang setelah selesai nyantrik. Apa yang telah dilakukan beliau pada sektor seni budaya sampai pada akhirnya menjabat sebagai ketua PEPAD1 (Persatuan Pedalangan Indonesia) Kabupaten Jombang. Walaupun banyak bermunculan dalang-dalang muda serta ada beberapa temannya yang mengikuti pola pakeliran era abad 20-an, Ki Gondo Munanjar tetap pada pendiriannya yang memakai pertunjukan model pakem/lawas/kuna, sampai ajal benar-benar menjemputnya. Karena waktu beliau masih hidup dan menjabat sebagai Kepala Desa juga berpesan “ngleluri kabudayan iku ora sembarang wong sing bisa, amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi, melu edan ora tahan yen tan melu anglakoni, nanging isih beja wong kang eling lawan waspada, senadyan pecate sukma saka raga dadi, aku ora bakal uwal saka janji”.

Asri Budiman (almarhum) asal Desa Plandaan Kecamatan Plandaan sebagai salah satu dalang wayang kulit gaya Surakarta dikenal oleh banyak orang. Dan karena banyaknya kesempatan manggung secara tidak langsung beliau menjadi tolok ukur perkembangan wayang dan digandrungi oleh kalangan manapun di wilayah Jombang kota, Jombang Bagian Utara sampai Lamongan, Jombang bagian Barat sampai Nganjuk dan Kediri. Dari proses nyantrik dan apa yang telah didapatkan dari sang guru dikembangkan sesuai dengan kemampuannya sendiri, tentu saja melihat perkembangan jaman yang sedang berlaku. Karena di Indonesia pada umumnya yang lagi nge-trend serta bersifat menghibur jenis kesenian dangdut maupun campur sari, maka Ki Asri Budimanrnenempelkan kesenian campur sari dan lagu-lagu dangdut sebagai model sajian. Di mana model sajian seperti ini dapat dinikmati dan digandrungi pula oleh anak-anak muda sekarang, sajian tersebut diadakan pada waktu adegan Limbuk-Cangik maupun Gara-Gara. Model sajian yang sebelumnya dan berkembang di Jawa Tengah dan diusung oleh Ki Asri Budiman terbukti masih tetap eksis dilakukan oleh dalang-dalang sekarang. Diakui atau tidak sajian seperti ini cenderung lebih laku dan memiliki daya tarik tersendiri bagi kaum “muda” dibanding dengan gaya yang mengacu pada pakem murni.

Model pergelaran wayang yang ditampilkan oleh Ki Asri Budiman terdapat pro dan kontra, pada abad 20-an model pakeliran wayang kulit seperti ini berorientasi pula pada pasar, mereka sangat mendukung dan menganggap itu sebagai usaha menarik simpati generasi muda^ karena dirasa pertunjukan wayang kurang diminati golongan muda. Oleh sebab itu sajian yang ditampilkan lebih mengedepankan pada aspek hiburan ketimbang aspek tuntunan dan tatanan terutama pada adegan Limbuk-Cangik maupun Gara-Gara. Pertunjukan semacam ini barang kali dapat dikelompokan sebagai seni pertunjukan massa. Di mana seni massa juga disebut seni pop yang dapat dibandingkan dengan pengertian musik pop dapat dikategorikan sebagai musik hiburan dan komersial menyangkut selera orang banyak atau selera populer (Umar Kayam, 1981:85).

Pakeliran tersebut dilakukan pula oleh para dalang-dalang baik muda maupun tua yang belum laku mendalangnya, seperti Ki Warsono Hendro Bawono asal Puri Semanding yang berguru pada almarhum Ki Asri Budiman. Jadi bukan hal aneh jika dalang kelahiran Jombang tahun 1981 ini mempunyai gaya yang tidak jauh beda dengan gurunya dan rata-rata tanggapan kisaran 10 kali setian tahunnya bahkan lebih. Hal yang sama dilakukan juga oleh Ki Harnowo, S.Sn. dan pernah mengenyam pendidikan formal di STSI Surakarta yang sekarang menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan pernah nyantrik kepada dalang ternama sekaliber Ki Manteb Sudarsono asal Surakarta dan Ki Panut Darmoko dari Nganjuk. Masih banyak lagi dalang muda maupun tua yang mengekor gaya pakeliran wayang dewasa ini, seperti Ki Anom Antono, S.Sn.(lulusan STSI Surakarta), Anom Sekti Aji (putra almarhum Asri Budiman), Ki Sartono (polisi), Ki Kabid, Ki Parto dan lain sebagainya, dan ditentukan keinginan pasarnya.

Terjadinya pakeliran semacam ini dikuatkan oleh pendapat Sartono Kartodirdjo, bahwa pakeliran tradisi berubah menjadi pakeliran massa karena proses modernisasi lebih terletak pada tingkat individu, antara lain perubahan sikap dari orientasi skripsi ke orientasi keberhasilan berkarya (Sartono Kartodirdjo. 1992:166). Di samping itu menurut Sal Murgiyanto (dalam Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, 11/04 Oktober 1992:34), bahwa dalam kaitannya dengan massa informasi teknologi canggih ini individu seniman bebas memilih sebagai pemburu pasar atau pemburu nilai. Para pemburu pasar tentu bersedia mengkompromikan mutu dan gagasan. Seorang seniman pertunjukan harus memikirkan baik dengan penonton, mengetahui siapa penonton karyanya, bagaimana mendekatinya dan menjaga hubungan dengan mereka.

Jadi tidak ada salahnya para seniman dalang mengambil jalan dan meniti langkah untuk meraih mangsa pasar, walau dari kalangan seniman tradisi ada yang mengatakan pertunjukan wayang tersebut lepas dari konteks pakem. Karena jenis seni pertunjukan yang sudah dianggap pencerminan dan penasehat diri perlu dilestarikan serta diwujudkan dalam pengembangan maupun revitalisasinya dengan ” nut jaman kelakone”, artinya sesuai berlakunya jaman seperti apa kita ikuti, dan harus diimbangi pula penyampaian nilai-nilai etika dan estetika.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Heru Cahyono,  Wayang Jombangan: Penelusuran Awal Wayang Kulit Gaya Jombangan. Jombang, Pemerintah Kabupaten Jombang KANTOR PARBUPORA, 2008. hlm. 8-11.

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Jombang, Kesenian, Seni Budaya dan tag , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar