Perubahan Sosial-Budaya Masyarakat Samin


Perubahan Sosial-Budaya dan Potensi Pembangunan

Masyarakat-Samin.Tahap-tahap kemajuan harus dilalui dengan merangkak lambat. Mereka menolak mesin seperti traktor, huller, dan lain-lain, karena alat-alat tersebut mempersempit penggunaan tenaga manusia setempat. Seperti diketahui, di daerah Kesaminan seperti Kutuk, Tapelan, Tlagawangu, Nginggil, masih banyak terjadi hal yang bila dilihat dari kacamata sekarang kurang tepat.

Ambillah umpamanya “bowong” (kebo-wong), yakni penggunaan tenaga manusia sebagai pengganti lembu untuk menarik bajak dan gilingan, penyosohan padi oleh manusia, pembuatan gula aren dan tebu dengan tenaga manusia, semata-mata lantaran keengganan terhadap produk teknologi mutakhir.

Apakah mereka ‘nonpraktis’ dalam kehidupan sehari-hari, dapat dibuktikan dari kenyataan bahwa di daerah Pati dan Brebes, Samin njaba, Samin Anyar, telah meninggalkan tata cara kekunoan tersebut, dan menganut kelaziman di desa masa kini (Sastroatmodjo, 2003:47-48).

Dalam hal ini, Wong Sikep, yakni Samin yang dulunya fanatik – tapi kini meninggalkan ajaran dasar dan memilih agama formal, yakni Budha Dharma, misalnya di Klopoduwur (Blora), Purwasari (Cepu), dan Mentora (Tuban) – hanyakelihatan Saminnya bila kita lihat dari kebersahajaan dan kesenangan berpakaian polos hitam dari bahan kasar, sedang kredo agamis sepenuhnya telah Budhasentris.

Mungkin akan lebih jujur lagi seandainya terhadap masyarakat etnik semacam ini kita bersikap toleran dalam hal jamahan wawasan, sedangkan untuk membawa kelompok terbesar itu pada era modernisasi diperlukan pemahaman mendasar tentang watak dan kepribadian suku Samin tersebut.Pendekatan dialogis, pendekatan kekeluargaan adalah cara yang seyogianya ditempuh, terutama apabila kita hendak mengenalkan suatu motivasi yang bersangkutan dengan teknik-teknik kepraktisan hidup sehari-hari.

Stimulasi terhadap gerak tertentu yang liat, bisa digiatkan melalui ceramah-ceramah gaya pedesaan, dengan peragaan teatrikal dan sosio-drama yang sugestif. Para pemikir bisa menyiapkan ancang- ancang terlebih dahulu sebelum memulai proyek penyantunan suku ini, tanpa mengenal bahasa yang tepat dan seragam, sebagaimana bisa digunakan untuk kalangan bersangkutan, orang tak akan menemukan kunci pemecahan isolasisme Samin (Sastroatmodjo, 2003:73-76).

Salah satu alternatif untuk mengajak orang untuk mendarmabaktikan hidupnya secara utuh adalah menggugah jiwanya. Petugas lembaga tertentu dan aparat pemerintah setempat sering melakukan kekeliruan, karena memperhitungkan target, dan bukan melihat sudah atau belum efektifnya ajakan tersebut. Istilah ‘tertutup’ untuk kebudayaan sesuangguhnya hanyalah cara pilih yang spekulatif, di kala kelompok subkultur telah sia-sia melawan nasib.

Antropolog terkenal Clifford Geertz pernah mengajukan pertanyaan sederhana: “Is human nature universalT Secara tegas kemudian dicobanya memberikan jawaban bahwa watak manusia tidak bersifat universal lantaran tumbuh sebagai unfinished animal (hewan yang belum selesai) yang seterusnya disempurnakan oleh lingkungan budaya tempat ia hidup. Oleh sebab itu, tampak betapa beragamnya variasi kemanusiaan, kendatipun nyata bahwa dunia teknologi bercorak universal.

Kita bisa mengimpor truk, traktor, pesawat pembuat hujan, dan seperangkat alat bantu modern pertanian. Namun penggunaan alat-alat itu sepenuhnya bergantung kepada manusia yang mendayagunakannya, yang mesti dididik khusus untuk itu, di mana selain skill juga seluruh kepribadian operatornya. Tanpa pembentukan kepribadian itu, mesin-mesin tersebut segera berubah menjadi besi tua.

Dalam pembangunan kelompok etnik tertentu, tampilnya pemerhati yang tekun sebagai penyantun budaya digerakkan oleh dua faktor, yakni faktor dinamik dan pengendali stabilitas. Persoalannya kini, sudah sampai di manakah kita bergerak ke arah penyelesaian faktor objektif ini, di samping menyelesaikan faktor objektif dalam mekanisme yang berlangsung berupa kompetisi aspirasi dan kepentingan yang puspa ragam ini? Homogenitas orang Samin kiranya lebih memper mudah bentuk pendekatan kita atasnya, lebih-lebih dalam studi antropologis yang senantiasa memiliki pesona kuat.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:  Setya Yuivana Sudikan. Kearifan Lokal Masyarakat Samin dalam Pemetaan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur: Sebuah Upaya Pencarian Nilai-nilai Positif. Jember : Biro Mental Spiritual Pemerintah Provinsi JawaTimur bekerjasama dengan Kompyawisda Jatim, 2008, hlm.  106 – 107

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Seni Budaya, Th. 2008 dan tag , , , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar