Kiling, Status Sosial di Using


-April–Mei 2004-
Kiling (kincir angin) itu terus berputar. Semakin kencang angin bertiup semakin keras berputarnya. Suaranya rnendesing. Suara desingannya mencapai radius 2 km jika panjang baling-balingnya lebih dari satu meter. Kiling (Jawa: kitiran) itu terbuat dari bahan kayu, bentuknya khas dimiliki masyarakat Using. Kincir angin khas Using itu ditopang penyangga yang disebut panjeran atau aka, terbuat dari batang bambu besar, diikat menjadi satu pada pahan yang tinggi.

Gambaran status sosial dan ekonomi seorang warga Using bisa disimak dari kiling-nya. Mereka yang tergolong kaya atau terpandang, memiliki kiling dalam ukuran besar dan ditempatkan pada posisi yang tinggi, lazimnya di depan/atas rumah. Masyarakat Using di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, memang salah satu diantara tujuh sub-etnik yang ada di Jawa Timur. Lainnya, sub-etnik Surabayan, Madura, Pendalungan, Mataraman, Tengger, dan Samin. Meskipun etnik Using tidak terfokus pada Desa Kemiren, tapi ada juga yang bermukim di sekitar Desa Olehsari dan Tamansuruh.

Konon, cikal bakal warga Desa Kemiren adalah Mbah Buyut Cili. Disebut Cili karena bertubuh kecil dan kurus. Ketika Kemiren masih berupa hutan lebat, ada kerajaan Macan Putih yang diperintah Tawang Alun. Raja itu memiliki seekor macan putih. Menurut cerita, macan putih itu sakti karena tidak makan daging hewan, tetapi daging manusia. Lantaran itulah banyak warga yang melarikan diri dari kejaran prajurit Tawang Alun. Salah satunya pelarian dimaksud adalah Mbah Buyut Cili yang bernama asli Marjanah.

Mbah Buyut Cili dan istrinya, Marni, melarikan diri. Proses pelarian (menyingkir) itu disebut ngili. Dalam perjalanan ngilinya, sampailah di hutan lebat yang banyak ditumbuhi pohon durian dan kemiri. Di sinilah ia membuka hutan, dan kemudian menjadikannya sebuah desa. Itulah awal kisah lahirnya Desa Kemiren. Untuk menghormati Mbah Buyut Cili, hingga sekarang warga Kemiren setiap malam Senin dan malam Jumat masih sering datang ke kuburan yang terletak di tengah area persawahan guna melakukan selamatan, meminta berkah.

 Bahasa
Agak berbeda bahasa komunikasi masyarakat Using dengan Jawa sehari-hari. Ciri yang paling menonjol dalam bahasa Using adalah fonologinya. Tekanan kata selalu jatuh pada suku kata akhir. Contoh, iki (ini) menjadi ikai, iku (itu) menjadi ikau. Selain itu juga adanya penambahan dalam konsonan tertentu. Misal, bakal diucapkan bya-kal atau jajan diucapkan jya-jyan.

Dalam bahasa Using tidak ada stratifikasi seperti halnya dalam bahasa Jawa (ngoko, kromo madyo, dan kromo inggil). Begitu juga hubungan kemasyarakatannya, tidak dikenal stratifikasi secara genetik. Mereka bebas memakai bahasa Using antar-individu. Hal yang jelas, Masyarakat Using yang pada umumnya petani dan pedagang, suka bekerja keras. Mereka umumnya terbuka terhadap orang asing yang datang. Bahkan mempersilakan menetap di desanya. Begitu pula sebaliknya, sebagian masyarakat Using menetap di desa lain.

Masyarakat Desa Kemiren memiliki beragam kesenian rakyat dan permainan tradisional. Sebagai masyarakat petani, kesenian mereka terkait dengan kegiatan pertanian. Malah sebagian dari kesenian mereka mengandung hal-hal yang bersifat magis-religius. Ada beberapa yang masih memperlihatkan adegan trans (kesurupan). Kesenian yang menonjol adalah Tari Gandrung dan Seblang.

Tari Gandrung biasanya ditampilkan pada malam hari, terutama pada even punya hajat (misal menikahkan anak). Penampilan Tari Gandrung selalu diikuti oleh seorang pemain plucing (pengundang) yang selalu memberikan lawakan-lawakan sehubungan dengan tarian Gandrung.

Menurut Sudjadi, Tari Gandrung dianggap sebagai hasil perubahan kesenian Seblang yang memiliki unsur magis-religius. Urutan penampilan Tari Gandrung biasanya dimulai dari Tari Jejer, baru kemudian disusul tari dan gending yang lain. Selanjutnya pada akhir pementasan ditutup dengan Tari Seblang. Sedangkan urutan tampilnya tamu untuk menari bersama penari Gandrung, biasanya diatur menurut strata kedudukannya dalam masyarakat, atau menurut urutan datangnya tamu dalam arena tersebut. Hingga kini kesenian Gandrung lebih bersifat profane sebagai pemenuhan kebutuhan hiburan. GM

Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur : Jatim News, Tabloid Wisata Plus, Edisi 33, 23  April – 7  Mei 2004, Tahun II

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Banyuwangi, Seni Budaya dan tag , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar