Bung Tomo, Surabaya


Cerita Cinta Sanq”Jendral Kancil”

Jenderal Kancil! Itulah julukan Bung Karno untuk Mayjen Sutomo (Bung Tomo) semasa hidupnya. Julukan tersebut bukan tanpa alasan, dalam keadaan bagaimanapun Bung Tomo selalu punya akal, seperti kancil. Kecerdikan itulah tentunya yang menyelamatkan dirinya dan para gerilyawan lain dari incaran Belanda. Padahal, waktu itu namanya masuk deretan teratas setelah Soekarno dalam daftar “target operasi” Belanda.

Kecerdikan yang dimiliki Bung Tomo tersebut ternyata tak berhasil “menyelamatkannya” dari kekuasaan pemer­intah sendiri. Bung Tomo “dibuikan” oleh Soeharto karena kekritisannya terhadap pemerintah. Namun, kancil tetaplah kancil, selalu ada akal. Semasa menjadi penghuni Nirbaya (Kramatjati, Jakarta), dia mencari alasan untuk keluar bah­kan juga berhasil membujuk penjaga untuk mampir ke rumahnya.

Itu adalah sedikit dari begitu banyak kenangan yang dituangkan Sulistina dalam buku yang diterbitkan oleh Visimedia ini. Lebih jauh istri BungTomo tersebut mengung­kap bahwa perkenalannya dengan BungTomo diawali saat mendengarkan pidato-pidato radionya yang menggelora menyemangatkan para pejuang.

Saat bergabung menjadi anggota PMI, Sulistina bertemu secara langsung dengan Sutomo. Di mata lelaki yang selalu berpenampilan rapi tersebut Sulistina terlihat berbeda. Selain cantik, dia tidakterlalu peduli atas kehadiran Sutomo layaknya gadis lain yang kagum dan berebut perha­tian. Hal tersebut justru membuat Sutomo muda penasaran. Beberapa waktu kemudian Bung Tomo pun menyatakan cintanya yang dijawab dengan diam oleh Sulistina.

Berpacaran di waktu perang bukanlah pengalaman menyenangkan. Rasa was-was dan rindu merupakan hal biasa bagi keduanya. Apalagi Sutomo adalah lelaki pejuang dan terkenal, incaran para gadis, serta (terutama lagi ada­lah) incaran tentara Belanda. Namun, semua itu mereka jalani apa adanya. Bagi keduanya yang nomor satu adalah perjuangan membela negara. Bahkan, Sutomo sempat berjanji tidak akan menikah sebelum Indonesia bebas dari cengkeraman penjajah.

Janji tersebut tidak dapat mereka tepati karena Indo­nesia semakin genting. BungTomo diminta mengungsi ke Australia. Untuk keamanan dari godaan dan fitnah, Bung Tomo diminta segera menikah. Pernikahan dilaksanakan 19 Juni 1947. Konsekuensinya, mereka harus”berpuasa” selama empat puluh hari karena itulah syarat bagi pemimpin yang menikah di masa perang. Sayang keberangkatan ke Aus­tralia tersebut dibatalkan karena Lapangan Bugis keburu dibombardir Belanda.

Kemudian, Sulistina selalu menemani perjuangan Bung Tomo karena suaminya hanya mau dilayani olehnya. Namun, kebersamaan tersebut tidak selamanya. Jogja jatuh, Bung Tomo harus bergerilya dan Sulistina mengungsi bersama anak sulungnya (Tien Sulistami). Mereka baru berkumpul kembali setelahTNI yang dipimpin Letkol Soeharto berhasil menduduki Jogja. Saat itu, putri sulung mereka,Tien Sulis­tami, telah berusia satu tahun.

Dalam perjalanan karier militernya, Sutomo pernah diangkat menjadi Mayor Jenderal sekaligus menjadi pucuk pimpinan TNI bersama Jenderal Soedirman, Letjen Oerip Soemohardjo, Komodor Surjadarma, dan Laksamana Nazir. Waktu itu dia bertugas sebagai Koordinator Bidang Intelijen dan Perlengkapan Perang untuk AD, AU, dan AL. Kemu­dian, pangkat jenderal tersebut harus ditanggalkan karena kecintaannya terhadap negeri. Dia diminta memilih oleh Menteri Pertahanan Amir Syarifudin, ingin terus berpidato atau menjadi jenderal. Bung Tomo memilih menanggalkan pangkat jenderalnya: “Persetan, ora dadi jenderal ya ora pateken,” ujarnya dalam logat Surabaya.

Selain sebagai Koordinator Bidang Intelijen dan Per­lengkapan Perang, Bung Tomo pernah tercatat sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran/ Menteri Sosial Ad Interim (1955-1956), Anggota DPR (1956- 1959), Ketua II Mabes Legium Veteran, dan pendiri Partai Rakyat.

Atas jasa-jasanya pada negara, penulis beberapa buku tentang perjuangan dan politik ini dianugerahi Satya Len­cana Kemerdekaan dan Bintang Gerilya. Namun, sampai sekarang beliau belum juga dianugerahi gelar pahlawan nasional. Mengapa? Entahlah, Sulistina hanya menulis: Biar rakyat yang menilai kepahlawananmu.

Tahun 1981 BungTomo menghembuskan nafas terakh­irnya saat melaksanakan ibadah haji dan kemudian berhasil dimakamkan di Pemakaman Umum Ngaggel seperti yang diinginkannya. Baginya, seorang pejuang harus dekat den­gan rakyat dan matinya pun harus bersama rakyat jelata.

Mayjen (purn) Sutomo adalah pencinta sejati. Setelah meninggal, Sulistina membuka dompetnya yang semasa hidup tak pernah dilakukan. Satu di antara dua foto yang ditemukan bertuliskan iki bojoku membuat Sulistina terharu. “Saya sangat percaya dengan Mas Tom. Dia tidak mungkin melakukan itu (berselingkuh maksudnya). Karena saya tahu betul siapa dia. Saya tidak menyanjung suami saya. Tapi, MasTom itu seorang Muslim yang sangat taat. Dia tentu lebih takut kepada Allah daripada aku,” ujarnya saat ditanya fenomena para pejabat yang suka berselingkuh (hal. 196).

Buku setebal 208 halaman ini tidak sekadar catatan sejarah, melainkan juga referensi bagi para pencari cinta. Cinta kepada Tuhan, cinta kepada bangsa dan negara, cinta kepada sesama, cinta pada kebenaran, cinta pada pada anak, cinta pada profesi, cinta pada banyak hal. Cerita cinta yang kompleks.

Judul : BungTomo Suamiku, Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu
ISBN : 979-104-392-2
Penulis : Sulistiana Sutomo
Penerbit : Visimedia
Tahun : 2008 (cetakan II)
Tebal : viii + 208 halaman
Harga : Rp 29.000

oleh: Sabjan Badio jakartasatu@gmail.com

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Kontak Sosial : media informasi kesejahteraan sosial, Edisi Semester 2/2008, hlm. 32

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Pahlawan Indonesia, Th. 2008, Tokoh dan tag , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar