Prof. Soetandyo Wignjosoebroto


Prof Soetandyo Wignjosoebroto
Komitmen pada Rasa Kemanusiaan

 Indonesia memang betul-betul terpuruk di mata dunia. Bukan saja karena kasus badai tsunami di Provinsi N angroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara, 29 Desember 2004 lalu, yang membutuhkan banyak perhatian dunia. Namun, juga keterpurukan itu juga disebabkan adanya kasus yang cukup kronis, seperti korupsi. Pada saat tetjadinya musibah yang meluluhlantakkan sejumlah kota di Serambi Mekah -dan menelan ratusan ribu korban jiwa- Gubemur yang Juga penguasa pemerintahan darurat sipil di NAD, Abdullah Puteh, justru sedang meringkuk di penJara gara-gara masalah korupsi.

Dalam pelbagai kesempatan tak bosan-bosan Guru Besar (emeritus) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, mengingatkan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi kebiasaan dan menjadi bagian dari hidup masyarakat Indonesia. “Oleh karena itu, pemberantasan korupsi selain dengan cara menegakkan hukum, juga hams dimulai dengan mengubah konsep cultural masyarakat,” tuturnya.

Kasus korupsi belakangan telah menyita perhatian masyarakat. Bukan hanya teIjadi di kalangan birokrat, tapi juga di lembaga wakil rakyat. Di Sidoarjo, misalnya, sebanyak 38 bekas anggota DPRD (periode 1999-2004) berstatus menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Gejala ini telah merebak ke pelbagai daerah di Indonesia.

“Itu sebuah fenomena yang menarikjika dilihat dari criteria korupsi. Secara kultural, penafsiran korupsi bisa berbeda-beda di setiap tempat atau negara. Kita harus melihat, arti korupsi adalah mengambil dana masyarakat (publik) untuk kepentingan pribadi (privat). Harus ada pembedaan dengan. tegas antara dana publik dan dana privat”.

Namun, dalam pandangan peraih gelar master di bidang administrasi publik dari Michigan University Amerika Serikat (1963) ini, pengertian publik ini tidak dikenal di sebagian besar negara berkembang atau negara Eropa zaman dulu, yang ti-dak meninggalkan sistem feodalisme. Seluruh kekayaan dianggap milik raja atau penguasa yang memiliki negara. Bahkan, di Perancis zaman dulu, ada semboyan dari raja, ‘Aku adalah Negara yang mengabaikan rakyat’ . Dengan sistem seperti itu, para penguasa yang korup tidak merasa bersalah karena mereka merasa memiliki negara.

“Masalah ini bukan hanya masalah hukum saja, melainkan masalah kultural. Oleh karena itu, memasuki tahap perubahan dari feodalisme ke arah demokrasi, perlahan-Iahan mulai ada perubahan konsep kultural. Mengubah alam pikiran orang memang tidak secepat mengubah undang-undang, diperlukan waktu yang sangat lama. Untuk itu, harus terus-menerus dikampanyekan gerakan antikorupsi dan budaya malu,” tutur Soetandyo, yang pernah mengasuh rubrik Kiat di Tengah Perubahan di sebuah harian diSurabaya.

Benar, Soetandyo, man tan Ketua Dewan Pakar Provinsi Jawa Timur ini, “Masalah korupsi itu sudah membudaya. Dari zaman penjajahan Belanda, budaya itu sudah aqa. Di Belanda juga dikenal family system. Tidak patutjika tidak menolong saudara yang sedang kesusahan. Di Amerika juga ada, yang disebut dengan spoil system, tetapi pelan-pelan mereka mencoba keluar dari itu dan membutuhkan waktu puluhan tahun”. Cara yang paling strategis adalah memberi penyadaran, memberi pendidikan politik dan pendidikan bernegara kepada masyarakat. Meskipun cara ini tidak populer, namun, harns dilaksanakanjika ingin mengubah konsep kultural masyarakat.”

Untuk mengikis habis korupsi, memang sesuatu yang mustahil. Namun, untuk memberikan efek kejut bagi pelakunya, koruptor patut diberi hukuman yang berat, seperti hukuman mati. “Boleh saja itu dilakukan dan saya . kira cukup baik. Di RRC malah diberlakukan hukumarr tembak bagi para koruptor. Namun, sekali lagi, itu hanya penyelesaian kasus per kasus. KKN ini pandanglah sebagai suatu penyakit. Kalau penyakit itu kronis, membersihkannya adalah dengan cara  pengubahan pola kultural, agar koruptornya tidak kembali lagi atau semakin ban yak lagi. Kalau akut, dibasmi dengan cara kasus per kasus berlandaskan hukum. Susahnya, korupsi ini adalah kejahatan yang merupakan bagian dari sistem. Kejahatan ini susah diusut karena merupakan bentuk kejahat-an tanpa korban. Menurut saya, kedua cara harus dilakukan,” tutur Ie\aki kelahiran 19 November 1932 di Madiun ini.

Soetandyo Wignjosoebroto (Wignjosoebroto adalah nama ayahnya) mengaku, secara profesi, ia telah pension sejak 1997. “Tetapi sebagai guru, saya tidak berhenti,” kata lelaki berusia lebih dari 72 tahun ini. Pribadinya begitu lekat dengan kultur Jawa. Karena itu, pada dirinya selalu berikhtiar untuk menyelaraskan makna dua kata “digugu lan ditiru” (diikuti perkataannya dan ditiru perbuatannya). Ia harus bisa menjadi teladan. ‘Guru bukan sebatas profesi, tapi panggilan sekaligus keteladanan tadi. Tak berlebihan bila kemudian ada yang menyebutnya sebagai “Guru yang tak pernah pensiun”.

Begitu pun, ia tetaplah sebagai pribadi yang sederhana. Ada kisah yang menyertai perjalanan hidupnya: suatu waktu, ia berada di Bandar Lampung untuk memberi pelatihan bagi guru-guru SMA. Di tengah pelatihan, seorang peserta maju dan memimpin menyanyi lagu Selamat Ulang Tahun yang sering dilagukan anak-anak. “Kalau di rumah, hanya cium pipi saat bangun tidur,” katanya. “Saya masih memiliki waktu mengajar sepuluh hingga aua puluh tahun lagi,” kata kakek empat cucu ini man tap.

Di usia yang bagi ban yak orang merupakan saat menikmati hari tua, Soetandyo masih sanggup mengayuh sepedanya untuk mengajar atau mengambil uang pensiun di kantor pos yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Sepeda itu dibelinya sekitar Rp 300.000. “Mobil saya dipecah tiga. Lha semua ingin naik kendaraan,” katanya enteng. Semangat mengajar dan menularkan ilmu-ilmu yang dikuasainya, tak pemah surut. Bila kini aktivitasnya berkurang, tak lebih untuk memberi kesempatan bagi penerusnya. “Masak saya duduk di kokpit terus, biarlah yang muda menambahjam terbang,” katanya.

Ia kini lebih banyak berkutat di program pascasarjana Unair Surabaya, memberi bimbingan desertasi dan menguji calon-calon master atau doctor dalam bidang ilmu-ilmu sosial. Ia juga kerap muncul dalam forum-forum seminar. Di sebuah ruangan di rumahnya, di Jalan Dharmawangsa, Surabaya, terdapat ribuan buku dari dalam maupun luar negeri tertata rapi dalam rak.

Soetandyo tercatat sebagai salah seorang ketua di sebuah LSM di Jakarta: Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HUMA). Tak terhitung lagi sumbangan pemikiran yang diteriakkannya di ruang-ruang forum pertemuan. Salah satu pengakuan nasional akan perjuangannya menegakkan hak asasi manusia, ditunjukkan dengan tawaran menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Kornnas HAM) tahun 1993 silam. Dua peri ode membidangi SubKomisi Pendidikan dan Penyuluhan di KomnasHAM.

Bila kini untuk menjadi anggota lembaga yang sempat “kembang kempis” itu semua calon harus menyerahkan curriculum vitae (CV) dan menjalanifit and proper test di depan anggota DPR, tidak dengan Soetandyo. Ali Said, mantan Ketua Komnas HAM, memintanya membantu. Permintaan itu diterimanya dalam bentuk surat ditulis tangan yang dikirim kurir. “Seumur hidup saya, tak pemah sekalipun membuat surat lamaran pekerjaan,” kata salah satu pendiri Asia Pacific Forum of Human Right (Forum Regional Komisi Hak Asasi Manusia) yang dideklarasikan tahun 1994 di Darwin, Australia, itu.

Saat didatangi kurir Ali Said, Soetandyo tengah tinggal di kampung Kukusan, kampung mahasiswa di sebelah selatan Kampus UI Depok, menemani istrinya yang juga man tan anak didiknya di Fakultas Hukum (FH) Unair, Asminingsih, yang melanjutkan studi S2 mengambil jurusan perpustakaan. Mereka menyewa sebuah kamar (kos) dan berbaur dengan masyarakat sekitar, termasuk para mahasiswa. Dua tahun mereka tinggal di sana.

Integritas dan keteguhannya terhadap prinsip telah terlihat sejak ayah dari tiga putri ini masih aktif mengajar di F akultas Hukum dan FISIP Unair. Ketika baju safari ditetapkan pemerintah sebagai pakaian resmi, iamernilih memakai kemeja “Saya tidak membangkang, mungkin lebih tepat menyimpang saja,” katanya sembari tertawa.

Ia juga tidak larut terlena dengan fasilitas kantor saat menjabat sebagai Dekan FISIP Unair. Jabatan tak membuatnya sibuk dengan rapat-rapat, yang menurut dia membuat pikiran beku. “Saya lebih suka bergaul dengan para aktivis LSM yang muda-muda, bisa kreatif dan berkembang,” katanya. Kala itu, ia selalu menyarankan koleganya yang akan melanjutkan sekolah agar mengambil jursan berbeda dengan latar belakang ilmu mereka sebelumnya. Wawasan pun bertambah luas. “Apa hebatnya seseorang yang menguasai satu bidang ilmu saja,” kata Soetandyo yang gagal menjadi Rektor Unair Surabaya karena tidak “diinginkan” penguasa rezim Orde Baru.

Ia yang saat itu sedang mengadakan penelitian di Belanda, hanya diberi waktu sehari menyelesaikan Cv. Dukungan mengalir, tetapijustm istrinya meminta mundur dari pencalonan. “Dia tidak suka jadi ketua Dharma Wanita,” kenang Soetandyo, sosok yang dikenallow profile. “Kegagalannya” itu disambut syukuran oleh koleganya di FISIP Unair. Pasalnya, ia tidak jadi meninggalkan fakultas yang dirintisnya itu.

Dalam hukum positif, ketika persoalan hukum seperti yang tertera dalam peraturan pemndang-undangan bertemu dengan rasa kemanusiaan, maka sudah seharusnya persoaian kemanusiaan itulah yang lebih diutamakan. Seperti dalam persoalan penertiban rakyat miskin yang mengatasnamak m hukum, sehamsnya sisi kemanusiaan lebih menjadi bahan pertirobangan”.

Soetandyo Wignjosoebroto, memang dikenal mempunyai komitmen yang tinggi terhadap masalah kemanusiaan, khususnya rakyat kecil dan hak asasi manusia. Ia nampak antusias ketika diajak bicara persoalan yang setiap hari nyaris tak pernah sepi dalam pembicaraan perkembangan sebuah kota, seperti gencarnya penertiban yang dilakukan oleh pemerintah. “Sebuah keputusan atau kebijakan itu sebaiknya tetap didasarkan pada pertimbangan patut atau tidaknya,” tegas Soetandyo. Undang-undang (UU) yang berlaku memang hams ditegakkan, tetapi jangan sampai keputusan yang mengatasnamakan uu tersebut justm mencelakakan orang dalamjumlah yang lebih banyak.

Ia mengingatkan, hokum mengamanatkan dan memberi tanggung jawab kepada negara untuk memakmurkan warganya, bukan hanya untuk individu-individu tertentu. Sementara yang muncul justru memprihatinkan, segala bentuk

penertiban yang dilakukan pemerintah selama ini hampir selalu berdasarkan pada kepemilikan kartu tanda penduduk (KTP) kota yang bersangkutan. “Harus diubah cara pandang pemerintah. Status yang menjadi dasar sebaiknya statusnya sebagai sesama manusia, bukan status sebagai pengungsi ekonomi,” tegasnya.

Segala bentuk upaya yang dilakukan oleh korban kebijakan yang tersisihseperti yang ditempuh di Surabaya dengan merangkul para pengacara dan akademisi dengan program yang disebut street justice-, menurut dia sangat positif, yakni sebuah upaya memperjumpakan hukum dengan hukum, bukan hukum yang diperjumpakan dengan kekuatan fisik “Ini sebuah langkah melek hak, bukan hanya melek kewajiban seperti yang selama ini teIjadi,” kata Soetandyo.

Semangat keberpihakannya pada kaum akar rumput (grass root) telah teruji. Kota Surabaya menjadi saksi empatinya terhadap kaum marjinal yang tersisih oleh kebijakan pemerintah kota (pemkot), seperti penggusuran pedagang kaki lima (PKL) dan bangunan di bantaran sungai. Ia memperbolehkan PKL berdagang di trotoar di depan rumahnya menggunakan gerobak dorong dan hanya meminta mereka menjaga kebersihan. Angkutan kota yang diusir polisi diperbolehkan Soetandyo untuk ngetem di depan rumah di lalan Dharmawangsa No 3 Surabaya. “Mereka, kan hanya cari makan,” katanya. Diajuga rutin memberi tajil buka puasa bagi sepuluh sopir pertama yang tiba di pos di depan rumahnya itu.

Ia melihat, ketentuan hukum dibuat bukan untuk melindungi rakyat kecil, tetapi bercita rasa kaum map an, yakni orang-orang kaya yang bermodal kuat. Buktinya, bila ketentuan hukum dipahami secara harafiah, tak ada sedikitpun ruang yang memihak rakyat kecil. Sebagai penganut aliran nonpositivistik dalam memahami bahasa hukum, ia mengaku gundah dengan kondisi tersebut.

Dalam menafsirkan hukum, menurut pakar sosiologi yang juga menguasai ilmu hukum ini, semestinya tidak terkungkung dalam teks harafiahnya, tetapi juga menyentuh kedalaman rasa kemanusiaan. Menambah perspektif sosiologis sebagai salah satu cara.

Lebih lanjut Soetandyo, menguraikan bahaya penafsiran bahasa hukum secara harfiah. Buahnya, koruptor dan penjahat kelas kakap melenggang bebas karena kelihaian pengacara bermain dengan bahasa hukum yang tidak memasyarakat. Prinsip itulah yang membuatnya tidak pernah betah berlama-lama berdiam diri di belakang meja keIja. Ia bukanlah pakar yang terus duduk di belakang meja dan hanya iso ngajar ra iso nglakoni (bisa mengajartetapi tak bisa melakukannya). Realita adanya hak-hak asasi manusia yang dirampas dan ketidakberdayaan rakyat kecil di hadapan hukum, membuatnya bersemangat mengakrabi lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Dalam sebuah makalahnya, Soetandyo mengungkapkan bahwa pemimpin nasional, mulai dari pendiri Indonesia sampai pemimpin Orde Baru, ternyata tidak pernah mampu menegaskan makna negara hukum sebagai hasil peIjanjian luhur bangsa, seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Akibatnya, pemerintahan yang dikembangkan bersifat feodalistik, diskriminatif, dan tetap mempertahankan dikotomi gusti-kawula (tuan-abdi) sehingga tak pernah rakyat berada pada derajat yang sarna dengan pemerintah (pejabat).

Ia menegaskan, kegagalan memaknai negara hukum, telah mendorong pemimpin nasional menjadikan Indonesia mengikuti model metayuridis Hegelian. Yakni, sebagai suatu supraorganisme yang total dan integralistik yang mengingkari eksistensi warga negara. Padahal, sesuai dengan kodratnya, eksistensi setiap warga ijegara harus diakui sebagai pribadi yang mandiri dan berkebebasan.

“Warna paternalisme dan patrimonialisme makin dominan di negara ini. Revolusi untuk mereformasi ekses liberalisme Barat temyata tak bergerak secara progresif ke arah penyempumaan praksis demokrasi, berikut aplikasi konstitusionalismenya. Namunjustru bergerak mundur ke model neo-feodalisme yang lebih bergayut pada paham etatisme, dan bukan ke paham konstitusionalisme”.

Selama ini, pemuka nasional Indonesia, cenderung mempersepsikan kompleksitas persoalan bangsa sebagai akibat kemiskinan. Bukan mencoba memaknai ‘negara hukum dengan melakukan pembebasan setiap warga negara dari segala bentuk control kekuasaan yang tiranik. Bila benar kemiskinan menjadi sumber persoalan bangsa, katanya, pemimpin nasional sampai kini pun berpandangan itu diakibatkan oleh eksploitasi yang dilakukan oleh negara Barat serta konspirasi asing. Bukan diakibatkan oleh pemerintahan yang koruptif. Sementara pemuka nasional selalu menempatkan diri sebagai pahlawan pelawan konspirasi asing. “Gerakan reformasi bukan reformasi apabila tidak bisa mengubah moral politik dalam kebidupan berbangsa. Gerakan reformasi harus mampu mendekonstruksi format lama dalam kehidupan bernegara yang otokratik ke wujud yang demokratik”.

Kesadaran dan pengetahuan warga negara tentang hak asasi manusia (HAM) sangat ditentukan oleh sistem pendidikan nasional yang baku dan terpadu. Oleh sebab itu, keterlibatan semua pihak dalam upaya mendorong pembaruan kurikulum dengan memasukkan materi HAM secara lebih optimal sebagai bagian dari pembaruan itu diperlukan. Namun sayang, saat ini telah terjadi penyimpangan arah pendidikan.

Institusi pendidikan seharusnya merupakan suatu kerja ideal dan bukan malah mendahulukan persoalan uang atau materi. Akibatnya, seperti yang terjadi pada keempat PTN itu, kebijakan mencari pendapatan melalui program jalur khusus menjadi sekadar pelarian. Hal itu dilakukan lantaran selama ini mereka tidak memiliki kemampuan menjadikan riset-riset ilmiah sebagai salah satu pilihan untuk memperoleh masukan dana. “Saat ini yang teIjadi di Indonesia, selain tidak diurus sungguhsungguh, misi pendidikan menjadi sekadar berorientasi pada uang dan bukan untuk mengembangkan segi keilmuan,” ujar Soetandyo.

Walau diakui pendidikan bermutu memang membutuhkan biaya besar, persyaratan untuk menyediakan uang sekian juta rupiah bagi mereka yang akan masuk ke PTN tertentu, dinilai Soetandyo, sebagai realitas yang sangat menyedihkan. “Keadaan itu akan menurunkan kualitas moral perguruan tinggi. Institusi pendidikan nantinya hanya akan memperhatikan bagaimana memperoleh uang daripada mengurus kualitas dan masa depan anak didiknya,” ujar Soetandyo. *** Riadi Ngasiran

Teropong ,Edisi 19, Januari – Pebruari 2005, hlm. 34

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Surabaya, Tokoh dan tag , , , , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar