Perkutut Mertengsari


Prabu Brawijaya sangat tentram hidupnya. Rakyat dan kerajaannya amat makmur. Baginda mempunyai dua orang anak: a) Pangeran Anom dan b) dewi Sekar-kemuning. Patih Gajah juga mempunyai dua orang anak: a) R. Udara yang ditetapkan menjadi Patih di Kediri dan b) Dyah Sugiyah yang dikawinkan oleh Sri baginda dengan Pangeran Anom. Arya Bangah, bupati Pejajaran beranak dua orang juga, a) R. Kebobang dan b) R. Tiron. Kedua-duanya tinggal di Majapahit untuk belajru: ilmu pemerintahan.

Seolah-olah tak ada persoalan yang mengganggu ketentraman kerajaan Majapahit dan kehidupan keluarga raja, hingga pada suatu hari Baginda mendengar kicau burung perkutut yang sangat menarik hatinya. Baginda waktu itu sedang duduk di taman, di bawah pohon nagasari, tempat dua ekor burung perkutut bertengger.
“Adinda”, kata perkutut jantan yang bukan lain adalah Mertengsari penjelmaan Prabu Siungwanara.
“Ya kakanda”, jawab perkutut betina.
“Sekaranglah waktunya untuk menarik perhatian kanda Jaka Suruh terhadap diri kita. Marilah kita bernyanyi.” Mulailah kedua burung itu bernyanyi, dan nyanyian mereka itulah yang didengar oleh Prabu Brawijaya. Baginda melihat ke atas, dan dilihat Baginda dua ekor burung perkutut yang sangat bagus warna dan suaranya. Segera Baginda memerintahkan untuk menangkap burung. itu dengan kurungan pasangan. Seorang pengawal yang terkenal pandai menangkap burung, dengan cepat datang membawa sebuah kurungan emas yang sangat indah. Kemudian disangkutkanlah kurungan itu pada sebuah dahan pada pohon nagasari itu. Tetapi dengan takdir dewata agung, hanya Mertengsari yang tertangkap, sedangkan perkutut betina dengan ketakutan terbang dan hilang di kerimbunan hutan. Perkutut Mertengsari diserahkan kepada Prabu Brawijaya, yang kemudian menyerahkan kepada puteri sekar kedaton, ialah dewi Sekar-kemuning.

Malam itu hening sunyi. Inang dan pengawal telah tidur. Pengawal kerajaan hanya sekali-sekali memperdengarkan tabuh. Hanya Dewi Sekar-kemuning belum juga tidur, masih asyik dengan pekerjaannya, menjahit dan menyulam. Sebetulnya masih ada makhluk lain yang belum tidur, yang sejak lama memperhatikan tingkah laku puteri elok jelita itu. Dia itu Mertengsari, perkutut bersuara emas. Mertengsari telah lama terbuai dan mabuk akan kejelitaan dewi Sekar-kemuning. Ia tahu, bahwa bunga kerajaan Majapahit itu telah hendak dipertunangkan dengan R. Kebobang, tetapi sang dewi telah menolaknya. Duduk berdekatan dengan bunga yang indah itu, burung perkutut makin hanyut terbawa arus asmara. Lama kelamaan tak tahan lagi ia melawan kasih yang mendera-dera hatinya itu. Ditariknya jiwanya lepas dari tubuh burung itu, lalu menjelma menjadi seorang pemuda yang sangat tampan laksana dewa Semara.

Dengan tenang ia duduk di hadapan sang puteri. Alangkah terkejutnya dewi Sekar-kemuning ketika ia melihat seorang pemuda yang amat tampan duduk di hadapannya. Hatinya tergetar dengan seru.
Mertengsari berkata menenangkan: “Jangan takut Tuan puteri. Hamba datang dengan maksud baik.”
Dewi Sekar-kemuning: “Siapakah Tuanku ini?”
Mertengsari: “Hamba, bernama Mertengsari.”

Kemudian diceriterakanlah asal usulnya. Tuan puteri sangat kasihan, karena Mertengsari dapat berceritera dengan sangat mengasyikkan dan menimbulkan iba dan kasih. Hati Tuan puteri yang sejak pandang pertama telah condong kekasih, menjadi terbakar asmara karen a rayuan Mertengsari. Jatuhlah dewi Sekar-kemuning di dalam pelukan Mertengsari. Mereka hidup sebagai suami-isteri secara rahasia. Beberapa bulan hidup seperti itu dewi Sekar-kemuning menjadi hamil dan akhirnya melahirkan. Tetapi yang lahir itu berupa 2 butir telur yang kemudian menetas menjadi 2 ekor burung perkutut. Yang tua dinamai Ki Jaka Mangu dan yang muda dinamai Ki Jaka Sura. Setelah dewasa kedua anak itu menanyakan siapa ayahnya kepada ibunya. Dewi Sekar-kemuning tak mau berkata sebenamya dan mengatakan bahwa ayahnya sedang berkelana mengelilingi dunia. Kedua ekor perkutut itu ingin menyusul ayahnya. Setelah minta diri, Jaka Mangu dan Jaka Sura lalu pergi.

Prabu Brawijaya ingin mengawinkan Dewi Sekar-kernuning dengan R. Kebobang, tetapi sekali inipun keinginan Sri Baginda itu ditolak lagi oleh Tuan puteri. Pada hari penghadapan, Prabu Brawijaya mengumumkan sayernbara, barang siapa yang sanggup diutus ke Pejajaran dan kembali dalam satu hari, akan diambil menantu. Tetapi bila tak berhasil, akan dibunuh. Tak ada seorangpun yang sanggup, bahkan R. Kebobang pun tak berani rnengajukan diri. ***

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: BABAD TANAH JAWI; Galuh Mataram, hlm. 42-44

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Legenda, Sejarah dan tag , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar