Ki Ageng Putu Surya Alam


cerita dari bahasa Jawa daerah Trenggalek

Terkisahlah sebuah kerajaan Kecil yang berada didaerah Ponoro­go, Kerajaan Wengker nanianya. Kerajaan kecil ini merupakan bagian yang erat dengan kerajaan Majapahit yang agung. Adapun yang memerintah kerajaan Wengker yang kecil ini adalah Ki Ageng Putu Surya Alam di­bantu oleh dua orang saudara seperguruannya, yakni Ki Ageng Anggagana dan Ki Ageng Anggajaya. Sebagai seorang raja yang menguasai sebu­ah kerajaan yang kecil, Ki Ageng merasa hidupnya aman tenteram dan damai, dengan dikaruniai dua orang anak. Yang sulung bernama Sulastri seorang wanita yang sangat rupawan, dan yang bungsu adalah Menak Sopal, seorang ksatria yang gagah perkasa.

Konon, dengan perkembangan Majapahit, yang sangat pesat ini, Ki Ageng Putu Surya Alam mengamatinya dari kacamata yang lain. Dengan kehadiran para pedagang asing yang kemudian menetap di tlatah Kerajaan Majapahit, Ki Ageng Putu Surya Alam, merasa sangat khawatir, sebab menurut Ki Ageng Surya Alam, bila keadaan yang demikian ini dibiarkan berlarut-larut bisa berakibat membahayakan ekonomi, yang kemudian bisa merembet ke bidang keamanan dan bidang-bidang yang lain. Salah-salah Majapahit terganggu keselamatan serta keutuhannya sebagai negara yang besar, agung dan sedang menduduki puncak kejaya­an.

Demikianlah, akhirnya dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang, Ki Ageng Surya Alam menghadap baginda raja Majapahit. Ki Ageng Surya Alam kemudian mengajukan usul-usul dan saran-saran tentang kehadiran pedagang asing di negara Majapahit, yang kemudian bertempat tinggal tetap di wilayah Kerajaan Majapahit. Pedagang-peda­gang ini sebaiknya dicegah atau setidak-tidaknya dibatasi kehadiran dan ruang geraknya.

Namun apa yang terjadi ? Usul dan saran-saran Ki Ageng Putu Surya Alam ditolak mentah-mentah oleh Baginda Raja Majapahit. Ki Ageng Putu sangat kecewa akan sikap dan tanggapan Baginda Raja Maja­pahit. Oleh karena itu sejak saat itu Ki Ageng Putu Surya Alam, memu­tuskan untuk tidak akan datang lagi, menghadap ke Kerajaan Majapahit. Tegasnya mulai saat itu Ki Ageng Surya Alam membangkang terhadap raja Majapahit. Ia bersumpah tidak akan datang menghadap raja lagi sebelum semua usul dan saran-sarannya dikabulkan oleh Baginda Raja.

Oleh karena itu untuk menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi atas kerajaan kecil Wengker yang sangat dicintainya, Ki Ageng Putu Surya Alam, meningkatkan dan mengembangkan pertahanan ne­gerinya. Ki Ageng membentuk dan melatih prajurit dengan giat, demi ketahanan negerinya.

Latihan dan ulah keprajuritan terus ditingkatkan. Disiplin prajurit di­perketat. Prajurit-prajurit tidak diperkenankan kawin terlalu muda, supaya bisa memusatkan perhatiannya pada tugas-tugasnya sebagai se­orang prajurit yang pilih tanding. Pendek kata Wengker telah menjadi sebuah kerajaan kecil yang mempunyai pertahanan yang kuat. Prajurit- prajurit selalu dalam keadaan siap tempur. Ki Ageng menyadari bahwa tindakannya ini akan menimbulkan kemurkaan Baginda Raja Majapahit. Dan bukan tidak mungkin Majapahit sewaktu-waktu akan mengirimkan pasukannya untuk menghancurkan Wengker.

Meskipun sahabat dan saudara seperguruan Ki Ageng, yakni Ki Ageng Anggajaya dan Ki Ageng Anggalana, selalu memberikan nasehat dan pe­tuah, bahwa tindakan Ki Ageng Putu tersebut sangat berbahaya bagi Kerajaan Wengker, Ki Ageng Putu tetap pada pendiriannya. Ia tidak akan mau menghadap ke Majapahit, sebelum semua saran dan usulnya dika­bulkan oleh Baginda Raja Majapahit.

Memang benar apa yang diduga Ki Ageng Putu, Majapahit sangat murka akan tindakan Wengker. Oleh sebab itu Majapahit mengirimkan pasukan yang cukup kuat untuk menangkap Ki Ageng Putu Surya Alam yang telah berani membangkang kepada Baginda Raja Majapahit.

Namun Wengker sekarang bukanlah Wengker yang dahulu. Weng­ker memang sudah siap dengan segala kemungkinan. Prajurit-prajurit­nya adalah baik. Terjadilah pertempuran yang sengit antara prajurit- prajurit Majapahit dengan prajurit-prajurit Wengker. Tidak sia-sialah Ki Ageng Putu Surya Alam mengembleng para prajuritnya. Prajurit- prajurit Majapahit tidak mampu menjebol pertahanan Wengker yang demikian kuat dan sempurna. Maka korban pun mulai berjatuhan.. Prajurit-prajurit Majapahit banyak yang gugur di medan laga. Gagallah usaha Majapahit untuk menghukum dan menangkap Ki Ageng Wengker. Berkali-kali Majapahit berusaha untuk menjebolkan benteng per­tahanan Wengker. Namun tidak ada hasilnya sama sekali. Bahkan tentara Majapahit seakan-akan lumpuh sama sekali bila menghadapi Wengker. Memang tidak begitu saja Ki Ageng berani membangkang ke Maja­pahit. Ki Ageng memang mempunyai andalan, yakni sebuah pusaka yang

berujud sebuah keris yang amat sakti, yang termasyuhur dengan sebutan keris Eyang Puspitarini. Keris ini mempunyai daya perbawa yang hebat. Bila keris ini ditujukan pada musuh, maka musuh itu gatal-gatal seluruh tubuhnya, bagaikan kena rawe. Oleh sebab itu tidak mengherankan bila prajurit Majapahit selalu menderita kalah dalam usahanya menghan­curkan Wengker. Wengker mempunyai prajurit yang kuat, yang terlatih baik, yang berdisiplin baja, yang masih ditunjang dengan andalan pusaka ampuh keris Eyang Puspitarini.

Maka Baginda Raja Majapahit lalu mencari daya dan upaya lain. Bagaimana caranya bisa menaklukkan Wengker tanpa banyak jatuh kor­ban. Majapahit lalu mengutus Batara Katong untuk menyusup ke Weng­ker. Betara Katong berhasil masuk ke dalam istana dan diterima, sebagai tamu yang terhormat. Setelah Batara Katong menghadap Ki Age’ng Putu Surya Alam maka ia lalu mengajak Ki Ageng untuk berdebat tentang pengetahuan asal-usul kehidupan dan akhir serta kelanjutan kehidupan manusia di dunia ini. Mereka berdebat tentang ilmu sejati, tentang ulah kebatinan, dan segala macam ilmu yang menyangkut kehidupan yang sangat pelik.

Rupa-rupanya Batara Katong berhasil menarik perhatian Ki Ageng Putu terhadap anak muda yang mumpunni dalam segala ilmu kebatinan ini. Tertarik akan Batara Katong, maka Ki Ageng Putu Surya Alam lalu mengambil keputusan mengambil menantu Batara Katong, dan di­kawinkan dengan Sulastri puteri Sulungnya.

Demikianlah akhirnya Batara Katong menjadi suami Sulastri. Batara Katong bahasil menjadi menantu Ki Ageng Putu Surya Alam. Pintu sudah terkuak untuk membuka tabir yang penuh dengan misteri tentang Wengker. Sulastri ternyata seorang wanita patut diteladani. Ia sangat mencintai suaminya, lahir dan batin, Batara Katong sungguh- sungguh menyayanginya sebagai seorang istri. Sulastri pun mulai hamil lima bulan. Namun Batara Katong tidak melupakan tugas sucinya dari Kerajaan Majapahit untuk melumpuhkan Wengker tanpa pertumpahan darah. Ia mendapat tugas rahasia untuk menyingkirkan Ki Ageng Putu di Wengker, yang sekarang tidak lain ialah mertuanya sendiri.

Pada suatu hari yang sangat baik, Batara Katong mengutarakan maksudnya untuk melihat pusaka keris sakti Eyang Puspitarini. Mula­nya Sulastri sangat ragu akan maksud Batara Katong, dan demi cintanya kepada Batara Katong, akhirnya ia bersedia untuk mengambilkan keris pusaka tersebut. Sulastri tahu benar bahwa keris Eyang Puspitarini ada­

lah pusaka andalan ayahnya, dan juga andalan Wengker. Bila pusaka ini jatuh pada orang lain, maka ini berarti akan tamatlah Wengker. Namun demi cihtanya dia rela mengorbankan segalanya. Dengan perasaan hancur dia terpaksa meluluskan permintaan suaminya, Batara Katong.

Maka Sulastri pun dengan bersembunyi-sembunyi berhasil men­curi keris ayahanda, keris Eyang Puspitarini, dan diserahkannya kepada Batara Katong, suaminya.

Setelah berhasil memperoleh keris Eyang Puspitarini, maka Bata­ra Katong lalu menghadap ayahanda mertuanya, Ki Ageng Putu Surya Alam. Bagaimanapun ia adalah tetap pada jalur tugasnya sebagai seorang utusan dari Kerajaan Majapahit yang bertugas untuk menyingkirkan Ki Ageng Putu Surya Alam, tanpa menimbulkan peperangan yang besar.

Setelah menghadap Ki Ageng Putu, berkatalah Batara Katong, “Ayahanda prabu Ki Ageng Putu. Sebelumnya perkenankanlah hamba mohon maaf. Sebenarnya kehadiran saya di tengah-tengah Kerajaan Wengker yang perkasa ini, mengemban tugas yang amat berat. Hamba sebenarnya adalah duta Kerajaan Majapahit, yang mendapat tugas yang untuk menghadapkan Ki Ageng ke Majapahit. Kami mohon dengan hor­mat sudilah Ki Ageng menghadap ke Majapahit bersama dengan kami. Sebab dengan demikian Wengker akan manunggal kembali dengan Maja^ pahit. Dan ini berarti peperangan – peperangan yang banyak membawa korban dapat dihindarkan”.

Mendengar ucapan sang menantu yang demikian lancang itu, maka Ki Ageng Putu sangat murkanya. Ujarnya,

“Hai Batara Katong. Lancang benar ucapamu. Ingatlah, engkau, engkau adalah menantuku. Berani benar engkau menantangku. Apa yang akan kau andalkan, hai Batara Katong. Kau seorang diri, akan mengha­dapi Ki Ageng Putu. Sedang tentara Majapahit segelar sepapan tidak mam­pu menundukkan saya, Ki Putu, yang mempunyai wewenang untuk me­nentukan menghadap ke Majapahit atau membangkang Majapahit. Tidak ada seorang pun yang mampu mendikte saya”

Dengan ketenangan Seorang satria Batara Katong menjawab ujar sang mertua.

“Ayahanda Prabu. Memang tidak akan ada yang bisa mengalah­kan ayahanda Prabu. Karena ayahanda memang memiliki pusaka yang amat ampuh, keris Eyang Puspitarini. Selama keris itu masih ada pada ayahanda memang tak akan ada yang mengalahkan sang prabu. Tetapi kini, lihatlah apa yang ada di tangan saya ini. Keris sakti Eyang Puspi­tarini”

Betapa terkejut sang Prabu Wengker demi melihat keris sakti Eyang Pustitarini beradq, di tangan Batara Katong. Tidak mengira sama sekali bahwa pusaka andalannya tersebut akan jatuh ke tangan orang lain

“Ayahanda prabu. Terpaksa ananda memaksa ayahanda mengha­dap ke Majapahit bersama dengan ananda. Apakah ayahanda masih me­nolak? Pusaka keris Eyang Puspitarini sudah ada di tangan ananda”, ujar Batara Katong.

Ternyata Ki Ageng Putu Surya Alam bukanlah seorang pengecut. Meski pusaka andalannya sudah lepas dari tangannya, namun dia tetap bersikeras tidak mau menghadap ke Majapahit. Akhirnya Batara Katong mengambil jalan keras. Dan berakhirlah riwayat seorang raja kecil di Wengker Ki Ageng Surya Alam, di tangan menantunya, dengan pusaka­nya sendiri yang paling diandalkan. Tragis memang. Manusia mati di ujung pusakanya sendiri yang dikasihi melebihi segalanya. Manusia mati karena orang yang dikasihinya.

Setelah Ki Ageng Putu tewas, Batara Katong masih mengkhawa­tirkan akan putera Ki Ageng, yakni Menak Sopal. Bagaimanapun selalu terbuka adanya kemungkinan bahwa sang putera ini akan membela ke- matian ayahandanya. Maka Batara Katong lalu mengutus Ki Anggalana dan Ki Ageng Anggajaya untuk memanggil Menak Sopal, supaya meng­hadap ke Wengker. Utusan diberi wewenang penuh untuk menghadap­kan Menak Sopal. Jika membangkang harus diambil garis keras. Mau tidak mau Menak Sopal harus menghadap ke Wengker.

Ternayata utusan tidak mengalami kesulitan untuk menghadap kan Menak Sopal ke Wengker. Setelah mendengarkan semua keterangan Sulastri, tentang kematian ayahandanya, Menak Sopal sadar bahwa per­satuan antara Wengker dengan Majapahit harus diwujudkan. Meski kor­ban harus ada. Dan korban itu adalah ayahanda tercinta. Memang berat, tapi semua harus terjadi..

Mendengar putusan Menak Sopal yang sangat bijaksana itu, se­nanglah seluruh Kerajaan Wengker. Peperangan besar bisa dihindarkan. Wengker bisa disatukan kembali dengan Majapahit tanpa menimbulkan peperangan besar yang membawa korban para kawula kecil. Setiap hati menjadi tenang dan terang.

Kemudian Menak Sopal kembali ke daerah timur. Daerah itu ke­mudian disebutnya Trang Galih. Karena hati setiap orang menjadi terang dan tenteram pada saat itu. Lama kelamaan dari Trang Galih (Terang Hati) ini berubah menjadi Trenggalek. Menak Sopal mengembangkan daerah yang baru itu, sehingga menjadi sebuah daerah yang tenang tenteram dan damai. Subur makmur, murah sandang dan pangan.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Cerita Rakyat Jawatimur, DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN, hlm. 63-67

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Legenda, Trenggalek dan tag , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar