Wayang Timplong: Tradisi yang Terbenam dalam Gemerlapnya Hiburan Modern, Dalangnya Hanya Lima Orang di Seluruh Dunia


-25 Oktober 2011-
Orang awam di luar daerah Nganjuk, barangkali tidak banyak yang mengetahui apa itu wayang Timplong. Bahkan meski bertempat tinggal di Nganjuk, khususnya generasi muda, pasti tidak banyak yang paham tentang wayang tersebut. Wayang Timplong yang dipentaskan secara sederhana dalam acara-acara khusus, semakin membuat wayang Timplong terbenam dalam gemerlapnya dunia hiburan modern.

Bentuk wayang ini sangat unik. Jika wayang umumnya terbuat dari kulit, atau boneka kayu jika itu wayang golek, kalau wayang Timplong, terbuat dari bahan  kayu waru, sementara tangannya terbuat dari kulit. Untuk mengiringi pagelaran wayang, sang dalang hanya dibantu oleh lima orang panjak atau pemain gamelan yang terdiri dari kendang, dua kenong, gambang, dan gong kecil.

Wayang Timplong yang merupakan kesenian asli Kabupaten Nganjuk semakin dijauhi orang. Apalagi para remaja dan golongan muda yang tidak kenal dengan budaya luhur daerahnya. Meski sudah enam generasi, keberadaan wayang Timplong tetap terjaga dengan baik, karena dari generasi tua melalui garis keturunan secara tidak langsung menjaga kesenian tradisi asli Nganjuk kepada generasi berikutnya.

Wayang Timplong adalah sejenis kesenian wayang dari daerah Nganjuk. Kesenian tradisional ini konon mulai ada sejak tahun 1910 dari Dusun Kedung Bajul Desa Jetis, Kecamatan Pace.

Bahkan di seluruh dunia, hanya sekitar lima dalang wayang timplong yang saat ini masih setia melestarikan wayang Timplong. Ki Gondo Maelan yang kini telah berusia lebih dari 80 tahun, asal Desa Getas Kecamatan Tanjunganom tetap menjaga agar wayang Timplong tidak punah. Meskipun pagelarannya hanya pada saat bersih desa, Ki Gondo Maelan tetap berharap anak cucunya mau meneruskan keahliannya bertutur dalam melakonkan wayang Timplong. “Sekarang ini di Nganjuk mungkin di seluruh dunia hanya terdapat tidak kurang lima dalang wayang timplong, dan yang meneruskan keahliannya bertutur dalam melakonkan wayang Timplong. “Sekarang ini di Nganjuk mungkin di seluruh dunia hanya terdapat tidak kurang lima dalang wayang timplong, dan yang tertua, ya saya,” kata Ki Gondo Maelan saat ditemui pada acara bersih desa di Kecamatan Sukomoro beberapa waktu lalu.

Jika selama ini sebagian besar warga masyarakat lebih mengenali kesenian wayang, tentu saja wayang kulit. Apalagi, era sekarang ini wayang kulit dengan kemasan baru terasa lebih segar, karena memasukkan unsur-unsur lawakan dan juga pesinden lagu-lagu campursari.

Justru sebaliknya, wayang timplong penabuh gamelannya tidak sebanyak dan selengkap yang dijumpai pada seni tradisi wayang kulit gaya Yogyakarta maupun Surakarla. Wayang asli bumi Nganjuk yang akan punah bila tidak dilestarikan ini, tetap berjalan pada pakem wayang itu sendiri. Artinya, sebagai generasi penerus dari para pendahulunya, Ki Gondo Maelan tidak berniat mengubah eksistensi wayang timplong itu sendiri. “0j0 sampek ilang, wayang timplong itu wujudnya yang seperti itu,” ujar Ki Gondo Maelan yang merupakan murid dari Ki Talam yang saat ini sudah wafat.

Kesenian wayang timplong ini hidup dan berkembang di tengah-tengah komunitas penduduk pedesaan di daerah Nganjuk. Sedangkan cerita wayangnya berkisar pada cerita-cerita rakyat, teristimewa cerita Kediren atau asal usul daerah Kediri. “Cerita-cerita lakon Babat Kediri, Asmoro Bangun, dan Panji Laras Miring itu sudah pakem wayang timplong,” tutur ki Gondo Maelan.

Tampilan wayang Timplong asal Nganjuk ini patut mendapat perhatian, terlebih kajian-kajian sosiologis-antropologis dari para pakar seni tradisi. Karena karakter wayang itu sendiri mengenal tokoh jahat maupun tokoh baik. Misalnya tokoh yang disebut Prabu Djoko Klono Sewandoro adalah tokoh jahat, sementara Panji Asmoro adalah tokoh baik. Kelestarian wayang Timplong bisa ditolong dengan sering dipentaskannya wayang tersebut untuk ruwatan desa/bersih desa, untuk mengusir balak ataupun bencana. “Bulan Suroan biasanya banyak tanggapan, kadang tiga, empat, sampai enam kali,” kata Ki Gondo Maelan.

Wayang Timplong tetap ada meskipun eksistensinya terbatas pada komunitas pedesaan yang masih menghargai ritualitas. Ruwatan dan bersih desa yang masih subur di tengah-tengah masyarakat itu menjadi ruang hidup seni wayang Timplong. Ruang untuk wayang langka ini masih perlu dibuka lebar, karena seni tradisi yang konon cuma hidup dan berkembang di daerah Nganjuk itu bias jadi sebuah kekuatan untuk pencerahan-pencerahan hidup.

Hingga kini belum diketahui secara pasti kapan kesenian ini diciptakan. Berdasarkan kenyataan bahwa Nganjuk memiliki sejarah yang cukup tua, upaya untuk mengetahui asal-usul wayang Timplong akan terkait erat dengan perjalanan sejarah kota Nganjuk. Hal itu dibutuhkan untuk menghadirkan peluang-peluang interpretasi demi tercapaianya pemahaman tentang jenis wayang ini.

Ihwal penamaan Timplong belum diketahui hingga saat ini. Namun demikian penduduk di wilayah Nganjuk menduga istilah tersebut dipilih untuk menamai wayang kayu yang dimaksud, karena mengacu pada bunyi gambang bambu yang merupakan unsur melodis paling dominan dalam iringan Timplong. Keterangan ini cukup masuk akal karena dalang-dalang Timplong umumnya juga berpendapat demikian. Jika suara gambang bambu yang digunakan dalam iringan wayang Timplong diperhatikan, maka yang terdengar adalah bunyi ‘plong … plong … plong”  ristika/bhirawa

Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur : Harian Bhirawa, Mata Rakyat Mitra birokrat, Selasa Legi 25 Oktober 2011 hal. 1 sambung 11.

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Nganjuk, Seni Budaya dan tag , , , , . Tandai permalink.

Satu Balasan ke Wayang Timplong: Tradisi yang Terbenam dalam Gemerlapnya Hiburan Modern, Dalangnya Hanya Lima Orang di Seluruh Dunia

  1. sudar berkata:

    ki talam belum wafat , beliau masih sehat walafiat . beliau tinggal di desa kepanjen kec pace

Tinggalkan komentar