MASJID SUNAN GIRI


masjid-sunan-giriSunan Giri alias Raden Paku Muhammad Ainul Yaqin, beliau mendirikan Masjid di atas sebuah bukit yang bernama Kedaton Sidomukti. Kawasan tersebut merupakan komplek Pondok Pesantren Giri Kedaton yang dipimpinnya sekaligus tempat Sunan bermukim. Awalnya tempat ibadat ini sederhana relatif kecil berbentuk langgar atau surau. Baru pada tahun 1407 M setelah beliau diangkat seba­gai penasihat Raden Patah, sekaligus sebagai ketua dari para wali maka langgar itu kemudian dijadikan masjid Jamik. Meskipun bangunan ini ukurannya relatif kecil namun cukup indah dan artistik, pondasinya terbuat dari batu-batu berukir sampai sekarang tetap dalam keadaan utuh di atas bukit Kedaton.

Tahun 1544 M, Masjid Sunan Giri dipindahkan dari Giri Kedaton ke Bukit Giri tempat makam Sunan Giri sekarang oleh cucu Sunan Giri ketiga, Nyi Ageng Kabunan (seorang janda). Dibuktikan hiasan bertulis huruf Arab di atas pintu utama masjid yang artinya: Masjid ini dibangun oleh seorang janda (perempuan) cucu Sunan Giri ketiga pada tahun 684 H atau 1544 M. Sedangkan bangunan Masjid yang dikhususkan untuk kaum wanita (masjid wedok) didirikan pada tahun 1857 M (1277) dan konon juga bekas masjid dari Sunan Prapen cucunda Sunan Giri juga.

Tahun 1789 M diadakan perluasan oleh H. Ya’kub Rekso Astono. Ada pendapat bahwa ba­ngunan masjid besar yang terlihat saat ini justru hasil karya H. Ya’kub ini, sedang masjid wanita itulah masjid dari Giri Kedaton. Tahun 1950 M terjadi gempa bangunan masjid Sunan Giri mengalami kerusakan, sang juru kunci makam H. Zaenal Abidin bersama masyarakat Giri memperbaikinya dalam waktu tiga bulan masjid telah kembali menjadi baik. Tahun 1957 M, oleh Panitia Kesejahteraan Makam dan Masjid Su­nan Giri memperluasan halaman masjid dengan memindahkan pendopo masjid dari halaman muka kesebelah utara halaman. Ju­ga penggantian atap masjid dari atap sirap menjadi atap genteng serta memperluas bak tampung air hujan guna keperluan air bersih. Tahun 1979 memperluas tempat wudu, dan sebagainya. oleh Panitia Perluasan Masjid Jamik Sunan Giri,

Kompleks Masjid dan makam Sunan Giri berada pada bukit Giri di puncak bukit cadas, jalan masuk melewati bertangga-tangga. Kompleks makam berada di sebelah barat sedangkan kompleks masjid berada di sebelah timurnya. Tapatnya Masjid Sunan Giri terletak sebelah barat Pabrik Semen Gresik dan dekat dengan Pabrik Petrokimia Gresik.

Pintu Gerbang Masjid berupa gapura yang depan menyerupai Candi Bentar dan bagian belakangnya menyerupai Kori Agung atau Paduraksa dua jenis gapura yang seperti bangunan pura di Bali. Dari jalan masuk belok ke kiri (menuju arah barat), terdapat tangga pertama ke arah utara menuju kompleks makam. Di sini terdapat tiga halaman berteras mempunyai ketinggian yang berbeda. Gapura pertama berbentuk Candi Bentar, yang kedua juga bentuk Candi Bentar dengan dua patung ular naga kembar di kiri kanannya, dan gapura yang ketiga/teratas berupa Kori Agung/Paduraksa, baru sampai ke halaman makam.

Lokasi puncak ini dipilih amat sesuai, untuk menunjukkan kesucian (sakral) kompleks ini. Setelah melewati gapura Paduraksa kompleks masjid tadi maka sampailah di halaman dalam masjid Jamik ini. Di sebelah barat halaman ini terdapat bangunan masjid jamik dan masjid wanita, di se­belah utara terdapat pendopo sebagai ruang istirahat tamu. Di sebelah utara pendopo ini terdapat jurang yang cukup dalam sehingga kalau kita memandang ke utara akan terlihat sebagian daerah kota Gresik. Di sebelah timur halaman ini terdapat ruang kuliah, kantor dan ruang penjaga masjid, serta sebuah trap menurun ke arah pemukiman di sebelah timur (bawah) kompleks masjid ini. Dari kompleks ini lewat di sebelah selatan mas­jid wanita dapat dicapai kompleks makam yang letaknya lebih tinggi lagi.

masjid-sunan-giriKegiatan masjid di sini mirip sekali dengan kegiatan Masjid Sunan Ampel juga, yakni lebih terarah sebagai pusat peribadatan terutama yang bertalian dengan salat, amalan-amalan dalam rangka ziarah kubur, dan kegiatan dalam upaya mendekatkan diri dengan Tuhan yakni yang tergabung dalam Thoriqot Sathoriyah yang sudah ada sejak Sunan Giri dahulu. (Ibid., 124).

Bidang pendidikan formal berupa madrasah dan sebagainya belum terdapat di sini. Bahkan meskipun disediakan ruang kuliah tetapi prakteknya ruang ini justru dipakai sebagai Musholla wanita. Tidak diketahui apakah di Giri Kedaton saat ini juga masih terda­pat Pondok Pesantren warisan Sunan Giri itu, seper­ti Pesantren Kembangkuning sebagai warisan dari Sunan Ampel.

Sebagai masjid makam, artinya di sini masjid yang berada di wilayah makam seperti kompleks Sunan Ampel, maka masjid ini lebih cenderung digunakan oleh para orang tua yang datang berziarah, sedemikian sehingga kegiatan remaja masjid belum begitu tampak.

Bangunan utama masjid terdiri dari ruang liwan/ haram pria yang berbentuk empat segi panjang de­ngan atap tajug tumpang tiga dan beratapkan genteng. Di samping depannya terdapat bangunan serambi masjid berbentuk empat segi panjang beratap genteng dengan topengan dari batu bata dan pada bagian depan terdapat hiasan lengkung struktural. (Periksa gambar foto/perspektif). Di bagian samping selatan Haram Pria itu terda­pat liwan wanita yang berdenah bujur sangkar de­ngan bentuk atap tajug tumpang dua, mempunyai skala yang lebih kecil dari liwan pria tersebut. Di atas atap tajug teratas terdapat ‘mustoko’ yakni suatu bentuk menyerupai mahkota dalam pewayangan, dan biasanya dianggap benda yang keramat. Benda ini terbuat dari tembaga.

Bangunan lain di depan dan di samping halaman masjid mempunyai bentuk yang sederhana de­ngan atap Kampung atau Limasan. Menara tidak ada di kompleks ini, sedangkan pengeras suara luar terdapat di bawah atap tumpang yang teratas. Seperti diuraikan di atas bahwa gapuranya terdiri dari bentuk Candi Bentar dan Paduraksa dengan mereduksi ragam hias yang banyak sekali.

Hal yang amat menarik adalah sistem instalasi air bersihnya. Ternyata di kompleks yang sudah tua ini pun telah berlaku prinsip hemat energi. Karena lokasinya yang berada di puncak bukit, maka untuk mendapatkan air tanah jelas amat sulit. Hal itu diatasi dengan mernbuat bak tampung air hujan yang cukup banyak dan cukup besar kapasitasnya. Jadi de­ngan menampung air hujan dari atap, kemudian air ini ditampung dan diendapkan di bak tampung tadi, baru kemudian disalurkan ke tempat wudu dan keperluan yang lain. Agar tidak memerlukan pompa maka tempat – tempat wudu dipilih di daerah yang letaknya lebih rendah, seperti di bagian bawah (basement) ruang serambi, dan sebagainya. Dengan demikian kompleks ini jarang kekurangan air bersih.

Perlu ditambahkan bahwa cungkup makam Su­nan Giri yang berada di sebelah barat kompleks masjid ini berbentuk bangunan tajug tumpang tiga, tetapi di antara atap tumpang ini tidak terdapat jendela penerangan, jadi relatif bertemu/berhubungan. Jadi di sini masih dapat dilihat betapa eratnya Sunan Giri dan keturunannya ini begitu mendekati kesenian tradisional masyarakat Jawa yang teiah mewarisi kesenian Hindu Jawa, sehingga bangunan yang ada amat dekat dengan bentuk bangunan yang telah pernah ada di masyarakat Jawa.

Selain bangunan, maka sunan ini juga menciptakan gending Jawa: Asmorodhono dan Pucung, serta permainan anak: Jelungan, llir-ilir, Jamuran, Cublak-cublak suweng, dan lain-Iain. (Ibid, 132).

Dengan cara itu maka syiar Islam dari daerah Giri ini menyinari penjuru tanah air terutama Nusantara bagian Tengah dan Timur. Terdapat hal yang menarik apabila benar bahwa Masjid Wedok yang beratap tumpang dua ini berasal dari masjid Sunan Giri yang dipindahkan dari Giri Kedaton.

Jumlah tumpang yang dua ini sama seperti yang terdapat pada Masjid Sunan Ampel di Sura­baya. Kalau hal ini benar maka Wali Songo awal ternyata tidak membuat atap masjid amat mirip dengan atap Meru yang selalu tumpang ganjil itu. Mungkin baru setelah wali – wali berikutnya membangun masjid tumpang tiga.

Kompleks masjid ini meliputi ruang-ruang seba­gai berikut: (Periksa juga gambar denah):’

  • Serambi,
  • Haram Pria,
  • Haram Wanita,
  • Bak tampung air hujan dan tempat wudu,
  • Ruang Penjagaan/tunggu,
  • Kantor Takmir masjid,
  • Dapur,
  • Ruang kuliah/Musholla wanita,
  • Pendopo (ruang istirahat).

Penerangan ruang dalam memanfaatkan cahaya matahari. Semua dindingnya ter­dapat pembukaan berupa jendela. Sedangkan di antara atap tumpang ditempatkan jendela penerangan atas. Dengan demikian untuk bangunan yang cukup besar ini suasana penerangannya menjadi agak temaram sehingga menambah kekhidmatan ruang suci ini.

Penghawaan ruang dalam juga sama halnya, artinya memanfaatkan hembusan angin yang selalu bertiup semilir karena bangunan ini berada di puncak bukit. Dari segi akustik juga cukup baik karena cukup banyak pembukaan dinding sehingga terhin- dar dari suara gema.

Ruang peribadatan pada umumnya tingkat kebersihannya cukup memadai. Hanya pada bagian Pendopo dan ruang umum lain yang bersifat profan perlu peningkatan hygienenya, misalnya membuat lantai yang bersih mengkilat, membuat ruangan yang relatif terbuka sehingga mendorong pengun- jung untuk tidak berbuat sesukanya. Di samping itu tiap ruang perlu disediakan perabotan yang pantas, sesuai dengan fungsinya masing-masing, sehingga pengunjung tidak lagi menggelar kain atau tikar se­sukanya. Dengan demikian untuk mendorong ke arah hygiene yang baik maka perlu diberi sarana yang memadai yang mendorong agar pengunjung tidak berbuat sesuka hatinya sehingga mengganggu kebersihan, ketertiban dan pandangan umum.

Sistem sanitasi di sini cukup baik. Sistem instalasi air bersih alami yang hemat energi itu patut mendapat pujian, sedangkan rioieringnya juga cukup memadai dan tidak mengalami kesukaran karena lokasinya yang berada di puncak bukit ini maka pembuangan air kotor dapat disalurkan ke tempat yang rendah di sebelah Utara tapak.

Arah Kiblat di dalam masjid ini cukup jelas sebab arah shaf sesuai dengan arah melintangnya dinding masjid. Namun amat disayangkan antara liwan pria dan liwan wanita terpisah sama sekali dengan dinding yang masif. Dengan demikian maka jelas bahwa kaum wanita terpaksa membuat Imam tersendiri di dalam melakukan salat jamaah. Alternatif lain maka dinding pemisah tersebut transparan sehingga kaum wanita bisa memandang ke arah mihrab dan liwan pria. Di dalam ruang liwan, terutama pada liwan pria terdapat suasana yang agung dan tenang tertib. Skala vertikal dan horizon­tal yang cukup besar membuat suasana khidmat ka­rena ukuran menjadi relatif kecil terhadap ukuran ruang ini.

Ragam hias di ruang dalam ini cukup menonjol. Pintu masuk ruang haram pria misalnya, berbentuk mirip dengan Paduraksa dengan hiasan huruf Arab di sekeliling atas pintu. Tiang – tiang kayu yang cukup besar dan tinggi dihubungkan dengan balok sunduk antara satu dengan lainnya. Pada tiap pertemuan antara tiang dengan balok sunduk itu selalu diselesaikan dengan ragam hias yang cantik dengan gaya Mojopahit. Pengisi pembukaan jendela atas yang tidak digunakan untuk penerangan dan ventilasi dibuat hiasan dengan motif tulisan Arab.

Mihrab dan mimbar yang berbentuk lengkung dan di puncaknya masing-masing terdapat bentuk mahkota atau kuncup bunga. Sedangkan di dalam ruang mimbar dari kayu jati berukiran yang mirip bentuk singgasana. Ukirannya yang rumit, warna hijau keemasan dan bentuk yang anggun memberikan kenampakan yang mewah namun cukup sakral.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Dian K.: dari Perkembangan arsitektur Masjid di Jawa Timur; Ir. Zein M. Wiryoprawiro; Surabaya: Bina Ilmu,  1987; CB-D13/1986-6[1]
koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Gresik, Kabupaten, Lokasi, Th. 2016, Wisata, Wisata Relegi dan tag , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar