Prastowo Roro Kuning, Kabupaten Nganjuk


Prastowo Roro Kuning merupakan suatu cerita peristiwa yang mengisahkan tentang asal mula nama air merambat yang ada di desa Bajulan yang ditransfer dalam sebuah sendratari. Pada tanggal 6 April 2008 lalu, sendratari ini dipentaskan langsung dan untuk pertama kalinya pada peresmian obyek wisata air merambat Roro Kuning Dikisahkan dalam cerita ini, diawali dari kerajaan Daha (Kediri) saat diperintah oleh Sri Aji Jayabaya, yang mempunyai putri Dewi Kilisuci. Kerajaan Daha pada waktu itu sedang berperang dengan negeri seberang (?), yang dalam peperangan tersebut dimenangkan oleh Kerajaan Seberang.

Koreografer mentransfer adegan tersebut secara simbolis dengan diawali dua penari putri ya ng berkostum keprajuritan dengan membawa gunungan, yang menggambarkan kedua kerajaan tersebut sedang berperang. Jenis gerakan yang digunakan dalam adegan ini adalah gerakan keprajuritan yang lincah, dengan dinamika yang cepat dan gerakan patah-patah, mereka menarikan adegan ini beradu kekuatan fisik.

Diceritakan dalam sejarah, dalam peperangan tersebut ternyata dimenangkan oleh lawan kerajaan Daha kemudian raja dari kerajaan seberang ingin memperistri Dewi Kilisuci. Namun Dewi. Kilisuci menolaknya, dan terjadilah adegan kedua yang menceritakan Dewi Kilisuci beserta Dewi Sekartaji dan Panji Asmorobangun tengah melarikan diri bersembunyi di hutan lereng gunung Wilis. Sesampainya di hutan, Dewi Sekartaji jatuh sakit, karena mereka tidak membawa perbekalan yang cukup, kemudian Dewi Kilisuci meningggalkan mereka untuk mencari dedaunan untuk ramuan obat, tetapi sialnya ketika akan kembali ia terperosok dan tidak dapat menemukan kembali dimana adiknya terbaring.

Adegan kedua, koreografer menyingkat cerita dengan gerak tari yang hanya ditarikan oleh Dewi Kilisuci yang mencari dedaunan dengan gerak ulap-ulap yang disambung dengan gerakan ngleyang kemudian dilanjutkan sekarsuwun, engkyek, lumaksana, semedi, dan diakhiri dengan trisik. Perjalanan Dewi Kilisuci ditarikan dengan gerakan lembut dan lemah gemulai dan mengalir dengan suasana sedih. Memasuki adegan ketiga, menceritakan Panji Asmoro Bangun yang sedang mencari Dewi Kilisuci, karena lama tidak kunjung datang.

Gerakan tari yang digunakan dalam tokoh ini merupakan pencerminan gerak mencari seseorang yaitu Dewi Kilisuci. Penari dalam suasana hati yang bingung, karena tidak kunjung menemukan Dewi Kilisuci. Gerakan yang halus namun terkesan
banyak tergambar dalam perwatakan Panji Asmorobangun Koreografer berusaha menampilkan tokoh ini, dengan tampilan khas gerakan  trisik, yang dipadu dengan lembehan lumaksono, yang diselingi ulap-ulap tawing, menthang dan sindhet. Gerakan trecet dan trisik mengakhiri adegan ketiga  ini.

Kisah selanjutnya menceritakan Dewi Kilisuci bersama penduduk setempat yang sedang berada di grojogan (air terjun). Kedatangan Dewi Kilisuci yaitu untuk bersemedi, namun dalam semedinya, karena kelelahan maka tertidurlah Dewi Kilisuci.
Dalam mimpinya ia merasa diganggu makhluk halus (jin). Cobaan silih berganti. Mengingat banyaknya cobaan tersebut, grojogan itu diberi nama Pacoban.

Koreografer berusaha memahami konsep cerita dengan  menampilkan gerakan yang lembut untuk Dewi Kilisuci dengan gerakan manglung, yang sesuai dengan gerakan semedi, disertai ukel karno, yang kemudian dengan gerakan semedi, penari rampak berusaha mengganggu, dengan gerakan mengelilingi Dewi Kilisuci dengan gerakan canon, yaitu saling bergantian.

Koreografer berusaha menampilkan gerakan dengan suasana gaduh, sehingga dengan irama cepat ini, konsep gerak penari Dewi Kilisuci yang mengalun dalam gerakan semedinya akan terganggu. Musik dengan dinamika yang cepat yang mengiringi 6 penari rampak, menuntut koreografer menampilkan gerak kontras dengan tarian Dewi Kilisuci, maksud yang ingin dungkapkan dari konsep kontras ini, adalah ketidak nyamanan Dewi Kilisuci dalam bersemedi. Penampilan Dewi Kilisuci yang lunglai dan gemulai dalam tarian ini sangat tepat disuguhkan berbarengan dengan tampilan penari rampak, membuat paduan semakin menarik dalam sendratari ini.

Karena merasa terganggu, maka Dewi Kilisuci berjalan menuju grojogan selanjutnya, untuk bersemedi kembali. Namun godaan dan gangguan tidak jauh berbeda dengan cobaan di grojogan yang berada di bawahnya. Maka dari itu, grojokan di atasnya diberi nama Pacoban Nunut.

Walaupun terus mendapat godaan, Dewi Kilisuci meneruskan semedinya sampai akhir hayatnya. Sendratari ini diakhiri dengan disebutnya grojokan, yang menurut penduduk setempat menyebutkan grojogan atau air merambat Roro Kuning, yang diambil dari Dewi Kilisuci yang dikenal masyarakat setempat, karena kulitnya yang kuning, dan sampai akhir hayatnya berada di grojogan tersebut, maka disebutlah Roro Kuning.

Koreografer menutup adegan ini dengan semedinya Roro Kuning bersama penduduk setempat dan menunjuk ke arah berdirinya patung Roro Kuning. Dengan diiringi Gendhing lancaran, Dewi Roro Kuning dan 6 penari rampak bersama-sama keluar dalam arena panggung yang berarti selesai sudah sendratari Prastowo Roro Kuning.

Koreografer Nurgati Guna Juwita, S.Pd (Guru SMP Negeri 3 Nganjuk)

Para Pemain:
1.Roro Kuning – Ivon Yossy (siswi SMPN 3 Nganjuk)
2. Penari rampak – Ratna Setyaningtyas,
3. Penari Gunungan – Merry Laguna dan Ida Anggit Ayu, Erna Tri Retno, Novita Agesti, Wayan Dhea, Agnis Yuliana (siswi SMPN 3 Nganjuk)
4. Panji Asmorobangun – Singgih

Durasi waktu – 20 menit

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Nurgati Guna Juwita, S.Pd. (Guru SMP Negeri 3 Nganjuk). DERAP Anjuk Ladang; Edisi 186 Th. 2008

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Kesenian, Nganjuk, Th. 2008 dan tag , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar