Joko Dolog, Aksobhya Buddha di Kota Vira


Di kota Pahlawan (Vira), Surabaya, berlokasi di Taman Apsari (di tengah kota Surabaya) dan dekat dengan SMP Kr. Petra 2, terdapat warisan budaya nenek moyang bangsa Indonesia yang dikenal sebagai area Buddha Mahakshobya, yang seeara umum disebut sebagai patung Joko Dolog. Pada lapik arca terdapat prasasti berupa sajak berhuruf Jawa kuno dan berbahasa Sansekerta. Prasasti itu bernama Prasasti Wurare dan memuat beberapa data sejarah di masa lampau.

Arca Buddha Mahaksobhya ini ditemukan di Kandang Gajak, yang kemudian pada 1817 dipindahkan ke Surabaya oleh Residen de Salis. Daerah Kandang Gajak dulu merupakan wilayah Kedoeng Wulan, yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit. Pada masa penjajahan Belanda daerah tersebut termasuk dalam Karesidenan Surabaya, sedangkan sekarang termasuk wilayah desa Bejijong, Trowulan, Mojokerto.

Arca Buddha Mahakshobya ini perawakannya mirip dengan arca seorang bhiksu. Rupang Joko Dolog tidak memiliki urna ataupun usnisa seperti seorang Samyaksambuddha. Apabila dibandingkan dengan ukiran bhiksu di Candi Plaosan yang menampilkan dhyanamudra (mudra meditasi) maka Joko Dolog ditampilkan dalam wujud bhumisparsa mudra. Lantas kenapa menggunakan bhumisparsa mudra? Karena ini menyimbolkan peneapaian Penerangan Sempurna seperti halnya Buddha Sakyamun dengan posisi tangan menyentuh bumi yang bersaksi atas kebenaran ueapan Buddha. Jubah Joko Dolog juga lebih lebar dan panjang daripada rupang bhiksu di Candi Plaosan, Jawa Tengah.

Angka prasasti menunjukkan 1211 Saka dan ditulis oleh seorang abdi raja Kertajaya bernama Nadajna. Kronogram di tengah inskripsi memberikan tahun 1289. Prasasti yang berbentuk sajak sebanyak 19 bait ini isi pokoknya dapat dirinci menjadi 5 hal, yaitu:

  • Pada suatu saat ada seorang bhiksu Buddhis yang benama Arya Bharada bertugas membagi Jawa menjadi 2 bagian, yang kemudian masing-masing diberi nama Jenggala (Singosari) dan Panjalu (Kediri). Pembagian kekuasaan ini dilakukan karena adanya perebutan kekuasaan di antara putra mahkota. Negarakertagama menceritakan bagaimana Raja Airlangga (1016-1049) bertanya pada seorang “Buddhis dari aliran Mahayana, guru Tantra dan pemimpin para yogi, yang tinggal di tengah-tengah kuburan di Lemah Citra”, untuk membagi kekuasaan pada dua putranya.
  • Pada masa pemerintahan raja Jayasri-Wisnuwarddhana (1248-1268) dan permaisurinya, Srijayawarddhani, kedua daerah itu disatukan kembali.
  • Pentahbisan (jinabhiseka) raja Kertanegara (yang memeri ntahkan membuat prasasti) sebagai Jina dengan gelar Sri Jnanasivabajra, Jnanabajreswara atau Jnaneswarabajra. Perwujudan sebagai Jina Mahaksobhya didirikan di Wurare pada tahun 1211 Saka.
  • Raja dalam waktu singkat berhasil menyatukan kembali daerah yang telah pecah, sehingga kehidupan menjadi sejahtera.
  • Penyebutan si pembuat prasasti yang bernama Nadajna, sebagai abdi raja, pelaksana. (Hendrick)

SINAR DHARMA, Vol: 7, No, 2, 2553 BE, Mei 2009-Agustus 2009, hlm. 47

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Sejarah, Surabaya, Wisata Relegi, Wisata Sejarah dan tag , , , , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar