Ceritera Menakjinggo-Damarwulan Ternyata Bertentangan dengan Fakta Sejarah Blambangan


Napak tilas: 
Meluruskan Jalannya Sejarah Blambangan

Oleh : Sri Adi Oetomo
(Budayawan & Pemerhati Sejarah Blambangan)

1. Berkat kepopuleran ceritera Menakjinggo Damarwulan di kalangan masyarakat di tanah air, terutama  masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga ternyata mempopulerkan daerah Blambangan. Dalam hal ini disebabkan bahwa dalam lukisan ceriteranya Prabu Menakjinggo dianggap sebagai raja Blambangan Kendati demikian kepopuleran daerah Blambangan ternyata tidak menguntungkan bagi daerah tersebut, bahkan masyarakat lebih cenderung untuk memberikan penilaian negara terhadap daerah yang terlelak di kawasan ujung paling Timur pulau Jawa ini. Hal itu dapat dimengerti, karena dalam lukisan cerita Menakjinggo Damarwulan hampir dari segala sumber selalu memburuk-burukkan pihak Blambangan. Prabu Menakjinggo yang dianggap sebagai raja Blambangan bersama keluarga Istana dan para nara praja dalam ceritera fantastis itu dilukiskan sebagai tokoh-tokoh negarawan yang berwatak dan berperilaku jahat, seperti : Deksura, kejam, serakah, angkara murka, mabuk kekuasaan, curang, pengkhianat dan lain-lain, sehingga menimbulkan respon dan kesan masyarakat, terutama dari luar daerah ini kurang simpatik terhadap rakyat dan daerah Blambangan, bahkan juga menimbulkan anggapan dan tafsiran bahwa sebutan Blambangan itu hanya merupakan symbol tempat kejahatan.

Menurut ceritera, Prabu Menakjinggo yang dianggap sebagai raja Blambangan yang telah berani meminang Sri Ratu Kencanawungu atau (Prabu Kenya) dianggap kekuasaan serta telah melakukan kejahatan yang berlebih-lebihan, karena maharani Majapahit itu seharusnya dihormati dan dimuliakannya sebagai Ratunya. Sedang kedua permaisurinya, yakni Dewi Waita dan Dewi Puyengan juga dilukiskan sebagai wanita pengkhianat yang tidak memiliki kesetiaan terhadap suami dan negara. Itulah sebabnya kerajaan yang diperintah oleh Prabu Menakjinggo dianggap sebagai lambang kejahatan yang disebut “Kerajaan Blambangan” Lukisan ceritera semacam itu memungkinkan sekali berdampak negatif, karena dapat mengurangi dan bahkan akan dapat menghapus watak jiwa kesatria serta sifat-sifat terpuji, seperti: rela berkorban, semangat patriotisme yang tinggi,  jiwa heroisme, pantang menyerah kepada musuh dan lain-lain yang telah dimiliki oleh leluhur Blambangan antara lain: Aria Nambi, Prabu Wirabhumi. Sinuhun Tawang Alun, Wong Agung Wilis, Pangeran Jagapati,  Mas Ayu Wiwit dan masih ada lagi lainnya yang telah berjuang dengan segala pengorbanan demi membela  rakyat dan mempertahankan bumi Blambangan. Terutama dalam peperangan melawan Kompeni Belanda di masa silam.

Sementara itu ceritera Menakjinggo – Damarwulan yang bersumber dari luar daerah Blambangan, maksudnya baik bersumber dari Serat Damarwulan dan Serat Kandha maupun dari Kesenian Langendriyan, lukisan ceriteranya selalu memburuk-burukkan pihak Blambangan, terutama tindakan Prabu Menakjinggo dan perilaku kedua permaisurinya, yakni Dewi Waita dan Dewi Puyengan beserta para narapraja dari kerajaan ini. Dalam hal ini jelas bertentangan dengan fakta sejarah, khususnya berbagai peristiwa sejarah yang pernah mewarnai jalannya sejarah Blambangan. Secara Jujur harus diakui bahwa dibalik ceritera Menak Jinggo-Damarwulan, di bumi Blambangan sebenarnya banyak menyimpan ceritera yang mempunyai nilai cukup tinggi dan kisah kepahlawanan leluhur yang cukup mengagumkan, terutama dalam peperangan melawan Kompeni Belanda di masa silam. Leluhur Blambangan itu telah berjuang dengan segala pengorbanan, bahkan sampai titik darah penghabisan demi membela rakyat dan membentengi bumi Blambangan. Sebagaimana diungkapkan dalam buku Babad Tawang Alun bahwa Sinuhun Tawang Alun dari kerajaan Macan Putih yang memerintah dari lahun 1667-1691, ternyata terkenal tidak sudi bekerjasama dan berkompromi dengan Kompeni Belanda.

Pangeran Agung Wilis cicit Kanjeng Sinuhun Tawang Alun sebagai Pangeran Blambangan yang mengemudikan pemerintahan dari tahun 1767-1769 juga ternyata telah mempelopori rakyat dan berjuang secara terang-terangan dengan mengangkat senjata dan maju kemedan perang untuk mengusir Kompeni Belanda yang manjarah rayah bumi Blambangan. Selanjutnya Pangeran Jagapati Adipati Bayu dari tahun 1771-1772, meneruskan perjuangan Wong Agung Willis dan telah berjuang sampai tilik darah penghabisan dalam megusir para serdadu VOC dari persada Blamhangan. Lebih dari itu sejak abad XVI, di Bumi Blambangan lelah bermunculan sejumlah “Pendekar Wanita” yang berperan penting dalam mewarnai perjalanan sejarah Blambangan. Sekilar tahun 1659, Mas Ayu Tunjungsari diangkat sebagai Patih Kedawung oleh kakaknya Prabu Wilamenggala yang memerintah dari tahun 1659-1666. Setelah berkobarnya “Perang Saudara” yang dimenangkan oleh Pangeran Tawang Alun dalam Perang Bayu I, kedua adik perempuannya yang lain, yakni Mas Ayu Meloka dan Mas Ayu Gringsing Retna, masing-masing dinobatkan sebagai Raja dan Patih Kedawung yang memerintah dari tahun 1666-1667.

Di samping hal tersebul, dalam Perang Bayu II di bawah pimpinan Pangeran Jagapali untuk melawan Kompeni Belanda, Sang Pangeran ternyata mengangkat Syau Wiwit (Putri Wong Agung Wilis) sebagai Senapati Wanita Bayu yang siasat dan gerakannya dalam memimpin pasukan selalu diperhitungkan oleh banyak Komandan Pasukan VOC. Dalam hal ini cukup jelas bahwa anggapan tentang banyak wanita Blambangan di masa lampau sebagai pengkhianat dan tidak memiliki kesetiaan terhadap suami dan Negara tidak sesuai atau amat bertentangan dengan fakta sejarahnya. Sebagaimana tersebut di atas bahwa karena perilaku jahat yang berlebih-lebihan yang dilakukan oleh Prabu Menakjinggo beserta kedua permaisuri dan para naraprajanya, sehingga menimbulkan tafsiran bahwa kerajaan yang diperintah oleh Prabu Menakjinggo hanya sebagai perlambang tempat kejahatan yang disebut kerajaan Blambangan, ternyata mengandung makna dan mencakup berbagai hal yang jahat jahat saja. Padahal tafsiran semacam itu juga sangat bertentangan dengan keadaan Blambangan yang sebenarnya, bahkan seharusnya “Blambangan” itu sebagai perlambang kebaikan.

Sebenarnya harus diakui secara jujur bahwa hal tersebut, mengingat sejak dahulu kala sebagaimana telah disinggung di atas bahwa bumi Blambangan ternyata banyak menyimpan ceritera sejauh yang mempunyai nilai cukup tinggi, bahkan juga banyak kisah kepahlawanan leluhur yang cukup mengagumkan, terutama dalam peperangan melawan Kompeni Belanda di masa silam, sehingga memunculkan banyak pendekar bangsa dari daerah ini. Demikian pula bumi Blambangan juga sebagai penghasil pangan yang potensial sekali, sehingga Mpu Prapanca dalam buku karyanya “Kekawin Negarakretagama” pupuh 28 bait I, menyebut daerah ini dengan “Balumbung” yang lumbung tempat menyimpan padi. Sampai saat ini pun Daerah Tingkal II Kabupaten Banyuwangi masih tetap sebagai salah satu lumbung (gudang) pangan nasional di tanah air. Daerah ini juga ternyata sebagai penghasil ikan laut terbesar nomor dua di seluruh tanah air. Demiki an pula bumi Blambangan merupakan gudang seni dan budaya. Kesenian tradisional, seperti: Angklung Caruk, Kuntulan, Damarulan, Jinggoan, ternyata paling digemari, terutama oleh masyarakat setempat. Kesenian Seblang dan Gandrung Banyuwangi bukan saja terkenal di tanah air, namun telah (dipentaskan) di mancanegara, dan masih banyak lagi kelebihan serta kebaikan daerah Blambangan jika dibanding dengan beberapa daerah di tanah air. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa sebutan Blambangan lebih tepat sebagai simbol yang melambangkan kebaikan, karena sesuai dengan keadaan dan seluk-beluk Blambangan yang sebenarnya.

2. Sampai saat ini masyarakat di tanah air, khususnya masyarakat Banyuwangi ternyata banyak yang masih awam dan berpola pikir tradisional yang lebih cenderung menonjolkan nilai-nilai mithologi dari pada nilai sejarah ini.

Itulah sebabnya berkat kepopuleran Legenda Menakjinggo atau ceritera Menakjinggo Damarwulan, rakyat Blambangan ternyata tidak sedikit yang beranggapan bahwa sebagian lukisan ceriteranya, terutama keberadaan dan peran Menakjinggo diyakini sebagai peristiwa sejarah yang benar-benar pernah terjadi di bumi Blambangan di masa silam. Lebih dari itu sebagaimana telah Menakjinggo ditokohkan sebagai raja Blambangan, bahkan dianggapnya sebagai leluhur dan pahlawan Blambangan. Anggapan dan kepercayaan semacam itu ternyata telah berakar kuat di hati masyarakat, khususnya di hati masyarakat di kawasan ujung paling Timur pulau Jawa ini.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut secara tepat atau paling tidak sudah mendekati kebenaran faktanya, perlu dibuktikan dengan mempelajari secara seksama berbagai buku sejarah, terutama sejarah Blambangan dan khususnya berbagai buku Babad Blambangan. Padahal dalam berbagai buku sejarah, khususnya sejarah Blambangan ternyata tidak pernah diketemukan nama atau sebutan Menakjinggo yang dimaksud. Memang, sebagaimana yang pernah diketengahkan bahwa sebutan Menakjinggo, terutama asal-usulnya dapat ditelusuri dan diketemukan dalam dua buah “Dongeng Rakyat” (Folklore), akan tetapi diantara satu sumber itu dengan yang sumber terdapat perbedaan yang cukup mendasar mengenai riwayat hidup dan peran Menakjinggo dalam uraian ceriteranya. Dongeng rakyat yang disebut “Bambang Menak”, mengisahkan asal usul Menakjinggo, yakni merupakan (keturunan) dari Adipati Macuet atau (Adipati Jinggo) dari Gua Siluman hasil perkawinannya dengan Putri Tunjungsari dari pedepokan Wendit. Putra Sang Adipati ini ketika masih bocah diberi nama “Bambang Menak” yang ternyata diasuh oleh Ki Hajar Pamengger di pedepokan Gunung Pipit. Setelah menduduki jabatan Adipati Gua Siluman, Bambang Menak bergelar Adipati Menakjinggo. Gelarnya itu ternyata merupakan perpaduan dari dua nama yang diambil dari namanya sendiri, yakni Bambang Menak dan nama ayah kandungnya yang pada waktu itu menjadi musuh dan dapat dibunuhnya, yakni Adipati Jinggo atau Adipati Macuet dari Gua Siluman.

Dari satu sumber lain, yakni ceritera Kebomarcuet dengan Dongeng Jaka Umbaran mengisahkan antara lain bahwa Menak Subali Patih Majapahit yang mengadakan pemberontakan terhadap Prabu Bhrawijaya ternyata dapat ditundukkan dan dibunuh oleh Kebomarcuet utusan Majapahit yang berasal dari Alas Purwa. Ki Patih Menak Subali yang tewas di medan laga dengan meninggalkan seorang isteri yang bernama Jinggowati sedang mengandung tua. Setelah melahirkan, putra mendiang Ki Patih itu diberi nama Jaka Umbaran yang selanjutnya diasuh oleh Ki Ajar Pamengger. Setelah dewasa, Jaka Umbaran menuntut balas atas kematian mendiang ayahnya dan berhasil membunuh Kebomarcuet, yang selanjutnya juga meneruskan perlawanan terhadap Majapahit dengan maksud untuk menuntut balas atas kematian ayahnya pula kepada Prabu Bhrawijaya. Sebelum mengadakan perlawanan terhadap Majapahit, untuk menyeimbangkan kedudukannya, Jaka Umbaran mengangkat dirinya sebagai raja Blambangan dengan gelar Prabu Menakjinggo yang juga dikenal dengan sebutan Prabu Urubisma. Sedang gelarnya Prabu Menakjinggo itu juga ternyata merupakan perpaduan dari dua nama yang diambil dari nama mendiang ayahnya, yaitu Patih Menak Subali dan nama ibunya Jinggowati

Sebagaimana yang pernah diketengahkan bahwa asal-usul Menakjinggo yang bersumber dari buku “Babad Mas Sepuh” suntingan Winarsih Partaningrat Arifin dari Babad Blambangan, Edisi : Ecole Prancaise de ‘Extreme-Orient, YBB. 024.95 Jogyakarta, Desember 1995, dalam “Ringkasan Babad Mas Sepuh”, halaman 127 ternyata mengungkapkan antara lain bahwa Pangeran Danureja yang telah menjadi raja Blambangan, setelah lama bertapa mempunyai anak yang diberi nama “Pangeran Menakjinggo” yang juga disebut “Pangeran Mas Sepuh.” Pada halaman tersebut ternyata terdapat “Footnote” yang pada No. I menerangkan antara lain “Jadi nama resmi anak Pangeran Danureja memang Pangeran Menakjinggo” (dalam Babad Wilis disebut Pangeran Jinggo). Sedang sebutan Pangeran Mas Sepuh sebenarnya hanya dipakai orang-orang Bali saja. Di samping itu ternyata masih terdapat buku Babad Natadiningrat (KBG. 607) juga suntingan Winarsih Partaningrat Arifin yang serupa dengan tersebut di atas, pada halaman 247 dan seterusnya dalam mengungkap tentang asal-usul Menakjinggo ternyata mirip sekali dengan uraian mengenai asal-usul Menakjinggo yang bersumber dari Serat Kandha yang Serat Kandhaning Ringgit Purwa. Serat Kandha yang sebutan lengkapnya “Serat Kandhaning Ringgit Purwa” Asmaradana pupuh CCCLXXXV, 38 pada gatra (bait) 25 sampai dengan 33 (sembilan bait) yang mengungkapkan tentang asal usul Menakjinggo pada intinya jika disimpulkan antara lain bahwa Adipati Pamengger dari Blambangan merasa masygul hatinya setelah diundang dan menghadiri upacara wisuda Dewi Kencanawungu menjadi Maharani Majapahit dengan gelar Prabu Kenya. Sang Adipati merasa sangat kecewa mengapa selama itu tidak dianugerahi anak seorang pun. Padahal Dewi Kencanawungu anak perempuan saja ternyata dapat diwisuda oleh ayahnya Prabu Bhrawijaya sebagai raja Majapahit. Dalam merupakan masalah tersebut, Adipati Pamengger tidak didampingi seorang pun baik dari keluarga Kadipaten Blambangan maupun narapraja yang lain, kecuali seekor anjing berwarna merah yang sangat setia mendampingi Ratu Gustinya. Anjing merah milik Adipati Blambangan itu di samping sangat setia ternyata memiliki pengertian layaknya manusia, terutama terhadap Sang Adipati. Dalam hal ini menyebabkan Adipati Pamengger mohon kepada Yang Maha Agung, seandainya anjingnya yang merah itu dapat berubah menjadi manusia pasti akan diambil sebagai putra angkat dan kelak pasti akan diwisuda sebagai Adipati Blambangan untuk menggantikan kedudukannya.

Dalam kisah tersebut, permohonan Adipati pamengger ternyata terkabul dan anjingnya yang sangat setia itu berubah menjadi manusia yang langsung bersembah kepada Sang Adipati. Sayang sekali, manusia yang berasal dari anjing itu tetap bertampang buruk dan wajahnya tetap bermoncong seperti anjing. Sebenarnya Adipati Pamengger sangat menyesal permohonannya itu, akan tetapi setelah berpikir secara mendalam bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah kehendak dan kekuasaan dari Yang Maha Pencipta, Sang Adipati segera memeluk serta memandikan bocah itu dengan memberikan tuah dari pusakanya “Besi Kuning” kemudian memberi nama kepada putra angkatnya itu dengan sebutan “Pangeran Menakjinggo,” yang juga dijanjikan kelak akan diwisuda sebagai Adipati Blambangan untuk menggantikan kedudukan Sang Adipati. Sedang anak angkatnya Pangeran Menakjinggo akan mentaati segala perintah dan petunjuk ayah angkatnya. Setelah diwisuda menjadi Adipati Blambangan, Sang Adipati ternyata mempersunting kedua wanita rupawan dari Baliga dan Bangkalan, yakni Dewi Waita dan Dewi Puyengan sebagai permaisurinya. Kendati demikian Adipati Menakjinggo masih bermaksud untuk meminang Sri Ratu Kencanawungu Maharani Majapahit untuk dijadikan pendampingnya. Untuk menyeimbangkan kedudukannya, Sang Adipati mengangkat dirinya sebagai raja Blambangan dengan gelar Prabu Menakjinggo yang juga terkenal dengan gelar Prabu Urubismo. Dalam hal ini ayah angkatnya tidak merestuinya, bahkan mencegah maksud Prabu Menakjinggo untuk mempersunting Maharani Majapahit, namun raja Blambangan itu tidak mempedulikan nasihat ayah angkatnya. Itulah sebabnya Ki Pamengger ternyata meninggalkan istana Blambangan untuk bertapa di suatu pegunungan yang akhirnya menjadi pertapa sakti dengan sebutan Ki Ajar Pamengger.

Semua uraian di atas, terutama tentang asal usul Menakjinggo jika disimak secara seksama, telah menunjukkan dengan jelas bahwa keberadaan Menakjinggo saja sudah tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Mana mungkin seorang manusia dari beberapa pasangan suami-isteri, bahkan juga dikisahkan bahwa Menakjinggo itu dicipta dan berasal dari seekor anjing merah. Sedang Pangeran Menakjinggo yang asal-usulnya bersumber dari Babad Blambangan (Babad Mas Sepuh). Yakni sebagai putra Pangeran Danurejo raja Blambangan, riwayat hidup dan perannya dalam perjalanan sejarah Blambangan masih perlu dipertanyakan. Benarkah Pangeran Menakjinggo itu idektik dengan Pangeran Mas sepuh yang dalam Babad Wilis disebut Pangeran Jinggo dan dalam Babad Blambangan dikenal dengan sebutan Pangeran Prabu atau Pangeran Pati II, sedangkan dalam Babad Tawang Alun banyak disebut-sebut sebagai Pangeran Danuningran atau Pangeran Mangkuningrat? Dalam hal ini mengingat bahwa Pangeran Jinggo (Pangeran Mas Sepuh = Pangeran Pati II = Pangeran Danuningrat = Pangeran Mangkuningrat) merupakan raja Blambangan terakhir (putra Prabu Danurejo) yang memerintah pada tahun 1736 -1764 itu pernah menodai perjalanan sejarah Blambangan, karena Sang prabu satu-satunya raja Blambangan yang pernah bekerjasama dengan Kompeni Belanda, sehingga Prabu Danuningrat terpaksa ditangkap dan dijatuhi hukuman mati dan pada tahun 1766 dibunuh di pantai Seseh/Bali.

Para Menakjinggo tersebut di atas kecuali yang dibunuh di pantai Seseh tersebul, memiliki tindakan dan peran yang serupa, walaupun asal usul masing-masing Menakjinggo itu terdapat perbedaan cukup mendasar. Semua Menakjinggo itu ternyata terlibat peperangan dengan Majapahit yang berakhir bahwa masing-masing Menakjinggo dapat dibunuh dan dipenggal kepalanya oleh Raden Damarwulan utusan Majapahit. Berkat keberhasilannya dalam menumpas pemberontakan di Blambangan Raden Damarwulan dijodohkan dengan Sri Ratu Kencanawunggu dan menggantikan ke dudukannya sebagai raja Majapahit dengan gelar Prabu Bhrawijaya VI (Prabu Mertawijaya). Kendati demikian yang sangat menarik perhatian dalam peperangan antara Blambangan dan Majapahit itu, masing-masing Menakjinggo yang melawan Majapahit itu memiliki motif (sebab-musababnya) berbeda-beda pula. Dengan demikian cukup jelas bahwa keberadaan dan peran Menakjinggo dalam perjalanan sejarah nasional tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, tegasnya Menakjinggo hanya sebagai tokoh fiktif dalam perjalanan sejarah Blambangan.

Materi di atas dinukil dari Majalah Gema Blambangan, edisi khusus (076-077), 1997. Koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur 

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Sejarah dan tag , , , . Tandai permalink.

6 Balasan ke Ceritera Menakjinggo-Damarwulan Ternyata Bertentangan dengan Fakta Sejarah Blambangan

  1. Pan Balank Tamac berkata:

    (putra PrabuDanurejo) yang memerintah pada tahun 1736 -1764 itu pernah menodai perjalanan sejarah Blambangan, karena Sang prabu satu-satunya raja Blambangan yang pernah bekerjasama dengan Kompeni Belanda, sehingga Prabu Danuningrat terpaksa ditangkap dan dijatuhi hukuman mati dan pada tahun 1766 dibunuh di pantai Seseh/Bali.]

    sya trtarik dgn tulisan alenia diatas ….kbtulan konon leluhur kami yg skrng hidup di BALI ini adlh orng2 yg mengiringi beliau yg disebut [di bunuh di pantai seseh] diatas…Nah bsakah penulis menjelaskan sejarah asal2 usul beliau dan para pengiringnya secara lengkap ??????

    • Redaksi hanya sebagai menghimpun dan mengalih-mediakan artikel yang berhubungan dengan jawatimuran, data berasal dari koleksi perpustakaan yang kami terima dari berbagai penerbit di Jawa Timur dan sebagai koleksi pusaka jawatimuran. Untuk sejarah yang lebih lengkapnya Saudara dapat menghubungi langsung ke penulis artikel atau ke penerbit asli. mohon maaf

    • dewa berkata:

      untuk pan balang tamak, bisa cari informasinya ke PADB(pasemetonan agung dalem blambangan) atau hubungi kami di 085737388046. kami keturunan raja,patih dan trah blambangan sudah bersatu seluruh indonesia. dan berhasil ngadakan upacara untuk para leluhur yang di sebut ngaben, termasuk raden mas sepuh di seseh serta keluarganya. kalo memang anda adalah keturunan pengiring dari raden mas sepuh yang bersemayam di seseh, berati anda adalah keturunan dari 10 patih yang mengiringi beliau.

    • Agus Widiyanto berkata:

      Silahkan menghubungi Bapak Samsubur Kalibaru Manis belakang jembatan timbang. Dalam petikan tulisannya, Bahwa Danurejo mempunyai keturunan yg bernama Danuningrat/Mas Sepuh/Pangeran Jingga dan bertahta di Blambangan (keraton di umphak sangha) di bantu adiknya wong agung wilis. Dalam perjalanannya, wong agung wilis di singkirkan yang akirnya bekerjasama dengan mengwi untuk menangkap danuningrat

  2. joetrizilo berkata:
    Saya hanya memberi penilaian saja berdasarkan Fakta Rentetan Cerita dari kisah minakjinggo, mohon maaf kalo penafsiran saya ini salah dan kurang berkenan :
    1. minakjinggo dikisahkan seorang Raksasa (Buto dalam bahasa Jawa), Pembangkang, berwatak dan berperilaku jahat, seperti : Deksura, kejam, serakah, angkara murka, mabuk kekuasaan, curang, pengkhianat.
    Ternyata Faktanya menurut saya pribadi, sosok minakjinggo ternyata seorang pemberani, dan pejuang (baca sendiri kisah Damarwulan).
    2. Damarwulan yang dianggap kesatria sejati ternyata hanya “PEMBOHONG BESAR” lho kok bisa?? lha iya lah… Mana mungkin seorang kesatria yang akan mengalahkan musuhnya harus “MENCURI barang/senjata musuhnya (gada besi kuning milik orang lain), sekali lagi MENCURI..!!!, lebih parah lagi damarwulan telah menggauli dalam bahasa kasarnya MENYETUBUHI / MENIDURI istri Minakjinggo (kalau di dalam sejarah/legenda diringankan bahasanya supaya layak di baca kalayak umum menjadi MENDEKATI).

    Akhirnya timbul pertanyaan di benak saya “Kesatria sejatinya sapa sihh…??”. Damarwulan or Minakjinggo…???

    ada contoh lain yg menarik dan unik supaya anda bisa mengerti maksud saya :
    a. Kisah Kancil mencuri timun di sawah pak tani (pertanyaannya..??? kenapa bintangnya Kancil bukan petani..???)
    b. Kisah Keong dan kancil Balapan lari ; pasti anda tahu kisahnya (disini bintangnya keong kenapa bukan kancil…???).

    Demikian share untuk kita semua.

    salam
    Sriyadi Wiranegara

    (Asli anak Kutai Bontang Kalimantan Timur).

Tinggalkan komentar