Penyerbuan Gudang senjata Don Bosco


Gedung Don Bosco semula asrama pendidikan Kristen milik Belanda. Terletak di pinggir kota Surabaya sebelah barat, di dekat Kampung Sawahan. Oleh Jepang tempat itu digunakan untuk gudang senjata yang terbesar di Surabaya. Pasukan yang menguasai bernama Dai 10360 Butai Kaisutiro Butai, dibawah pimpinan Mayor Hazinoto. Jumlah personal Jepang 16 orang, Heiho 1 peleton, karyawan sipil 150 orang. Mereka sebenarnya sudah diberhentikan, namun masih dipekerjakan untuk menginventarisasikan senjata yang akan diserahkan kepada Sekutu. Dari karyawan-karyawan itulah keterangan tentang arsenal diketahui oleh fihak pejuang Indonesia.

Penjagaan atas Gedung Don Bosco dilaksanakan oleh Wahono Butai, yaitu pasukan yang mengurusi persediaan senjata amunisi. Tetapi rakyat tidak t ahu bahwa sebenarnya persediaan amunisi Jepang ditempatkan di lapangan pacuan kuda, kurang lebih 200 meter di sebelah barat gedung. Pelurunya dalam peti disimpan di bawah tribune atau dibuatkan liang (juglangan) dalam tanah dan dalam gudang-gudang darurat.

Pengepungan gudang senjata Don Bosco dilakukan para pemuda dengan dibantu oleh pasukan Polisi Istimewa Kota dan Karesidenan Surabaya.

Beberapa orang pemuda masing-masing guru Sekolah Teknik Don Bosco yaitu Sutianto Notowardoyo, Mamahit dan Sutomo (wartawan) maju menemui pimpinan pasukim Jepang. Mereka berunding. Bung Tomo menceritakan pengalamannya dalam buku 10 November 1945 sebagai berikut:

Sekali lagi hendak kucoba berdiplomasi dengan komandan tangsi “Don Bosco”. Komandan tersebut seorang perwira bertubuh besar segera keluar menjumpaiku. Setelah mendengar keteranganku, berkatalah dia dengan tenang: “sampaikan kepada rakyat bahwa kami tidak mungkin menyerahkan senjata, karena kami belum menerima perintah dari panglima kami. Tetapi bila rakyat menghendaki uang guna biaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia kami bersedia menyerahkan jumlah Rp. 5.000,00. Tolong teruskan hal ,ini kepada rakyat…”

Di waktu itu rakyat yang menanti diliputi oleh suasana panas bahkan sebagian sudah mengambil sikap himdak menyerbu saja. Bukan hanya rakyat kampungku (Sawahan) yang bersiap tetapi sebagian besar telah datang dari tempat-tempat yang jauh. Arlojiku menunjukkan pukul 11.00. Setelah selesai pembicaraan tingkat pertama dengan opsir Nippon tersebut, naiklah aku di atas sebuah bangku. Dalam gelap aku lihat beratus-ratus senjata tajam berkilat-kilat dalam genggaman tenaga yang sedang berkobar-kobar jiwanya.

Dengan hati-hati Bung Tomo mulai berkata,

” … Saudara-saudaraku. Komandan tangsi ini menyatakan bahwa tak mungkin senjata diserahkan sebelum dia menerima perintah dari panglimanya. Tetapi dia sanggup menyerahkan uang sebesar Rp. 5.000,00″ Dengan serentak rakyat berteriak, “Kita tidak butuh uang … , minta senjata … !n Serenta melihat sikap rakyat yang demikian itu, komandan tangsi segera minta kepada aku meneruskan kepada mereka bukan Rp. 5.000,00 tetapi Rp.10.000,OO dia sanggup memberi. Rakyat menjawab, “Tidak suka … kami tidak suka uang berapapun jumlah·nya, kami minta senjata … lain tidak.” Berapa orang di antara mereka itu dalam keadaan cemas, menunjuk-nunjuk jari kepadaku sambil berteriak ” … He, Saudara, ‘ sUdah serbu saja, jangan terlalu banyak omong-omong dengan mereka itu”

Melihat hal itu yang lain segera menyatakan persetujuan mereka. Bung Tomo menyaksikan sikap rakyat, pikirannya hampir kacau. Karena bila rakyat menyerbu senapan mesin serdadu’ Jepang yang bersembunyi pasti akan memuntahkan peluru_ Bung Tomo hampir panik, karena ribuan pandangan dan sorot mata tajam tertuju kepadanya. Akhirnya diberanikan berkata,

Saudara-saudara sekalian, saya ini hanya menyampaikan kehendak komandan Nippon kepada Saudara, seperti juga saya menyampaikan maksud Saudara-saudara kepadanya. Saudara jangan marah kepada saya. Silakan orang lain boleh mengganti saya, berbicaralah sendiri dengan Komandan tangsi itu.

Hampir saja terjadi salah faham. Atas anjuran seorang tua yang sudah lanjut usia, berjenggot putih bersenjata tombak dan ikut mengepung gedung Don Bosco dengan kalimat berapi-api berhasil meyakinkan rakyat dan mempercayakan perundingan perebutan gedung itu kepada Bung Tomo.

Dalam pembicaraan selanjutnya antara Komandan tangsi dengan Bung Tomo dan kawan-kawannya Komandan tadi mengajukan keberatannya bila harus menghadapi rakyat secara langsung. Sebaliknya ia ingin berhubungan dengan pembesar-pembesar Republik yang bertanggung jawab dalam soal penjagaan keamanan. Kemudian Pemerintah Kota dan BKR segera dihubungi.

Tidak lama kemudian datanglah Suyitno dari Barisan Pencegah Bahaya Udara Kota, Mokhammad (bekas Daidanco) sebagai wakil BKR, beberapa orang dari PRI di antaranya Jamal bagian penerangan PRI, dan Wakil Kenpeitei.

Pada hari itu dicapai persetujuan:

  1. Komandan gedung Don Bosco dengan diperkuat Wakil Kenpeitai berjanji akan menyetujui permintaan rakyat, setelah Panglima Tentera Jepang di Jawa Timur mengetahui segenap peristiwa yang telah terjadi.
  2. Agar rakyat membubarkan diri.

Pada keesokan harinya, 1 Oktober 1945, delegasi pemerintah diperkuat oleh Kepala Polisi Istimewa Mohammad Yasin, da~ang. Mulai jam 08.00 rakyat sudah siap di muka gedung Don Bosco. Dalam perundingan semula Komandan Jepang sesuai dengan perintah atasannya tetap mempertahankan diri untuk tetap menjaga keamanan. Tetapi setelah mendengar alasan yang dikemukakan oleh pemimpin-pemimpin rakyat bahwa mereka sangat memerlukan senjata, Komandan Jepang itu kemudian bertanya kepada parawakil Pemerintah Republik Indonesia di Surabaya yang hadir, apakah sanggup menjaga keamanan. komandan Polisi Istimewa M. Yasin mengatakan sanggup, asal persenjataan alat-alat pemerintahan Republik Indonesia ditambah secukupnya. Sementara itu, suara rakyat di luar tangsi telah menggelegar berkali-kali minta senjata untuk menghancurkan NICA.

Setelah berunding agak lama akhirnya Komandan Polisi Mokhamad Yasin diminta membuat dan menandatangani surat tanda terima bagi senjata-senjata yang akan diserahkan kepadanya, sebagai bukti kepada Sekutu nanti, bahwa senjata yang diserahkan kepada bangsa Indonesia adalah untuk memperkuat alat-alat Republik yang sanggup menjaga keamanan. Hal ini dapat dimengerti karena kedudukan Jepang berada dalam terjep it antara tekanan Sekutu dan tuntutan bangsa Indonesia. Dengan cara ‘penyerahan senjata seperti diatas fihak tentera Jepang menganggap dirinya telah memenuhi kedua kewajiban diatas. Pertama, menjamin keadaan dan ketenteraman sesuai dengan yang ditentukan oleh Sekutu dan kedua, telah memberikan alat-alat yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia untuk menjaga negaranya yang baru diproklamasikan.

Komandan Polisi Istimewa Mokhammad Yasin dan seorang anggota KN I Daerah menandatangani surat penyerahan yang sudah terlebih dahulu ditandatangani oleh Komandan Gedung Don Bosco. Sampai-sampai terhadap pedang yang dipakai oleh Komandannyapun diminta oleh seorang wakil bangsa Indonesia untuk diserahkan. Dengan tenang dan sunggu sungguh perwira Jepang itu berkata,

“Tuan maafkanlah kalau memang Tuan tidak sangat membutuh kan, biar lah pedang ini, saya pakai terus. Ini adalah pedang pusaka peni nggalan para leluhur saya.dari orang tuaku saya menerima ini.” dengan penuh rasa sayang dia memandang kepada pedang pusakaku. “Maaf, Tuan,” jawab yang meminta, “kami membutuhkan seka li segenap senjata yang ada.”

Menurut Bung Tomo perwira Jepang itu diam sesaat, rupa-rupanya berusaha menekan perasaannya …kemudian dengan tenang pula diserahkan pedang samurai warisan leluhurnya, dengan air mata yang berlinang-linang … menggenangi pada kedua belah matanya …

tetapi tidak bercucuran. Penyerahan di tangsi Don Bosco dilakukan dalam susana tenang dan tertib. Segemip hadirin menjadi saksi penyerahanitu.

,Hasil senjata yang disita dari gedung Don Bosco segera dibagi-bagikan ke seluruh kota di Jawa Timur. Bahkan Bung Tomo pernah mengirim senjata ke Jakarta sebanyak 4 gerbong diambil dari arsenal itu.

Cara-cara perebutan gedung Don Bosco dan penyerahan senjata yang terjadi disitu kemudian dijadikan pedoman oleh pemimpin-pemimpin Republik di Jawa Timur dalam menghadapi soal-soal pengoperan kekuasan lebih lanjut.

Pada hari itu juga dapat diselesaikan pengambil alihan kekuasaan dan alat-alat dari pusat angkatan bermotor tentara Jepang, Radio Surabaya.

Setelah pengambilalihan gedung Don Bosco, rakyat Surabaya pun banyak yang memiliki senjata dan peluru-pelurunya. Kuda-kuda dari Don Bosco dibawa ke markas Petemon Sarat V. Menurut Korneo Mulyosubroto, orang Surabaya pada umumnya berasal dari penjual tempe yang belum dapat menggunakan senjata yang diperolehnya. Bahkan ada yang mempunyai senjata tanpa peluru dibawa ke sana ke mari.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾

Artikel dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: PERTEMPURAN 10 NOVEMBER 1945  : Citra Kepahlawanan Bangsa Indonesia di Surabaya, Panitia Nilai-nilai Kepahlawanan 10 November 1945 di Surabaya, Surabaya, 1986: hlm. 135

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Sejarah, Surabaya dan tag , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar