NYEPI di Kampung Madura


Siang itu perkampungan Bongso Wetan, 27  kilometer arah selatan dari pusat Kota Gresik, tampak sepi. Hanya beberapa perempuan berkerudung tipis terlihat menggaruk-garuk gabah di atas selembar terpal hitam yang terhampar di

jalan makadam, depan rumah. Meski sibuk bekerja, mereka menjawab sapaan dengan sangat ramah.

Kampung unik di Kelurahan Pengalangan, Kecamatan Menganti, itu nyaris 100 persen warganya etnik Madura. Mereka tersebar di Kampung Bongso Wetan dan Bongso Kulon. Cukup banyak orang Madura pemeluk Hindu di desa ini. Dari 400 KK (sekitar 1.600 jiwa), tercatat 183 KK (sekitar 721 jiwa) beragama Hindu. Mereka beribadat di Pura Kerta Bumi yang lumayan luas, di tengah Dukuh Bongso Wetan.

Keramaian kampung tersebut tampak terutama saat menjelang perayaan hari besar agama, seperti perayaan menyambut Tahun Baru Saka 1926 atau Nyepi tahun ini. Umbul-umbul aneka warna berkibar di sepanjang jalan masuk ke pura. Begitu pula penjor-penjor bamboo dengan hiasan janur di puncaknya. Tahun ini penyambutan Nyepi di Bongso Wetan ditandai dengan serangkaian acara. Antara lain Tawur Agung dengan pawai ogoh-ogoh keliling kampung . Arakarakan ogoh-ogoh (boneka raksasa, melambangkan kejahatan) itu baru diarak setelah dilakukan upacara Trisandya, penyiapan air suci, kemudian dibakar di pura.

Awal mula masuknya Hindu ke kampung di kelurahan tersebut, menurut cerita Kartiman (81 tahun), diperkirakan sejak tahun 1969. “Dahulu kami dibantu

banyak pihak. Baik dari Parisada Hindu Pusat maupun dari Jawa Timur,” kenang

Kartiman. Dia sebut, antara lain, Komang Warsa. Konon, anggota DPR RI kala itu. Kisah tersebut dibenarkan Pemangku Adat Pura Kerta Bumi, Saptono. Malah, diakui pula, Hindu di Kampung Bongso memang bisa dibilang unik. Tidak saja dalam hal bahasa (Madura) saat melakukan ritual agama, namun juga bias hidup rukun dengan umat Islam yang lebih mayoritas (200 KK, sekitar 880 jiwa). Maka perayaan Nyepi di Bongso Wetan pun tidak sepi.

Pantang Wayang

Ada hal yang beda dari setiap perayaan Nyepi di Bongso Wetan dengan kampung Hindu lain, seperti Laban Kulon, Biyoto, atau di Mondoluku (ketiganya ada di Kecamatan Menganti). Perayaan tahun baru Hindu di Bongso Wetan dilengkapi dengan acara Ngebak Geni. Lazimnya, mereka mengundang umat Islam se Dukuh Bongso atau dari pedukuhan lain, ke pura. Selain penghormatan, Ngebak  Geni Pekurbanan lebih menjadi symbol kerukunan hidup antar-umat beragama di kelurahan setempat. Saat Idul Fitri mereka juga diundang oleh umat Islam.

Letak Bongso Wetan sepintas memang terkesan tersisihkan dibandingkan dengan kampung lain di Kelurahan Pengalangan. Tidak saja jarak dari jalan raya Manukan-Lakarsantri (depan Polsek Made) yang masih masuk sekitar 700 meter, namun juga dari arah Pengalangan jalan ke Bongso cukup sulit. Badan jalan makadam, licin dan becek saat hujan. Perkampungan Bongso Wetan diapit empat dukuh, berada di antara sawah dan tegal, meski sudah ada jalan aspal dari Desa Made.

Hal unik lain, ada satu pantangan bagi warga Bongso, yaitu menanggap wayang kulit. Kalau nanggap wayang kulit, dianggap identik dengan Jawa atau Bali, serta dianggap mengangkat/mengingatkan kembali penderitaan leluhur saat babat alas (membuka) desa tersebut . Versi lain mengatakan, “penunggu” Desa Pengalangan tidak mengizinkan nanggap wayang kulit. Pasalnya, “sang penunggu” memiliki perangkat wayang kulit yang tidak mau disaingi . Jika pantangan tersebut dilanggar, mereka percaya akan mendapat musibah. Dias

Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur : Jtim News, Tabloid Wisata Plus, EDISI 31, 26 Maret-09 April 2004, Tahun II

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Seni Budaya, Wisata Relegi dan tag , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar