1 Nama dan Waktu Permainan.
Ojung adalah permainan rakyat di Madura yang hanya tersisa di beberapa daerah di pantai Utara bagian Timur Pulau Madura, yaitu di Desa Aeng Merra, Kecamatan Batopote, Kabupaten Sumenep – Madura-Jawa Timur. Permainan rakyat tradisional ini bersifat religius-magis .
Dua orang pemuda yang saling pukul memukul memakai alat pemukul ikatan rotan dengan perlengkapan perlindungan yang sederhana pada bagian tubuh yang vital, itulah “Ojung”.
2 Waktu /Peristiwa Permainan.
Permainan “Ojung” ini yang kami observasi merupakan bagian dari pada upacara meminta turunnya hujan, yang diselenggarakan di desa Aeng Merra Kecamatan Batopote, Kabupaten Sumenep. Jarak dari Sumenep sekitar 23 km. Ojung terdapat pula di desa-desa Tengedan, Juru wan, Batopote Daya di Kecamatan Batopote dan di beberapa desa Kecamatan Gappora. Semuanya di daerah Sumenep. Dilain tempat di Madura tidak ada. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah kering, kurang hujan dan minus.
Apabila sudah waktunya nembara musim hujan tetapi hujan yang jatuh hanya sekali, lalu melta tidak hujan lagi, sehingga bibit tanaman jagung yang sudah ditanam, sangat kekurangan air, pada saat itulah lalu diselenggarakan upacara “rokad”. Selamatan Tumpengan minta hujan oleh penduduk desa Aeng Merra dengan berpusat di sumur sepenang cangka pohon pinang yang bercabang.
Sumur tersebut merupakan sumur tua yang banyak membantu penduduk desa yang membutuhkan air. Sumur tersebut dikuras dengan upacara rokad dan dalam rangka rokad tersebut diadakan nangga ojung menyelenggarakan Ojung.
Ojung pada saat itu dianggap bagian tak terpisahkan daripada upacara rokad minta turunnya hujan.
Upacara ini diselenggarakan pada siang hari sekitar pukul 15.00 wib oleh seluruh penduduk desa Aeng Merra di akhir musim kemarau atau di awal musim hujan.
3. Latar Belakang Sosial Budayanya.
Daerah Aeng Merra adalah daerah kering, kurang hujan sehingga merupakan daerah minus. Mata pencaharian penduduk adalah bertani. Bagian terbesar tanah pertaniannya terdiri dari ladang. Air merupakan kebutuhan pokok bagi usaha pertaniannya dan untuk air minum penduduk desa beserta ternak-ternaknya. Di musim kemarau, untuk kebutuhan air minum dirinya dan ternaknya, mereka adakalanya mencarinya sampai berkilo-kilo meter jauhnya dari desa- nya. Untuk kebutuhan makan minum ternaknya lebih diutamakan dari pada pemiliknya.
Jarang sekali terdapat tontonan hiburan, sehingga kalau terdapat atau diselenggarakan suatu permainan atau hiburan, sudah cukup
mengundang bagian terbesar dari penduduk desa tersebut untuk melihatnya. Ada juga yang memanfaatkan untuk berjualan makanan Begitu pula waktu diselenggarakan rokad yang di dalamnya terdapat permainan Ojung. Sehari semalam upacara diselenggarakan waktu sebagian warga desa Aeng Merra mempersiapkan segala sesuatunya untuk upacara di sekitar sumur se penang cangka sudah banyak penduduk desa membanjirinya.
Sebagian ada yang berjualan, sebagian ada yang hanya melihat-lihat, dan ada yang semalam suntuk tidak tidur untuk mojja mohon kepada Tuhan agar hujan bisa turun.
Pada akhir musim kemarau ada tanah ladang mereka yang sudah diolah, disiapkan kalau hujan mulai turun mereka sudah siap menanamnya. Begitulah setelah hujan mulai turun, bibit jagung mulai ditanam, tetapi kemudian hujan tidak jatuh lagi ke bumi, maka mereka segera menyelenggarakan rokad yang disertai dengan permainan Ojung di sekitar se penang cangka.
Karena alasan-alasan yang bersifat sakral ini, maka bagian terbesar dari pemudanya yang segar bugar secara sukarela memasuki arena „Ojung yang merupakan bagian dari upacara meminta turunnya hujan. Pemuda-pemuda tersebut telah menyiapkan diri dengan latihan- latihan sebelumnya dengan dipimpin oleh pemain-pemain Ojung yang sudah tua dan berpengalaman.
Permainan Ojung yang berkaitan dengan upacara minta turunnya hujan ini, tidak menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang* Tetapi karena ditonton oleh banyak penduduk desanya, tentu saja para pemuda peserta pemain Ojung berusaha bermain sebaik-baiknya dan berkeinginan menjadi jagoannya.
Bagi penduduk desa Aeng Merra, Ojung selain dianggap bagian sakral daripada upacara rokad minta turunnya hujan, sekaligus juga sebagai tontonan yang menarik.
Mereka memberi semangat kepada jago-jagonya, yang sekaligus adalah mungkin termasuk keluarganya. Makin seru permainannya, makin tebal harapan penduduk desa tersebut akan terkabulnya permohonan mereka, yaitu hujan akan segera turun secara tetap, untuk menghidup-suburkan tanamannya.
Serunya permainan Ojung dan luka-luka memar atau berdarah sebagai tumbal yang meyakinkan mereka bahwa permohonan mereka akan terkabul. Konon katanya dahulu, kalau permainan Ojung
sebut sampai pada puncaknya, para pemain sering tidak sadar lagi (trance). Karena itu dalam permainan ini ada babuto yaitu orang yang bertindak sebagai pelerai, sekaligus sebagai wasitnya atau kalau dulu haruslah seseorang yang dianggap memiliki kekuatan magis. Seusai permainan tersebut, para pemain peserta kembali ke kehidupan yang akrab, tak ada perasaan dendam dan bersama dengan seluruh penduduk desa, mereka terpusat pada harapan akan terkabulnya permohonan mereka, yaitu turunnya hujan agar ladang-ladang serta sawah-sawah serta kebutuhan air bagi ternak dan dirinya terpenuhi seluruhnya.
Latar Belakang Sejarah Perkembangannya.
Menurut Pak Ma, selaku informan (60 tahun lebih) dan merupakan jago tua ojung di desa Aeng Merra dan desa sekitarnya, mengatakan waktu ia masih kecil sudah sering menonton Ojung. Menurut juju Hiya buyutnya permainan Ojung sudah berlangsung sejak dahulu. Yaitu diselenggarakan setiap akhir musim kemarau, waktu hujan tak kunjung jatuh ke bumi, maka diselenggarakanlah rokad yang disertai dengan permainan Ojung.
Hal ini untuk menghindari jangan sampai penghuni desariya laep kelaparan
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa daerah Batopote, adalah daerah kering, kurang hujan dan daerahnya minus. Karena kemudian ada juga penduduk desa Aeng Merra yang memiliki sumur, maka kelompok Ojung itu tidak saja dimainkan di sumur desa se penang cangka, tetapi juga menyertai upacara rokad di sumur-su- mur penduduk yang lain. Artinya para pemain Ojung e tangga diundang penduduk desa yang memiliki sumur sendiri tanpa dibayar. Sebab penduduk pemilik sumur pribadi tersebut akan mem- fungsi sosialkan sumurnya bagi penduduk di sekitar tempat tinggalnya. Namun demikian upacara rokad utama bagi seluruh penduduk desa yaitu yang berpusat di sumur desa “se penang cangka”
Selain desa Batopote, dulu katanya, “Ojung” hampir ada diseluruh daerah pantai utara dan timur Kabupaten Sumenep. Dahulu banyak penduduk asal dari daerah Sumenep ini yang berimigrasi ke Jawa, terutama ke daerah bekas Keresidenan Bondowoso. Sejak jaman “rato” (kerajaan) dulu, katanya “Ojung” sudah ada.
Batopote dulu pernah menjadi kerajaan, dan pada waktu itu “0-jung” sudah sering dipertandingkan antara desa yang memiliki permainan tradisional tersebut.
Pertandingan antara jago-jago “Ojung” itu diselenggarakan setahun sekali, di saat akhir musim kemarau.
Hadiahnya konon tak seberapa, tetapi jago-jago yang membawa ke-menangan ke desanya membawa kebanggaan dan kehormatan bagi desanya. Sehingga seluruh desa merayakan dan mengelu-elukan jago “O/m «g “-n ya yang menang.
Hal ini membawa akibat pada permainan “Ojung” itu sendiri yang memang sudah bersifat sakral, tetapi karena dipertandingkan maka kekuatan-kekuatan magic hitam maupun “magic putih” ikut serta memainkan peranan. Tiap-tiap kelompok pemain Ojung dari setiap desa selalu didampingi oleh orang yang ahli memainkan “kekuatan magis” tersebut. Terjadilah pertarungan “kekuatan magis” sebelum bertanding, waktu bertanding dan setelah bertanding. Karena pertan- dingan itu membawa pengaruh yang jelek dan adakalanya dapat menimbulkan “Carok” (perkelahian), maka setelah bangsa Indonesia Merdeka, pertandingan tersebut dihapuskan. Kini “Ojung” kembali ke fungsinya yaitu merupakan bagian sakral dari pada upa-cara “rokad” minta hujan. Malah permainan “Ojung” sekarang hanya tersisa di daerah Kecamatan Batopote dan Gappora. Di lain tempat di Madura sudah tidak ada lagi. Di lain tempat di Jawa Timur terda- pat jenis permainan yang mirip, yaitu di Tulungagung dan Trenggalek dengan sebutan “Tihan” sedangkan di Lumajang dikenal sebagai “Sampyong”.
Tetapi masing-masing mempunyai latar belakang sosial budayanya sendiri.
>. Peserta.
Jumlah pemain “ojung” tidak pasti berapa, tergantung pada – kesediaan para pemuda desanya masing-masing. Hanya saja jumlah
pemainnya harus genap dan pasangan-pasangannya harus “se sagan- ding” (sebanding). Usia para pemainnya sekitar tujuh belas tahun ke
atas, dan hanya terdiri dari para pemuda saja.
Mereka adalah para pemuda tahi yang sehat, tangguh karena sudah terlatih untuk bermain “Ojung”. Bagi mereka, ikut melaksanakan
bermain “Ojung” merupakan kewajiban moral untuk kepentingan seluruh penduduk desanya. Pemain “Ojung” dilarang bagi wanita sebab selain permainan ini berbahaya, juga karena para pemainnya tidak boleh memakai baju, artinya bagian dadanya terbuka. Peralatannya terdiri dari alat pemukul yang terbuat dari ikatan beberapa batang rotan.
Panjang alat pemukul tersebut sekitar 1 meter. Setiap peserta membawa alat pemukulnya sendiri, yang nanti diperiksa oleh “babuto”. Selain itu, untuk dipakai sebagai alat pelindung kepala yang disebut “bukot” yaitu alat pelindung yang dibuat dari anyaman daun kelapa, kemudian dibungku’s Karung goni (rangkap satu)diikat dengan tali sehingga membundar dan di bagian muka diberi tali temali pelindung, sebab bagian muka tersebut terbuka untuk dapat melihat sasaran. Sebelum “bukot” dipasang, bagian kepala peserta sudah dibungkus dengan selembar sarung. Sehingga bagian kepala peserta mendapat perlindungan cukup tebal.
Selembar sarung yang lain diikatkan di bagian lengan kiri peserta, untuk digunakan sebagai perisai. Sedangkan selembar sarung yang lain diikatkan di bagian luar celana pendeknya (sekaligus juga merupakan celana dalamnya) untuk mempertebal perlindungan pada alat vitalnya.
Iringan Permainan
Perlengkapan yang lain ialah lapangan seluas 9 m2untuk arena permainan. Selama permainan “Ojung” berlangsung, iringan gamelan yang disebut “okol” terus menggema.
Perangkat gamelan disebut “okol” tersebut terdiri dari sebuah gambang tua dart sebuah “dung-dung” (semacam kendang). Sayang sekali waktu permainan “Ojung” tersebut berlangsung tanpa diiringi gamelan sebab kedua alat tersebut, dari tua usianya, sudah rusak dan sedang dibuatkan yang baru.
Menurut penjelasannya, suara gambang yang mengiramakan lagu-lagu daerah pedesaan Madura Timur, hampir-hampir tak terdengar karena disaingi oleh bunyi “dung-dung” yang bertalu-talu memberi semangat kepada peserta.
Jalan Permainan
Permainan “Ojung” dimulai pukul 15.00 wib. (setelah sembahyang Ashar) dan setelah upacara rokad berakhir.
“Babuto” kemudian maju ke arena, memilih pasangan yang akan bertanding, yang diperkirakan “se seganding” (sebanding). Pasangan tersebut kemudian memasang perlengkapannya dibantu oleh pemuda- pemuda yang lain. Perlengkapan yang merupakan alat pelindung diri itu diperiksa oleh “Babuto”, apakah sudah dipakai dengan baik dan kuat oleh setiap peserta. Alat pemukulnya pun diperiksa pula. Setelah siap, kedua pemain “Ojung” itu dibawa ke arena. Keduanya kemudian duduk berjongkok saling memungkiri dengan “babuto” ada di tengah-tengah mereka. Kedua pemain duduk berjongkok dengan memegang
alat pemukulnya, sambil membaca do’a.
Setelah itu “babuto” yang bertindak sebagai wasit dan pemisah, menyuruh kedua pemain tersebut berdiri sambil berhadapan. Kedua alat pemukul pemain dipegang ujungnya dengan tangan kanan oleh “babuto” sambil memberi nasehat-nasehat, mengingatkan pada peraturan-peraturan permainan, jangan mengikuti nafsu marah, dalam permainan ini harus sungguh-sungguh, tak ada yang kalah dan yang menang sebab merupakan rokkadda somor menta’ o jari” (selamatan minta turunnya hujan). Ucapan-ucapan “babuto” bersifat humor, sehingga sering menimbulkan gelak tawa para penonton. Apabila “babuto” melepaskan pegangan pada ujung alat pemukul para pemain dan memberikan aba-aba permainan dimulai, maka kedua pemain tersebut mulai saling pukul memukul, siasat menyiasati mencari peluang untuk melancarkan pukulan-pukulannya kepada lawan, diiringi sorak
sorai penonton.
Dalam peraturan permainan, dilarang’pemain mempergunakan alat pemukulnya untuk menusuk lawannya, memukul bagian perut kebawah, apalagi menusuk muka. Yang diperkenankan hanya memukul bagian perut ke atas. Apabila “babuto” melihat adanya permainan tak seimbang atau serunya permainan sudah mengarah keluapan hawa-nafsu atau bila ada alat pemukul salah seorang pemain yang jatuh, maka “babuto” segera memisahkan kedua pemain tersebut. Kedua ujung alat pemain (alat pemukulnya) dipegang lagi, lalu dengan ucapan-ucapan jenaka “babuto” mengadu lagi kedua pemain tersebut.
Bekas pukulan yang mengenai tubuh (umumnya di bagian lengan atas dan punggung) sering kali tidak hanya membekas saja, tetapi berdarah. Konon menurut penjelasannya, dulu waktu dipertandingkan, di mana “kekuatan-kekuatan magis” ikut pula memainkan perannya, maka sering bekas pukulan lawannya tidak tersembuhkan sampai berbulan-bulan. Tetapi bagi pemain yang memperoleh perlindungan dari seorang yang “kuat daya magisnya” maka bekas luka pukulan lawannya, begitu permainan usai, hanya diusap dengan telapak tangan berair dari pelindungnya, bekas luka tersebut segera lenyap tanpa bekas. Dengan permainan “kekuatan magis”, sering terjadi alat pemukulnya patah, kehilangan kekuatan untuk memukul kena pukul lalu pingsan, alat pemukulnya jatuh, semuanya ini bila terjadi dianggap kalah (dalam pertandingan). Selama permainan berlangsung, suara gamelan “okol” terus bergema lebih-lebih suara “dung-dung” terus bertalu-talu. Dalam upacara “rokad”, permainan “Ojung” setiap pasang paling lama hanya berlangsung setengah jam. Sebelum waktu sembahyang Ma- grip, permainan sudah selesai.
8. Peranannya Masa Kini.
Permainan “Ojung” ini hanya tersisa di beberapa desa kecamatan Batopote dan Gappora, tidak seperti dahulu yang meliputi daerah pantai utara dan timur Kabupaten Sumenep. Menurut Pak Ma, hal itu karena “Ojung” tak dipertandingkan lagi, juga karena ada perasaan “lako” (takut) ngeri melihatnya dari sementara anggota masyarakat, juga karena para pemuda desa banyak yang berkecimpung dalam usaha pertembakauan.
Adanya Radio-Transistor dan TV yang telah masuk desa dan juga adanya larangan dari alat-alat negara pada permainan “Ojung” di luar upacara rokad karena sering megakibatkan terjadinya “Carok, akibatnya “Ojung” tidak populer lagi, sehingga hanya tersisa di beberapa tempat saja yang masih berpegang teguh pada
adat kebiasaan leluhurnya.
Tanggapan Masyarakat
Selain itu ada tanggapan dari kalangan agama, bahwa “Ojung” dilarang oleh agama. Tanggapan ini perlahan-lahan pengaruhnya makin meluas di kalangan masyarakat, sekalipun kalau ada permainan “Ojung” boleh ada hanya sekedar sebagai “syarat” dari suatu rangkaian upacara permintaan turunnya hujan. Kengerian melihat akibat permainan ini anggota masyarakat menganggap “Ojung” tidak cocok lagi dalam kehidupan sekarang. Pengaruh kalangan agama yang mengarahkan untuk minta turunnya hujan cukup dengan melakukan sembahyang bersama memohon kepada Tuhan agar hujan segera turun. Adanya sumber mata pencaharian baru yang menyibukkan yaitu mengusahakan penanaman tembakau dan adanya televisi serta radio transistor, semuanya ini merupakan faktor yang tak menguntungkan bagi kelestarian permainan “Ojung”, ditambah lagi dengan adanya larangan dari alat-alat negara terhadap “Ojung” yang tidak berkaitan dengan selamatan “rokad” minta turun hujan. Kata Pak Ma Lesu, buktinya kalau ada “Ojung” setelah “rokad”, orang jarang sekali “se nangga” (yang mengundang), pemain-pemainnya tambah lama tambah berkurang. Demikian penjelasan Pak Ma, jago tua “Ojung” dari tiga jaman yang sekarang mencoba-coba peruntungannya dalam usaha tani tembakau.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: PERMAINAN RAKYAT DAERAH JAWA-TIMUR; DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL PROYEK INVENTARISASI DAN DOKUMENTASI KEBUDAYAAN DAERAH, hlm. 32-140