Ronggo Hadi, Penyebaran Agama Islam Kabupaten Lamongan


Dari cerita yang cukup kuat diyakini oleh masyarakat Lamongan, Sunan Giri menaruh perhatian yang kuat terhadap wilayah Lamongan sebagai pendukung eksistensi Giri.

Karena itu penyebaran Islam di wilayah ini layaknya  memperoleh prioritas, terbukti dengan pengiriman salah seorang putera sunan Dalem (Sunan Giri II) ke Deket yang dalam silsilah disebut Pangeran Deket dan oleh masyarakat setempat dikenal dengan Mbah Deket atau juga  dikenal dengan nama Sunan Lamongan,

Di wilayah Mantup masyarakat juga mengenal cerita tentang “makam” Pangeran Sedamargi. Sekalipun itu hanya berasal dari cerita tutur, namun bisa diduga bahwa Pangeran Sedamargi memang pernah berdakwah di daerah itu.

Di daerah sekitar Mantup, yakni di Tikung dan Kembangbahu juga ditemukan kropak yakni buku rontal yang berisi tembang-tembang tentang kisah para Nabi (serat Arnbiyo) utamanya tentang Nabi Yusuf (serat Yusuf).

Kropak-kropak ini sekarang sebagian disimpan di Museum Mpu Tantular Surabaya Berdasarkan cerita tutur, Sunan Giri III dikabarkan pernah menugaskan santrinya yang bernama Hadi untuk berdakwah ke wilayah ini. Konon santri Hadi ini cukup berhasil dalam dakwahnya, sehingga dapat mengislamkan orang-orang di beberapa desa di sekitar Gunung Kendeng dan Babat…

Wilayah Lamongan secara politis sangat berarti bagi Giri baik dalam kedudukannya sebagai pusat Pemerintahan Ulama (menurut istilah Graaf dan Pigeaud sebagai “Moslimsepriestervorstendom”) maupun sebagai pusat dakV/ah Islam. Wilayah ini bisa menjadi benteng dari serangan penguasa di Sengguruh (sisa kerajaan Majapahit di daerah Selatan dekat Malang) untuk kali kedua atau seterusnya, apabila rakyat dan penguasanya sudah beragama Islam. Giri pada tahun 1535 memang pernah diserang oleh Sengguruh dan berhasil menduduki kedbatonGiri, sehingga Sunan Dalem dengan persetujuan Syekh Koja (paman Sunan yang bergelar Syekh Menganti) menyingkir ke Gumena. Tentara Sengguruh sempat merusak makam Sunan Giri I  Kedudukan Giri baru dirasakan aman dari ancaman serangan tentara Sengguruh tersebut, tatkala sebagian penduduk Lamongan sudah masuk Islam, lebih-lebih setelah dua penguasa di Lamongan yang beragama Hindudapat dikalahkan oleh tentara Demak pada tahun 1541 dan 1542. Tetapi itu semua belum dianggap memadai, karena di Lamongan belum ada penguasa muslim. Oleh sebab itu Sunan Prapen mengangkat santrinya yang bernama Hadi sebagai Ronggo. Karena Ronggo Hadi telah menunjukkan kepatuhan dan prestasinya dalam menyebarkan agama Islam di daerah Lamongan, Sunan Giri mengangkatnya menjadi Adipati dengan sebutan Tumenggung Surajaya

Peristiwa pengangkatan Rangga Hadi sebagai Adipati, menurut penelitian Panitia Penyusun Naskah Hari Jadi dan Sejarah Lamongan jatuh pada hari Kamis Pahing tanggal 10 Dzul-Hijjah 976 H. bertepatan dengan tanggal 26 Mei 1569 M. Tanggal, bulan dan tahun tersebut oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan dengan Keputusannya nomor 05 tahun 1983 tanggal 26 Desember 1983 ditetapkan menjadi Hari Jadi Lamongan.

Tentang asal usul Ronggo Hadi, terdapat dua versi. Menurut Tim Penulis Penyusun Naskah Hari Jadi dan Sejarah Lamongan, bahwa Ronggo Hadi itu berasal dari Dusun Cancing, Desa Sendangrejo Kecamatan Ngimbang. Tetapi menurut para keturynan Sunan Giri dari Badu Wanar Kecamatan

Pucuk (seperti pernah dituturkan oleh aim. R. Soemoprawiro mantan Carik Desa Wanar, aim. R. Soemowidjojo mantan Guru SRN Bedingin, aim. R. Soemodihardjo mantan Kepala KUA Kecamatan Sugio, dan aim. R. Sirhasjim Kromodihardjo mantan Kepala SRN Kuripan Babat), bahwa Ronggo Hadi itu putera Syekh Koja paman Sunan Dalem (Sunan Giri II). Dengan demikian, Ronggo Hadi itu paman Sunan Prapen. Jadi bukan orang lain. Dalam mengemban tugas sebagai Adipati, beliau didampingi oleh Pangeran Deket atau Sunan Lamongan, yakni saudara Sunan Prapen. Penuturan itu berdasarkan naskah rontal yang ikut terbakar tatkala Belanda membakar 176 buah rumah di Desa Wanar pada tanggal 17 April 1949-

Pada masa pemerintahan Tumenggung Surajaya yang berada pada era Giri, perekonomian di daerah Lamongan besar kemungkinan keadaannya lebih baik. Hal ini mengingat saat itu perdagangan dari pelabuhan Gresik dan Jaratan (Giri) makin maju bahkan telah dapat menembus kepulauan Maluku yang kaya dengan rempah-rempah. Pada saat itu perhubungan dari daerah Lamongan ke pelabuhan Jaratan dapat dilakukan lewat jalan darat dan lewat sungai Lamong. Bahwa Lamongan pada waktu itu telah memiliki ketahanan ekonomi dan pertahanan, tersirat dalam legenda mBah Alun yang memperhatikan pertahanan pantai utara Lamongan.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: LAMONGAN MEMAYU RAHARJANING PRAJA, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II, Lamongan 1994, hlm. 29-31

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Lamongan, Sejarah, Th. 1994 dan tag , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar