Sidoarjo di Masa Pancaroba Sejarah


Pancaroba masa peralihan abad ke-19 ke abad ke-20 ialah ucapan yang lumrah diketengahkan dalam sejarah Sidoarjo, bahwa suatu jiwa zaman (zeitgeist) membentuk kepribadian seseorang dan kelompok masyarakat yang hidup di masa itu. Abad ke-20 bercirikan nasionalisme serta produk perkembangan-nya, yaitu negara nasion. Maka berbicara tentang Kabupaten Sidoarjo tidak lepas dari nasionalisme, dan sebaliknya perkembangan nasionalisme tidak dapat lepas dari peran kepemimpinan yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo.

Beberapa dasawarsa menjelang tahun 1900, Sidoarjo mengalami perubahan ekonomi, sosial dan politik sebagai dampak modernisasi seperti pembangunan komunikasi. Antara lain kereta api, jalan raya, telepon, telegraf, industri pertanian dan pertambangan, edukasi dari sekolah rendah sampai pelbagai pengajaran profesi dalam kedokteran, teknologi pertanian dan lain sebagainya.

Tidak mengherankan apabila timbul peningkatan mobilitas, pendidikan profesi, ekonomi pasar serta ekonomi keuangan dan lain-lain. Kebingungan rakyat dalam menyikapi perubahan itu, menciptakan pada rakyat sejak kira-kira pertengahan abad

ke-19 pandangan dunia, seperti gambaran kuno ialah datangnya Kaliyuga atau datangnya kiamat (apocalyps).

Kedatangan akhiring zaman ditandai antara lain oleh “Pulau Jawa sudah berkalung besi” atau adanya rel kereta api, anak yang sudah tahu nilai uang akibat adanya monetisasi, anak tidak lagi mematuhi kata orangtua, dan sebagainya. Adanya kebingungan berubahnya nilai-nilai, karangan pujangga terakhir Ranggawarsita maka dalam serat Kalatida menyatakan “Jamane jaman edan sing ora edan ora keduman… Begja begjane kang lali luwih begja kang eling lan waspada.”

Di sini zaman penuh perubahan nilai-nilai menimbulkan kebingungan, karena orang kehilangan pegangan sehingga kelakuannya serba aneh (seperti orang gila). Orang tidak jujur (korup) menjadi kaya dan yang jujur tidak menjadi kaya akan tetapi yang paling bahagia adalah orang yang tetap ingat (jujur) serta waspada. Begitulah perubahan. Selalu menyisakan kegamangan, namun sekaligus menawarkan harapan akan lahirnya sesuatu yang baru. Nasionalisme, saat itu menjadi kata yang tiba-tiba menyedot perhatian publik. Sama dengan kata globalisasi di awal abad 21 saat ini.

Menurut H Kohn, nasionalisme adalah suatu state of mind and an act of consciousness. Jadi sejarah pergerakan nasional harus dianggap sebagai suatu history of idea. Dari pernyataan ini secara sosiologis, ide, fikiran, motif, kesadaran harus selalu dihubungkan dengan lingkungan yang konkrit dari situasi sosio-historis.

Pengertian lain dari nasionalisme dapat disebut sebagai social soul atau “mental masyarakat”, sejumlah perasaan dan ide-ide yang kabur”, dan sebagai a sense of belonging.

Dan beberapa lagi, pengertian nasionalisme yang lain, yaitu merupakan produk atau antitese dari kolonialisme. Dari berbagai pengertian di atas tidak terdapat perbedaan yang mendasar, justru menunjukkan persamaan, yaitu semuanya lebih bersifat sosio-psikologis. Ini berarti nasionalisme sebagai suatu bentuk respon yang bersifat sosiopsikologis tidak lahir dengan sendirinya. Akan tetapi lahir dari suatu respon secara psikologis, politis, dan ideologis terhadap peristiwa yang mendahului-nya, yaitu imperialisme atau kolonialisme.

Jika demikian halnya, maka awal terbentuknya nasionalisme lebih bersifat subjektif, karena lebih merupakan reaksi group consciousness, dan berbagai fakta mental lainnya. Dari sekian jumlah penggunaan istilah di atas, semuanya merupakan komponen-komponen keadaan jiwa dan pikiran yang tidak dijelaskan secara rinci perbedaannya. Dengan demikian, akan mengalami kesulitan dalam menggunakannya sebagai terminologi maupun konsep analitis untuk mencari struktur dan sifat-sifat nasionalisme itu sendiri.

Secara analitis, nasionalisme mempunyai tiga aspek yang dapat dibedakan, pertama aspek cognitif, yaitu menunjukkan adanya pengetahuan atau pengertian akan suatu situasi atau fenomena. Dalam hal ini adalah pengetahuan akan situasi kolonial pada segala porsinya aspek goal/value orientation, yaitu menunjukkan keadaan yang dianggap berharga oleh pelakunya. Nah, yang dianggap sebagai tujuan atau hal yang berharga adalah, memperoleh hidup yang bebas dari kolonialisme; aspek affective dari tindakan kelompok menunjukkan situasi dengan pengaruhnya yang menyenangkan atau menyusahkan bagi pelakunya. Misalnya berbagai macam diskriminasi pada masyarakat kolonial melahirkan aspek affective tersebut.

Apa yang terjadi di Sidoarjo saat itu? Tak lain kesadaran pribumi untuk merdeka, tidak berada di bawah tempurung kolonial, yang semakin menggelora. Para pelajar Sidoarjo mulai merumuskan impian baru tentang ruang hidup mereka. Para pedagang pribumi yang perannya semakin  termarginalisasikan, mulai merasakan kesumpekan.

Berdirinya Boedi Oetomo, 1908, Sarekat Islam, NU, Muhammadiyah, Indische Partij, ISDV, PKI dan masih banyak lagi organisasi lain menjadi gairah baru bagi warga Sidoarjo untuk memilihnya sebagai payung rasa nasionalisme yang mereka miliki .

Bahkan di negeri Belanda pun para pelajar Indonesia membentuk Perhimpoenan Indonesia. Belanda menanggapi secara positif, dengan mengeluarkan Bestuurshervormingswet pada 1922, yang membuka peluang bagi pembentukan  badan-badan pemerintahan baru dengan mengikut sertakan lebih banyak lagi keterlibatan bumiputera.

Memang, dari segi historis politik kolonial itu menghasilkan hominies novi atau manusia baru. Yaitu priyayi intelegensia yang akan berperan sebagai modernisator atau aktor intelektualis dalam profesionalisme teknologi bidang industri, pertanian, kedokteran, biroktasi, pendidikan, dan sebagainya. Dalam menyebut pendidikan sebagai unsur politik kolonial, perlu diketengahkan Politik Etis pada awal abad ke-20 dengan trilogi pendidikan wanita, biaya pendidikan, dan pendidikan pada umumnya. Ini langkah pelaksanaan pidato Ratu Wilhelmina pada tahun 1901 serta merupakan perwujudan ekspresi dari edukasi, irigasi, dan emigrasi. Pada akhir dekade pertama, saat itu dijumpai kultur baru di Sidoarjo, berupa life style tersendiri di tengah masyarakat.

Ini sebagai imbas eksisnya kaum priyayi inteligensia serta pimpinan bangsawan atau kaum aristokrasi yang saat diwakili oleh organisasi Boedi Oetomo. Maka, selaras dengan kondisi itu sifat organisasi, gerakannya tidak mungkin radikal. Sementara, kaum pedagang menengah dan penduduk kota sebagai anggota Muhammadiyah juga lebih bersifat moderat, sedang SI yang mencakup lapisan menengah sampai bawah terdiri atas aneka ragam golongan antara lain golongan petani, golongan pertukangan industrialis rumah tangga, serta pedagang kecil.

Ada pula penganut ideologi merupakan campuran antara gerakan tradisional dan setengah modern kota. Meskipun masih bercorak etnonasionalistis, namun saat itu ditengarai sudah ada komunikasi antara golongan bawah menengah dan atas. Komunikasi semacam ini, sebenarnya tidak hanya terjadi di Sidoarjo. Kongres Jong Java pada 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta, adalah contohnya. Bagaimana semangat dan sikap kaum maju dalam akhir dekade pertama Indonesia saat itu, dapat diamati selama kongres tersebut. Sangat menonjol jenis nasionalisme pertemuan itu ialah etnosentrisme.

Berbagai golongan yang ada di Sidoarjo, antara lain golongan bangsawan, golongan aristokrasi, dokter, guru, siswa dari berbagai sekolah seakan menjadi satu dalam semangat yang sama. Ini semua memberikan makna, bahwa tidak lagi dipatuhi aturan feodal dan ada komunikasi lebih bebas. Di sini, kita melihat tanda-tanda permulaan dari demokrasi. Dari substansi pembicaraan terbukti perhatian mereka luas, mencakup kesejahteraan kehidupan rakyat dan bagaimana mereka menyikapi kebudayaan Barat. Dalam skala nasional,

peristiwa yang menarik adalah pidato Soetomo; dialog antara dokter Tjipto Mangunkoesoemo dan dokter Radjiman Wedyodiningrat. Dokter Soetomo mengutarakan keadaan negerinya yang serba terbelakang di berbagai bidang, antara lain bidang kesehatan, pendidikan, pertanian, peternakan, perumahan, dan sebagainya.

Pidato itu mencakup berbagai segi kehidupan rakyat yang sangat komprehensif, tetapi tidak disinggung masalah politik, diskriminasi sosial dan serba tertinggal dalam tingkat pendidikan. Sesuai dengan tingkat kepri-yayiannya, dokter Soetomo tidak melancarkan kritik terhadap pihak kolonial, masih jauh dari retorik serta diskusi yang diungkapkan Bung Karno. Sementara Dokter Tjipto Mangunkoesoemo lebih progresif. Bahwa kemajuan dapat dicapai dengan menerima dan menyikapi positif proses westernisasi terutama dalam segi teknologinya.

Sebagai visi alternatif, Dokter Radjiman Wedyodiningrat mengutarakan bahwa mungkin lebih baik tetap bersifat konservatif dalam menghadapi westernisasi. Bangsa Indonesia telah memiliki kultur atau peradaban sendiri, lebih-lebih dengan perbendaharaan yang cukup kaya raya, khususnya dalam hal ini pembicara merujuk kepada kesenian dan Kesusastraan Jawa. Radjiman lebih condong mempertahankan

kebudayaannya sendiri serta berhati-hati dalam menerima kebudayaan Barat. Sedang dokter Tjipto Mangoenkoesoemo lebih cenderung menerima westernisasi terutama yang dimaksud bidang teknologi dan ilmu pengetahuan.

Rupanya, pada zaman itu kolonialisme semakin kuat sistem dominasinya sehubungan dengan ancaman Perang Dunia II serta ancaman ekspansi Jepang. Pidato-pidato Soekarno semakin lebih tegas menyerang kolonialisme dan  imperialismenya negara Barat. Nyatanya, nasionalisme Indonesia pada fase-fase perkembangannya merupakan reaksi sesuai dengan zeitgeist. Dalam menghadapi modernisasi lewat westernisasi oleh para kaum maju, jelas disadari bahwa tidak ada jalan lain daripada mengutamakan edukasi menurut sistem Barat. Berlangsunglah sistem pendidikan semacam itu di Jawa, dan juga Sidoarjo. Mobilitas penduduk ini tidak bisa total ketika pemuda akhirnya mengetahui apa motif asli Jepang datang ke tanah air. 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada sekutu. Sehingga Kaigun, Tentara Laut Jepang, yang berada di sekitar Delta Brantas pusatnya di ujung Surabaya, dengan sembunyisembunyi menyerahkan senjatanya kepada pemuda-pemuda kita.

Proklamasi dikumandangkan dwitungal Soekarno-Hatta. Yang patut dicacat adalah bulan-bulan berat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, yaitu ketika Belanda yang membonceng kedatangan Sekutu kembali menduduki Sidoarjo. Sepenggal kisah yang tercatat, ketika Belanda sampai di kawasan Gedangan, Bupati memindahkan tempat pemerintahan kabupaten ke Porong. Hingga 24 Desember 1946, Belanda benar-benar menyerang kota dari jurusan Tulangan. Dalam hitungan jam, Sidoarjo jatuh ketangan Belanda. Segenap jajaran pemerintahan Kabupaten Sidoarjo terpaksa mengungsi ke sekitar Jombang.

Sejak saat itu, Sidoarjo dibawah pemerintahan Recomba. hingga tahun 1949. Di akhir tahun 1948, bukan saja karena Republik yang masih usia balita itu harus menghadapi musuh di depan (Belanda) tetapi juga ditusuk dari belakang oleh anakbangsa sendiri, yaitu kelompok komunis (PKI) pimpinan Muso yang mendalangi peristiwa (kudeta) Madiun pada pertengahan September 1948. Klimaksnya ialah terjadinya serangan (agresi) militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948. Akibatnya nyaris fatal. Ibu kota Republik, Yogyakarta, diduduki Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta sejumlah menteri yang berada di ibu kota ditangkap.

Sejak itu, Belanda menganggap Republik sudah tamat riwayat-nya.Akan tetapi, kemenangan militernya itu hanya bersifat sementara. Walaupun ibu kota Yogya jatuh ke tangan Belanda, serta berhasil menawan Soekarno-Hatta dengan sejumlah menteri, nyatanya Republik tidak pernah bubar. Suatu titik balik yang tak terduga oleh Belanda datang secara hampir serentak dari dua jurusan. Pertama, dari Yogya dan kedua dari Bukittinggi di Sumatera. Beberapa jam sebelum kejatuhan Yogya, sebuah sidang darurat kabinet berhasil mengambil keputusan historis yang amat penting: Presiden dan Wakil Presiden membe-rikan mandat Mr Sjafruddin Prawira-negara untuk membentuk Pemerintah-an Darurat RI di Sumatera.

Jika ikhtiar ini gagal, mandat diserahkan kepada Dr. Soedarsono, Mr Maramis dan Palar untuk membentuk exilegovernment di New Delhi, India. Surat mandat tersebut kabarnya tidak sempat “dikawatkan” karena hubungan telekomunikasi keburu jatuh ke tangan Belanda. Namun, naskah-nya dalam bentuk ketikan sempat beredar di kalangan orang Republieken.  Kedua, sewaktu mengetahui via radio bahwa Yogya diserang, Mr Sjafruddin Prawiranegara waktu itu Menteri Kemakmuran yang sedang bertugas di Sumatera, segera mengumumkan berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.

Tindakannya itu mulanya bukan berdasarkan pada mandat yang dikirimkan Yogya, melainkan atas inisiatif spontan, Sjafruddin dengan pemimpin setempat, PDRI pada gilirannya dapat berperan sebagai pemerintah alternatif bagi Republik yang tengah menghadapi koma. Sidoarjo pun menghadapi kondisi serupa. Namun, sebagaimana mereka yang jauh dari sentrum kekuasaan, di sini cuma bisa menunggu perkembangan. Perang tentu saja terjadi, yang mengubur darah segar para pribumi yang tibatiba jadi pejuang perbaik untuk bangsanya.

Pasca penyerahan kembali kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia, R. Soeriadi Kertosoeprojo menjabat sebagai Bupati. Entah mengapa, pada periode ini muncul ‘pemberontakan daerah’ yang dilakukan oleh bekas kepala desa Tromposari, Kecamatan Jabon, Imam Sidjono alias Malik.

Dia memobilisasi dukungan dengan mengajak lurah-lurah untuk menggulingkan bupati. Dengan senjata bekas kepunyaan KNIL, gerombolan ini berhasil menguasai Gempol, Bangil, hingga Pandaan. Mereka juga gigih mengadakan infiltrasi ke seluruh sudut kabupaten. Sekitar pertengahan Mei 1951, perlawanan Malik sedikit demi sedikit berhasil diredam setelah ia tertangkap di Bangil. Operasi kontinyu dari aparat, akhirnya berhasil menangkap para pengikut Malik hingga keamanan berangsur kondusif lagi.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: 
JEJAK SIDOARJO dari Jenggala ke Suriname, Ikatan Alumni Pamong Praja Sidoarjo, Maret 2006, hlm.

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Sejarah, Sidoarjo, Th. 2006 dan tag , , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar