Garap Gerak Sabet dan Iringan, Wayang Jombangan


Garap sabet (gerakan wayang) yang disajikan pada pakeliran wayang kulit di Jombang, secara keseluruhan berpijak pada konsep yang memiliki konstruksi gerak pakeliran tradisi Gaya Jawa Tengah (kulonan) dan Gaya Cek-Dong (etanan).

Konsep garap tersebut adalah Tanceban (gerakan wayang sewaktu berhenti atau ditancapkan pada pohon pisang “gedebog” dan gerak wayang ketika dicabut dari tancapan), Cepengan (teknik memegang wayang), perang (gerak wayang berkelahi), dan lain sebagainya. Demikian pula dengan istilah maupun gerak wayangnya masing-masing gaya sangat berbeda, seperti Gaya Kulonan memiliki sabet dugangan (untuk wayang jangkah/gagahan), gendiran (wayang alusan/bambangan), perang gagal, prapatan, jeblosan, perang kembang dan brubuhan.

Sedangkan Gaya Etanan memiliki sabet beksan jejer (dua macam), ajar kayon, perang gagal buta, cekotan, tladhungan (khusus Gatotkaca), perang prajuritan (khusus wayang bambangan), pencakan (khusus tokoh Bima dan sejenisnya), ngrangsang dan jaguran. Berbeda halnya dengan Ki Heru yang menampilkan sajian sabet dengan kombinasi gerak dua gaya tersebut ditambah lagi dengan apresiasi gerak wayang dengan media tiga (3) dimensi serta pemanfaatan efek yang ditimbulkan oleh blencong (lampu), kurang dan lebihnya saksikan pertunjukannya.

Berbicara mengenai pakeliran wayang kulit beserta garap lakon, sabet, antawacana dan iringan, tidak luput dari penggarapan iringan pakeliran, yang pada dasarnya menggunakan instrumen gamelan laras (nada) slendro maupun pelog. Sedangkan universal materi iringan berwujud sulukan, dhodhogan, keprak/kepyak dan gending yang digarap sesuai dengan kebutuhan suasana pada setiap adegan.

seperti yang sudah disebut di atas mengenai perbedaan struktur gending pakeliran dua gaya tersebut. Sajian iringan pakeliran dilakukan oleh dalang, pengrawit. sinden dan wirasuara yang dilakukan secara bergantian. Hal ini dilakukan dalam rangka memenuhi penguasaan teknis pakeliran dan menambah bobot pada setiap adegan yang disajikan. Kemudian dalam pembagian pathet untuk Gaya Jawa Tengah, yaitu pathet nem, pathet sanga, pathet manyura. Sedangkan pembagian pathet pada Gaya Cek-Dong dimulai dari pathet sepuluh, pathet wolu, pathet sanga dan pathet serang.

Perbedaan gaya di Jombang tersebut mengilhami dalang asal Kecamatan Bareng (Ki Heru) untuk menyatukan garap iringan dua gaya menjadi satu penggarapan dalam sajiannya. Contoh; seperti yang dilakukannya dalam menggarap iringan ayak pathet sepuluh digunakan pada adegan pakelirannya, padahal penggunaan pathet sepuluh yang ada di dalam Gaya Cek-Dong pada umumnya, difungsikan dan digunakan sebelum pertunjukan wayang dimulai. Termasuk suluk (nyayian/vokal dalang) berbeda lagu dengan model atau Gaya Jawa Tengah maupun Gaya Jawa Timuran.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Heru Cahyono,  Wayang Jombangan: Penelusuran Awal Wayang Kulit Gaya Jombangan. Jombang, Pemerintah Kabupaten Jombang KANTOR PARBUPORA, 2008. hlm. 17-21.

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Jombang, Kesenian, Seni Budaya dan tag , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar