Reog Panaraga: Versi Wijaya – Kilisuci


Riwayat Terjadinya Reog Panaraga:  Versi Wijaya Kilisuci

Raja Wengker (Panaraga), Pangeran Wijaya, sangat sakti. Ia pandai menghilang. Ia pun belum beristeri. Konon menurut kata orang, bukan karena tiada wanita yang cocok di hatinya, melainkan karena mempu­nyai cita-cita yang ingin dicapainya dengan ulah laku. Karena kerasnya ia melakukan tapa, maka tak seorang pun kawulanya berani menghadap, kalau tidak dipanggil. Kerajaan menjadi angker. Itulah sebabnya negaranya dinamakan Wengker.

Setengah orang lain mengatakan, bukan karena tiada wanita, me­lainkan disebabkan karena kegemarannya ber-“gendhak”, yaitu kawin dengan sesama lelaki. (Istilah setempat “gemblak” = homoseksualitas). Tingkah laku demikian lambat laun ditiru oleh kawulanya. Entah ditiru ataukah diperintahkan, tetapi kenyataan menunjukkan, bahwa di daerah

Wengker berlaku tata kehidupan “kawin gendhak” atau “kawin gemblak”. Dengan demikian akhirnya negeri mengalami kekurangan penduduk, karena angka kelahiran sangat merosot.

Pada suatu ketika, Wengker diperangi oleh kerajaan Kahuripan. Karena kekurangan tenaga pertahanan, maka Wengker mengalami keka­lahan yang pahit. Mujur Pangeran Wijaya mempunyai kesaktian luar biasa, pandai menghilang, karena itu sulit dapat ditangkap atau dibunuh, bahkan selalu muncul di tempat lain untuk mengadakan perlawanan lagi. Pasukan Kahuripan dengan demikian sempat dibuat kucar-kacir. Namun keamanan Wijaya tetap terancam, karena Raja Kahuripan, Prabu Airlangga, telah bulat tekadnya untuk menumpas Wijaya. Hal ini disadarinya benar-benar. Lambat laun ia menjadi jenuh hidup selalu dibayangi oleh bahaya serangan musuh. Dirasakannya kelemahan pertahanan negaranya, karena kekurang­an prajurit.

Akhirnya dilakukan perombakan dalam tata kehidupan rakyatnya. “Kawin gemblak” dihapus, dan digantikan dengan tata perkawinan biasa. Wijaya sendiri pun sudah bertekad untuk mengakhiri “masa bujangnya”, dan akan mencari calon isterinya. Tetapi karena dorongan ambisinya akan kekuasaan, maka dipilihnya calon permaisurinya puteri mahkota keraja­an Kahuripan, Dewi Kilisuci, puteri Prabu Airlangga. Maka dipanggilnya Patih Jayawinanga menghadap untuk diserahi tugas menyampaikan surat lamaran kepada Raja Kahuripan.

Jayawinanga adalah seorang perwira yang sangat sakti dan gagah berani. Kesaktiannya telah dibuktikan dalam menghadapi musuh dari Kahuripan. Ia menjadi patih kerajaan Wengker dengan pangkat Bujangga Anom. Tetapi kesaktian itu sendiri tidak akan menolong kehancuran kerajaan Wengker, kalau angkatan perang sebagai tulang punggungnya semakin menyusut kekuatannya. Karena itu Jayawinanga diutus ke Bali lebih dulu minta bala bantuan. Sesudah itu lalu pergi langsung ke Kahu­ripan menyampaikan surat lamaran, disertai kekuatan bala bantuan dari BaU. Kepada Jayawinanga pun diberikan kekuasaan sepenuhnya mengam­bil tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk mendapatkan Sang Puteri. Jayawinanga lalu minta diri.

Dewi Kilisuci, puteri sulung Prabu Airlangga, puteri mahkota keraja­an Kahuripan yang beribukotakan Kedhiri, mashur karena kecantikan­nya. Tetapi sayang, hingga akhir dewasa tidak berkeinginan untuk kawin. Hal demikian membuat Baginda dan permaisuri sangat prihatin, karena tiap kali harus menolak pinangan dari berbagai pihak.

Syahdan, pada suatu hari datanglah Patih Jayawinanga, mengaku utusan Prabu Kelana Sanaha dari kerajaan Buleleng Bali, menyampaikan surat lamaran untuk meminang Dewi Kilisuci. Tetapi Prabu Airlangga yang arif bijaksana tidak ayal lagi siapa sebenarnya yang dihadapi. Terhadap musuh sakti dan bandel seperti Wijaya dari Wengker dan pengikut-pengikutnya, Baginda Airlangga bersikap hati-hati sekali, dan menyebarkan banyak mata-mata untuk mengawasi segala gerak-geriknya. Karena itu kepergian Jayawinanga ke Bali telah disampaikan pula laporannya melalui telik sandi Baginda yang terpercaya. Kedatangan Patih Jayawinanga dengan membawa pasukan dari Buleleng pun sudah lebih dulu diketahui, dan persiapan-persiapan telah dilakukan untuk menghadapi segala ke­mungkinan, walaupun dari luar nampak tenang-tenang saja seperti ke­adaan biasa.

Sehabis membaca surat lamaran, baginda dalam hati telah menduga-duga apa sebenarnya yang dimaksud oleh musuhnya itu di balik pinangan­nya. Mustahil kalau Wijaya tidak mendengar tentang tekad puterinya, Dewi Kilisuci, yang menolak perkawinan, mengingat sudah banyak lamar­an yang ditolak. Wengker tidak jauh dari Kahuripan.

Satu hal lain yang meragukan iktikad baik Wijaya yalah, bahwa Wijaya sudah tersohor tidak kawin dengan perempuan, melainkan mela­kukan “kawin gemblak”, hal yang sudah menjadi tata adat kehidupan masyarakat di Wengker. Dan kini mendadak sontak berbalik haluan, tiba-tiba ingin memperisteri puterinya. Maksud sebenarnya, demikian pikir Baginda, yalah, bahwa Wijaya menghendaki tahta Kahuripan melalui perkawinan dengan Dewi Kilisuci, yang, karena kedudukannya sebagai puteri mahkota, mempunyai hak waris tahta kerajaan Kahuripan. Dengan demikian, Wijaya akan memenuhi ambisinya tanpa menumpahkan darah. Tetapi sebaliknya, kalau pinangannya ditolak, maka penolakan itu akan dijadikan dasar alasan untuk menggempur jantung kerajaan, yaitu Kedhiri, ibukota Kahuripan. Selama ini peperangan dilakukan jauh dari ibukota Kedhiri, di wilayah kekuasaan Wengker sendiri. Bukan tidak ada maksud­nya mengerahkan bala bantuan dari Buleleng yang sudah siap tempur itu.

“Patih Jayawinanga”, sabda Prabu Airlangga tanpa memperlihat­kan kecurigaannya, “surat gustimu sudah kubaca dan kupahami isinya. Tunggulah sampai besok keputusannya, sementara aku akan membicara­kan dengan kerabat istana dan terutama dengan nini dewi. Kuijinkan kau dan pasukanmu beristirahat di pesanggrahan yang sudah tersedia, dan jadilah tamuku. Segala kepentingan dan keperluan kalian akan dilayani sebaik-sebaiknya.”

Seundur Jayawinanga, Prabu Airlangga mengadakan pembicaraan dengan seisi istana dan para manggala praja tentang sikap dan tindakan apa yang baik dilakukan menghadapi siasat Wijaya dari Wengker itu. Pada akhir pertemuan diputuskan, agar Dewi Kilisuci mengeluarkan pasanggiri sebagai syarat untuk menerima lamaran Wijaya. Yaitu hendaknya dibuatkan sebuah telaga besar di puncak gunung Kamput, yang dikitari oleh sebuah taman sari lengkap dengan pesanggrahannya untuk peris­tirahatan kedua mempelai kelak.

Dengan mengandalkan kesaktiannya, dan mengingat akan wewe­nang yang diberikan Wijaya kepadanya, maka tanpa pikir panjang Jaya­winanga menyanggupi untuk memenuhi pasanggiri tersebut. Segera ia minta diri untuk langsung menuju ke gunung Kamput dengan menggiring pasukan bala bantuan dari Buleleng. Dalam pada itu, ia pun mengutus seorang prajurit kepercayaannya untuk kembali ke Wengker, melapor­kan hasil lamaran dan pasanggiri yang dituntutkan oleh Dewi Kilisuci kepada Prabu Wijaya.

Syahdan, rajaputera Kahuripan, Pangeran Kelana Sewandana, ketika sedang berkelana di hutan, melihat barisan pasukan asing lewat, lengkap dengan senjata perang. Segera ia menyingkir bersembunyi di balik rerungkudan. Ia menjadi curiga, karena pasukan asing tersebut datang dari arah ibukota Kahuripan. Hatinya menjadi kuatir. Ia pun segera menyimpang jalan, meninggalkan persembunyiannya, langsung kembali ke ibukota. Segera ia menghadap ayahanda. Baginda pun menguraikan hal ihwal kunjungan Patih Jayawinanga. Kecurigaan Baginda sejak awal ternyata dibenarkan dengan masuknya laporan, bahwa Patih Jayawinanga mengi­rim utusan ke Wengker untuk menyampaikan berita kepada Prabu Wi­jaya. Tentang pasanggiri Dewi Kilisuci disampaikan oleh Baginda, bahwa hal itu hanyalah suatu tipu daya untuk menghindarkan pertumpahan darah di ibukota, dan segalanya sudah dipersiapkan untuk kemungkinan-kemungkinan yang mendatang.

Setelah menerima keterangan dari Baginda, maka Kelana Sewan­dana pun minta ijin untuk membawa pasukan khusus buat mengejar utusan Jayawinanga, dengan harapan akan menemukan tempat persem­bunyian Wijaya. Ia ingin menyergapnya, hidup atau mati.

Pangeran Wijaya menanti-nanti kabar dari Patih Jayawinanga di salah satu tempat persembunyiannya, seraya menghimpun kekuatan ang­katan perangnya kembali, yang sudah bcrccrai-berai dan banyak berku­rang karena serbuan dan serangan pasukan Kahuripan yang terus-menerus. Namun semangat Wijaya masih tetap menyala-nyala, tak luntur sedikit pun oleh kegawatan kedudukannya.

Akhirnya yang lama ditunggu tiba, berita dari Jayawinanga yang dibawa oleh utusan. Mendengar laporan Jayawinanga, Pangeran Wijaya malah menjadi murka.

“Tak sadarkah Jayawinanga, bahwa ia telah masuk perangkap orang Kahuripan? Di mana ada orang membuat telaga dan taman pesang­grahan di puncak gunung, kalau tidak untuk mengubur dirinya? Jaya­winanga ingin mampus rupanya”

Dan Pangeran Wijaya pun memerintahkan pasukannya untuk ber­siap berangkat menyerang Kahuripan, dengan perhitungan bahwa per­hatian Kahuripan akan ditujukan kepada Jayawinanga dan bala bantuan­nya dari Buleleng, dengan demikian tidak siap akan menghadapi serangan Wijaya. Tetapi perhitungannya ternyata meleset. Belum lagi jauh ia dengan pasukannya meninggalkan persembunyiannya, sekonyong-konyong pasukan Kahuripan di bawah pimpinan Kelana Sewandana datang menyer­gapnya dari berbagai penjuru. Wijaya dan pasukannya terkepung rapat-rapat. Pertempuran tidak dapat dielakkan, tetapi kedudukan lawan jauh lebih menguntungkan, sedang ia sendiri terjepit. Prajuritnya sudah banyak tewas. Ia nekad. Hanya kesaktiannya yang diandalkannya. Dengan se­mangat yang tinggi ia menerjang barisan lawan yang mengepungnya, yang sudah merupakan pagar betis berlapis-lapis. Dalam amuknya masih sempat ia menewaskan banyak prajurit Kahuripan, tetapi akhirnya ia harus menga­kui keunggulan lawan. Wijaya menerima nasibnya. Ia gugur dengan tubuh­nya penuh ditembusi tombak Kahuripan.

Kelana Sewandana sempat menyaksikan mayat musuhnya sesaat, ketika terjadi suatu keajaiban. Mayat itu tiba-tiba lenyap tak tentu rim­banya, tetapi pada saat itu pula terdengar suara mengancam, suara Wijaya: “Heh, orang-orang Kahuripan! Baiklah kuterima kekalahanku se­karang, tetapi tunggulah pembalasanku nanti!”

Patih Jayawinanga berhasil memenuhi janjinya. Telaga besar di puncak gunung Kamput sudah siap, lengkap dengan tamansari dan pe­sanggrahannya yang indah laksana di sorga layaknya. Utusan dikirim ke Kedhiri untuk memberitahukan kepada Baginda Airlangga dan Dewi Kilisuci. Utusan berangkat, dan kemudian kembali membawa berita, bahwa perarakan besar Dewi Kilisuci sedang menyusul. Sang Puteri ingin melihat sendiri keadaan telaga, pesanggrahan dan tamansarinya. Patih Jayawinanga diminta menunggu di puncak gunung Kamput.

Perarakan besar yang mengiring Dewi Kilisuci ke gunung Kamput, sudah meninggalkan kota Kedhiri. Paling depan pasukan perintis jalan, disusul oleh barisan pemukul gamelan, bertalu-talu bunyinya. Lalu barisan wadyabala Kahuripan lengkap dengan senjatanya. Menyusul usung-usungan jempana, satu ditumpangi oleh Sang Puteri Dewi Kilisuci, lainnya oleh para inang pengasuh. Kanan dan kiri diapit oleh beberapa perwira menunggang kuda sebagai pengawal. Di belakangnya pasukan wadyabala bersenjata lagi, yang merupakan ekor barisan yang panjang. Sepanjang jalan dielu-elu oleh penduduk.

Tak diceritakan selama perjalanan perarakan itu, hanya kedatangan­nya di puncak gunung Kamput diperhitungkan menjelang senjakala. Sebentar kemudian hari pun gelap. Pemandangan di puncak gunung Kamput berubah menjadi seperti hutan terbakar layaknya, karena nyala ratusan obor yang menerangi sekitar.

Jempana Dewi Kilisuci diusung mendekati tepian kawah, konon atas permintaan Sang Puteri, yang ingin melihat lebih jelas keadaan telaga berikut taman dan pesanggrahannya. Tetapi tiba-tiba jempana oleng. jSang Puteri yang sedang melongok ke bawah kehilangan keseimbangannya, lalu jatuh terluncur ke kawah yang dalam serta curam itu. Teriak dan jerit para inang melengking, dan seketika keadaan menjadi hiruk-pikuk dan kacau-balau. “Sang Puteri jatuh! Sang Puteri jatuh! Tercebur ke kawah, tolong, tolong!”

Patih Jayawinanga, yang merasa bertanggung jawab atas keselamatan calon permaisuri rajanya, segera bertindak. Tanpa pikir panjang ia terjun ke kawah untuk menolong Sang Puteri. Tetapi alangkah terkejutnya, keti­ka hampir bersamaan waktunya batu-batu besar berjatuhan dari atas, menghimpit dan menimpanya, bertubi-tubi, dibarengi dengan sorak-sorai orang-orang yang berada di tepi kawah di atas. Jayawinanga menjadi sadar, bahwa ia terjerumus dalam perangkap tipu muslihat orang-orang Kahuripan. Batu dan tanah semakin tinggi menimbuni kawah, sehingga akhirnya menutup rata sama sekali. Jayawinanga mati terkubur dalam ka­wah gunung Kamput bersama boneka Dewi Kilisuci yang dicipta oleh orang Kahuripan sebagai umpannya.

Ya, Jayawinanga sudah mati… jasadnya. Tetapi sukmanya, konon menurut kepercayaan penduduk, masih berkuasa. Meletusnya gunung Kamput dengan memuntahkan batu dan lahar panas adalah ulah Jaya? winanga untuk membalaskan dendamnya kepada penduduk Kahuripan dan Kedhiri, yang dianggap telah mengkhianatinya. Banyak korban yang jatuh.

Sukma Jayawinanga sanggup menembus bumi, merayang ke mana mana, dan dapat bertemu pula dengan sukma rajanya, Wijaya. Keduamenjelma menjadi siluman, kadang-kadang menampakkan diri: Wijaya menjadi mahluk berkepala harimau besar, berkudung bulu merak, untuk menyatakan betapa gandrungnya ia kepada Dewi Kilisuci, puteri cantik yang digambarkannya sebagai burung merak yang indah warnanya, yang selalu disunggi-sunggi di atas kepalanya. Dan suatu perujudan barongan demikian itu suka menghadang orang yang sedang pergi melamar calon isterinya. Dan barongan itu ikut dalam perarakan sambil menari-nari.

Dan Jayawinanga, sang Bujangga Anom, menjelma menjadi Bujang Ganong, yang bermuka merah, dengan sepasang matanya yang melotot, hidung panjang dan besar, misai tebal, dan rambutnya yang gimbal. Dialah gendruwon yang selalu mendampingi sang Singabarong, menghilang ber­sama, muncul bersama.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Reog  di Jawa Timur. Jakarta:  Proyek Sassana Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978/1979. hlm. 55-61

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Kesenian, Legenda, Ponorogo, Seni Budaya, Th. 1978 dan tag , , , , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar