Gitar Listrik, Sidoarjo


Multi Talenta demi Raungan Nada
TATKALA MEMAINKAN GITAR LISTRIK DIANGGAP BANAL, MEMBUAT GITAR LISTRIK ADALAH GENIAL
Pada tahun 1963, Juffendi Atmowidjojo acap tampil di RRI Malang. Saat itu dia  masih duduk di bangku SMP. Namun, “Saya sudah punya gitar listrik luar negeri. Gitar-gitar itu saya preteli supaya bisa saya pelajari,” ungkapnya. Dengan eksperimen-eksperimen otodidak itulah, lelaki berpenampilan kalem ini kian mengerti kelemahan dan kelebihan bermacam seri gitar.

Mossaik kemudian tertarik untuk mengorek hobi membuat gitar elektrik dari pria yang mengaku memperluas wawasannya dengan buku ini. Melalui rekan-rekan korespondensinya di luar negeri, dia memperoleh buku-buku itu. Level Juffen, demikian sapaan akrabnya, bukan lagi pada buku “bagaimana bermain gitar”, tapi sudah “bagaimana membuat gitar”. Atau setidaknya resensi tentang produk-produk gitar listrik terbaru saat itu.

Melalui buku-buku tersebut, misalnya, Juffen jadi tahu bagaimana meletakkan thrust rod (besi penyangga leher gitar) yang baik. Bahkan dia juga melakukan beberapa improvisasi dengan menerapkan double thrust rods pada bas lima senar di saat pembuat gitar listrik lainnya masih menggunakan single.

Bapak dua anak ini mengonsep, merakit komponen, mengecat, hingga menghias gitar-gitarnyasendiri. “Mungkin lantaran gitar buatan saya dinilai bagus, maka order dari Bali, Malang, dan daerah lain mengalir. Waktu itu gitar listrik lagi booming,” tambahnya. Beberapa band rock jaman itu, seperti Power Metal, Red Spider hingga beberapa grup sekarang, seperti Master Q Padi, Dewa, tak cuma sekali memesan gitarnya. Band-band tak seberapa tenar yang menggunakan gitar buatannya jumlahnya jauh lebih banyak. Malahan kliennya juga datang dari Sumatera dan Kalimantan. Jangan heran mendengarnya, karena kala itu upaya Juffen juga tidak main-main. Salah seorang anaknya telah membuatkan website, hingga informasi tentang gitar buatannya lebih mengglobal. Sayang, setelah sang ananda punya kesibukan sendiri, website itu terbengkelai. Jadilah pesanan lesu secara kuantitas. Kondisi ini diperparah oleh persaingan. Sekarang, yang bermain dalam pembuatan gitar bukan saja dari Amerika dan Jepang. Produsen cina plus pemain-pemain lokal pun turut berebut kue di bisnis ini.

Padahal soal harga, sebenarnya produk Juffen tak tergolong mahal. Gitar kosongan (tanpa pick up, string atau tremolo) dipatoknya di kisaran Rp 750 ribu. Lain lagi kalau desainnya terlalu susah. Baru-baru ini ada klien dari Sumatera yang memesan desain tertentu, dan hasil akhirnya dihargai lima juta rupiah. Jangan lupa, jenis kayu juga berpengaruh. “Kita memakai Mapple keras dari Kanada. Finger board-nya memakai Sono Keling, Agatis, Sawung, Mahoni, atau Mapple sekalian,” paparnya. Untuk kualitas resonansi, Juffen memilih kayu Agatis. Namun buat sustain (masa getar), Mahoni dirasa lebih baik.

Satu hal yang paling sensitif dalarn pembuatan gitar listrik yaitu peletakan fret-fret (beberapa besi atau kuningan pembatas yang melintang di finger board). Dipasang melenceng satu rnilirneter saja, nada yang dihasilkan akan aneh. Sebenarnya kita dapat berimprovisasi membuat skala sendiri. Namun harus hati-hati dan konsisten. “Gibson umpamanya, merk itu menggunakan skala 24,75 inch. Sedangkan Fender biasa memakai 25,5 inch,” Juffen menerangkan. Jika pembuat gitar tidak jeli memperhatikan scalingnya, pada fret ke-12 nadanya bisa fals. Karena itu, perlu ketelatenan untuk bolak-balik mengetesnya dengan tuner.

Pria yang gemar menggambar, melukis, elektronik dan bermain gitar ini dulunya malah merakit pick up (spool)-nya sendiri. Berhubung tak puas dengan hasilnya, saat ini dia mengandalkan komponen built-up dari Jepang dan Amerika.

Juffen nyaris menjalin kerja sama dengan pengusaha Korea yang siap menyediakan part-part elektronik tersebut. Narnun batal lantaran kondisi politik Indonesia meragukan, dan diperparah dengan sistem perijinan yang njelimet. Padahal, “Mereka sudah datang kemari dan menganggap produk saya bagus. Saya juga sudah menyiapkan surat-suratnya beserla NPWP,” ungkapnya.

Apa yang membuat pengusaha Korea itu kepincut merk Guina (singkatan dari Guitar Indonesia)? Jawabnya, kualitas yang terpancar dari ketelatenan pembuatnya. Pengalaman selama 25 tahun sebagai quality insurance di bawah arahan orang asing membuat Juffen terobsesi akan detil. Maka tak aneh bila bengkel Juffen tidak berproduksi massal. Dia memilih menggarap pesanan secara eksklusif, sehingga dapat memenuhi selera unik kliennya. Sebab semua ini dipandangnya lebih sebagai hobi ketimbang bisnis. Juffen tak jarang menyuruh calon kliennya membeli gitar di toko saja bila desain yang diorder mirip gitar yang beredar di luar.

Inilah salah satu penyebab turunnya grafik pemesanan. Sekarang banyak orang membeli barang yang terjangkau, meski dengan mutu biasa-biasa saja. Karena dasarnya mereka mudah bosan. Juffen mencontohkan orang yang setiap dua-tiga tahun mengganti motornya. Kecenderungan konsumsi gitar listrik tak jauh dari pola itu.

Pembuat gitar yang ironisnya tak memiliki satu pun gitar ini menggolongkan konsumen menjadi dua: musikus biasa dan artis. Dalam kamus Juffen, tingkatan artis lebih tinggi, seleranya mustahil terpuaskan sekedar oleh bunyi dentuman, melodi atau raungan elektrik. “Mereka tidak bermusik hanya untuk menghibur, melainkan juga mengobati kerinduan,” laki-laki yang biasa merampungkan satu pesanan dalam enam pekan ini berfilosofi.

Artislah yang kebanyakan memesan Guina. Padahal orang yang masuk “kasta” ini jumlahnya jauh lebih sedikit daripada musikus biasa. Kualitas, konsep yang selama ini diandalkan Juffen, pun tidak bisa lagi dipakai Untuk memenangkan pasar.

Tapi pencapaian Juffen telah melebihi harapannya. Masih hangat dalam ingatannya, pertama berkreasi dulu dia hanya berbekal gergaji, tatah, kertas gosok, kikir dan perkakas sederhana lainnya, sendirian pula. Baru pada dekade 1980-1990, ketika angka pesanan mulai melambung, dia merekrut beberapa pegawai. Saat bisnis mulai lesu ia terpaksa bekerja sendiri lagi. Bedanya, Juffen kini sudah mampu membeli mesin, sehingga empat sampai lima gitar digarap sendirian pun bukan masalah.

Banyak aspek yang menjadi perhatian Juffen ketika dia mulai mengonsep gitar. Postur calon pemakai, satu di antaranya. “Pemilik jari pendek saya sarankan memakai gitar berleher lebih kecil, dan skala lebih pendek,” tutumya. Jemari orang Asia umumnya lebih pendek ketimbang ras lainnya. Namun itu sama sekali bukan kelemahan. “Waktu Van Halen rekaman, ada lagu-lagu tertentu yang memakai minigitar. Supaya gerakan tangannya cepat,” terang lelaki yang menggarap gitar-gitarnya di Kota Sidoarjo ini.

Namun variasi ukuran pada gitar elektrik rasanya tak sebanyak akustik. Dulu Juffen juga menggarap gitar akustik. Butuh banyak cetakan. Menilai rumahnya terlalu kedl untuk semua itu, dia lalu memilih total ke gitar listrik yang dianggapnya lebih menantang, lantaran tingkat kesulitannya tinggi. Kebetulan, harga gitar elektrik buatannya lebih menjulang.

AKUSTIK
Di bengkel milik Fajar Kurnia Dharmawan, berlaku sebaliknya. Gitar listrik di sini dijuallebih murah dibandingkan gitar akustik. Satu gitar listrik lengkap, paling murah dipatok dua juta rupiah, sementara gitar akustik justru dilepas minimal seharga empatjuta rupiah. Pasalnya, pria yang akrab dipanggil Onny ini hanya membuat gitar akustik yang berkelas menengah atas. Tapi kalau ditanyai soal gitar listrik, Onny tak bisa menyembunyikan antusiasmenya.

Lelaki yang bengkelnya berlokasi di Kota Batu ini belajar segalanya melalui internet. Kebanyakan lewat katalog-katalog gitar yang bertebaran di dunia maya tersebut. Dari sekian situs atau milis di sana, katanya, “Ada juga situs dari factory gitar yang apen source. Saya banyak menimba ilmu dari sana.” Hingga kini, dia mengklaim telah memiliki koleksi katalog dari hampir semua pabrikan gitar di dunia. Lantas pada tahun 1990-1999, Onny mulai bereksperimen. Lucunya, di rentang try and error itu dia sudah berani menerima orderan. Bagaimana bila banyak keluhan? Tidak masalah. Toh nantinya itu juga menjadi ilmu untuk menyempumakan produk dan jasanya.

Kini, bengkelnya yang memperkerjakan tiga pegawai itu kerap mendapat orderan dari Jakarta, Bandung, Solo, Semarang, bahkan Belanda dan Kanada. Dia juga punya agen, walau mereka kadang nakal. Gitar yang dirakit tanpa merk sering mereka tempeli merk-merk besar. “Saya memang menerima kalau klien bermaksud meniru produk-produk terkenal kayak Gibson, Fender maupun Ibanez. Meniru modelnya kan boleh saja, tapi kalau sekalian merknya, itu narnanya membajak. Saya nggak mau,” tegasnya.

Dosen Multimedia ini juga mempublikasikan usahanya, melalui website, meski hanya menumpang. Sambil menunggu pesanan, Onny berusaha aktif dalam forum-forum internasional bertema “building guitars” di ranah internet agar tidak pernah ketinggalan. Kebiasaan ini pula yang menyebabkan bengkelnya tak pernah sepi order. Hingga suatu hari dia bertemu dengan fotografer media intemasional sekaligus pengusaha eksporimpor meubel dari Belanda. Konon bule itu juga memiliki bengkel gitar di Vietnam. “Tapi dia bilang produk saya lebih menarik,” ungkap penggemar rock, metal, fussion, progresif, neoclassical dan jazz ini. Onny menjalankan bisnis hobinya sedikit lebih agresif dibanding Juffen, tampaknya.

Masing-masing penghobi memang memiliki gaya berhobi dan kebijakannya sendiri. Yang pasti, takkan ada yang menyangkal, mereka ini adalah orang-orang yang genius dan kreatif. Karena pada dasamya hobi membuat gitar menuntut beberapa kecakapan sekaligus, antara lain pertukangan, naluri desain, dan kemampuan bermusik. Termasuk keahlian berbisnis bila ingin meneruskannya sebagai lahan penghasil uang.

 
Meraba Mutu Gitar Elektrik
Anda yang berencana membuat atau sekedar membeli gitar listrik, tak ada salahnya membaca tips dasar dari Fajar Kurnia Dharmawan ini. Pertama yang perlu dilakukan adalah memastikan lehernya benar-benar lurus dan bag ian tepinya halus. Lalu dengarkan baik-baik sustain-nya, jika setelah dipetik bunyinya tidak bertahan lama, bisa dipastikan ada yang salah. Raba juga sepanjang stringnya, sebaiknya terasa smooth. Seberapa ringan gitar itu juga menjadi pertimbangan tersendiri. Gitar yang baik tidak berat, meskipun juga tak terlalu ringan. Suara dari spool juga harus tebal. Atau kalau dalam analog ponsel, suara ringtone poliponik lebih tebal daripada yang monoponik.
brahmanto a/foto: an kusnanto

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Mossaik, januari 2006, hal. 114

 

 

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Kesenian, Sentra, Sidoarjo dan tag , , , , . Tandai permalink.

4 Balasan ke Gitar Listrik, Sidoarjo

  1. couhaf berkata:

    berapa sih ukuran standar gitar listrik..?

  2. benny berkata:

    dimana alamat pengerajin gitar ini ya?

Tinggalkan komentar