Prasasti Anjuk Ladang


OLYMPUS DIGITAL CAMERAPrasasti Anjuk Ladang berbentuk batu (Linggo Pala), sebenarnya bernama Prasasti candi Lor. Diberi nama demikian karena Prasasti tersebut diketemukan disebuah Situs bernama Candi Lor, terletak didesa Candirejo kurang lebih empat kilometer disebelah selatan kota Nganjuk, tetapi sebelah barat jalan raya yang menghubungkan Nganjuk – Kediri. Nama prasasti Anjuk Ladang dipakai karena dalam prasasti itu disebut toponimi (nama tempat) Anjuk Ladang yang dianggap sebagai asal-usul nama Nganjuk sekarang.

Laporan pertama tentang reruntuhan Candi Lor yang oleh masyarakat setempat disebut dengan nama Candi – Batu (Karena dibuat dari bahan batu-bata) dilakukan pada masa kekuasaan Letnan Gubernur Thomas Stanford Rattles (berkuasa pada tahun 181′ 1816 M). Untuk kepentingan penyelamatan dan penelitian prasasti Anjuk ladang kemudian dipindahkan tempatnya kehalaman kediaman Residen Kediri. Karena dianggap mempunyai nilai yang sangat penting akhirnya prasasti ini diangkat dan disimpan di Museum Pusat Jakarta, sebagai koleksi benda purbakala dan diberi kode D. 59. Guritan aksara yang dipergunakan pada prasasti Anjuk Ladang adalah abjad Jawa Kuno dan mempergunakan bahasa Jawa Juno Pula. Karena selama ditempat aslinya kurang terpelihara, maka sebagian tulisan prasasti mengalami kerusakan termasuk tulisan angka tahun prasasti ABKLATSCH yang dibuat untuk memudahkan pembacaan prasasti juga kurang memberikan hasil yang memuaskan.

OLYMPUS DIGITAL CAMERATranskripsi (alih abjad) prasasti Anjuk Ladang dibuat oleh J.L.A. Brandes (tahun 1887 ?) dan dimuat dalam buku Oud Javansche Oorkonden (Kumpulan prasasti berbahasa Jawa Kuno) yang diterbitkan oleh N.J. Krom pada Tahun 1913. Sedangkan transliterasi (alih bahasa, terjemahan) secara lengkap sampai sekarang belum pernah dilakukan. Para ahli yang meneliti prasasti Anjuk Ladang umumnya hanya membahas bagian-bagian tertentu, atau membicarakan garis besar isinya saja. Prasasti ini memuat tulisan pada bagian depan (Recto) sebanyak 49 baris dan bagian belakang (Verso) sebanyak 14 baris. Walaupun keadaan (tulisan) prasasti Anjuk Ladang sebagian rusak, tetapi dengan membandingkan prasasti tersebut dengan prasasti-prasasti Sri Maharaja mpu Sindok yang lain (jumlahnya kurang lebih tiga puluh buah), prasasti Anjuk Ladang dapat direkonstruksi dan sebagian besar isinya dapat diketahui.

Skema struktur prasasti Anjuk Ladang secara garis besar adalah sebagai berikut :

(1)  Kalendriks, unsur penanggalan.

(2) Raja yang memerintahkan pembuatan prasasti yaitu Sri Maharaja mpu Sindok Isana Wikrama Dharmmotunggadewa. Birokrasi, Sistem dan Struktur pejabat pemerintahan terutama pejabat yang dilibatkan dalam pembuatan prasasti mulai dari pejabat tinggi atau pejabat Pemerintah Pusat, pejabat menengah sampai pejabat tingkat rendah yaitu pejabat perangkat desa.

(3) Sambandha  Alasan (latar belakang) pembuatan prasasti.

(4) Mangilala dwryahaji

Yaitu pejabat-pejabat pemungut (penarik) pajak yang sejak ‘dikeluarkannya prasasti tidak lagi diperkenankan memasuki desa yang telah dijadikan desa suci (sakral) atau desa Otonom (perdikan) bebas pajak dan disebut Sima Swatantra. Pejabat pemungut pajak tersebut jumlahnya cukup banyak dalam prasasti Anjuk Ladang disebutkan lebih dari enampuluh pejabat, diantaranya yang terkenal adalah : pangkur, tawan, tirip.

(5)  Pasak-Pasak

Yaitu hadiah atau persembahan yang disampaikan oleh sekelompok orang yang memperoleh anugerah dari Sang Maharaja (dalam hubungannya dengan pemberian perdikan atau status otonom, bebas pajak Desa Anjuk Ladang) kepada pejabat-pejabat pemerintahan yang hadir dalam upacara. Dalam prasasti Anjuk Ladang. jumlah pejabat penerima pasak ada 43 Orang. Pasak-Pasak itu berwujud Emas dalam berbagai ukOran/ satuan dan pakaian. Besar kecilnya pasak-pasak disesuaikan dengan tinggi rendahnya pejabat yang menerima.

(6)   Upacara ritual

Yaitu upacara penetapan Anjuk ladang sebagai desa perdikan Sima Swatantra yang dilakukan dengan melaksanakan seperangkat upacara suci (ritual) upacara ini melibatkan sejumlah petugas, alat-alat, dan barang-barang sesaji. Upacara tersebut disebut manasuk sima. Benda-benda sesaji dan alat- alat yang dipergunakan antara lain : Telur, Ayam, Kepala Kerbau, Alat-alat dapur, Kalumpang, dll. Sedang petugas upacara disebut madukur.

(7)  Sapatha atau kutukan.

Sebagai upacara penutup adalah kutukan dan sumpah serapah bagi siapa saja yang melanggar dan tidak mematuhi isi prasasti, serta Do’a keselamatan dan kesejahteraan bagi yang mematuhinya. Kutukan itu diungkapkan dalam berbagai pernyataan yang menyeramkan dan mengerikan. Misalnya : Semoga dikoyak-koyak badannya oleh para dewa, dicaplok harimau bila masuk hutan, dimakan buaya bila mandi di sungai, disambar petir bila hujan, dipathuk ular berbisa. disiksa dewa maut, dimasukkan dalam bejana penyiksaan (tamragomukha) dineraka nanti bila sudah mati.

Seperti halnya prasasti Hering, angka tahun yang dipahatkan sudah aus, dan angka yang masih cukup jelas menunjukkan angka 8 diikuti dua angka yang sudah kabur. Brandes membacanya 8 (5) 7 Saka (Brandes, 1913 : 84). Dikemudian hari bacaan itu diragukan ketepatannya oleh L.C. Damais, dan menurut penelitiannya, angka tersebut haruslah dibaea 859 Saka. (Damais, 1952 : 60 ; 1955 : 156 – 158).

Perbedaan hasil bacaan angka satuan oleh keduanya, antara lain disebabkan hasil cetakan (abklatsch) yang tidak jelas, demikian pula hasil foto yang dibuat Van Kinsbergen dengan nomor 212, 212 a-e, tampak kabur. Apalagi angka Jawakuno untuk 7 dan 9 sering ditulis hampir sama bentuknya. Untunglah unsur penanggalan tahunnya selain ditulis dengan angka, juga digubah dengan eandrasengkala (Chronogram) yaitu gambar naga, yang bernilai 8, Cakra dengan satu tangan. bernilai 5, dan gambar siput (Sangka) mengandung nilai 9. Angka 9 itu juga dilambangkan dengan gambar dewa Kuwera. (Damais, 1952 : 60 – 61).

Walaupun unsur penanggalannya sudah aus, ada unsur lain yang dapat membantu pemecahannya, karena prasasti itu memuat nama raja yang mengeluarkannya, yaitu mpu Sindok. Sebagaimana prasasti Sindok di daerah Nganjuk yang lain, maklumatnya ditulis pada bagian muka dan belakang prasasti. Di bagian muka (Recto) terdiri atas 49 baris. antara baris ke-5 sampai baris ke-8 sudah sangat aus, sehingga tidak terbaca lagi. Mulai awal baris ke-2 yang memuat unsur kalendriknya juga tidak terbaca karena keausan hurufnya. Di bagian belakang (Verso) segaris dengan baris 23 berakhir pada baris ke 36, sebagai bagian yang memuat harapan agar yang dituliskan dalam prasasti ini, dipatuhi hingga akhir zaman.

Prasasti Candi Lor ini. juga dikenal dengan nama prasasti Anjuk Ladang. menurut nama desa atau satuan wilayah yang disebutkan berkali-kali, dalam kaitan maksud pengeluaran prasasti tersebut, (Sambandha). Berikut ini kami kutipkan bagian penting yang memuat unsur penanggalannya, raja serta para pejabat tinggi yang mendapat anugerah kedudukan sebagai Swatantra, dengan hak Sima. Menurut bacaan Brandes yang telah dibetulkan oleh Damais, sebagai berikut:

  1. // swasti sakawarsatita 8 — caitramasa tithi dwadasi krsna paksa. ha.–.–.wa
  2. ra . aisyanyastha — – —. satabhisanaaksatra .barunadewata . brahmayoga . kolawakarana irika diwa.
  3. sa ny ajna sri maharaja pu sindok sri isanawikrama dharmmotunggadewa tinadah rakryan mapinghai kalih rakai
  4. hino pu sahasra rakai wka pu baliswara umingsor i rakai kanuruhan pu da kumonakan ikanang lmah sawah kakatikan

5… sususkan …………………………  marpanakan i bhatar i sang hyang prasada kabhaktyan i dharma sangat anjuk ladang pu ki — — (Damais, 1955 : 156 – 157)

6…………………………………………………… sri maharaja i sri jayamrata

……………………………….  sri maharaja bhatara ………………………………  sima

pumpunana

7……………………………………….. pratidina mangkana ………………………………sri maha raja ……………………………………..  rikanang sawah kakatikan

8… n i bhatara i sang hyang i sang hyang prasada kabhaktyan i sri jayamerta mari ta yan lmah sawah kakatika

9. . n iyanjukladang tutugani tanda sambandha ikanang rama iyanjukladang tutugani tanda kanugrahan de sri maharaja …………………………………………………………….. Manglaga                (Brandes, 1913 : 84 – 85)

Dari kutipan sembilan baris tersebut diatas, akan dibahas beberapa data terpenting yang berhubungan dengan nama Nganjuk. serta data penanggalan tertua yang berkenaan dengan asal usul nama Nganjuk, atau sejarah tertua desa Nganjuk yang dalam perjalanan sejarahnya menjadi nama satuan wilayah administratif  kabupaten Nganjuk sekarang.

Dari kutipan sembilan baris tersebut diatas, pertama, dapat diketahui nama raja serta para pejabat tinggi yang diperintah untuk melaksanakan keputusan raja, dalam kaitan maksud dikeluarkannya prasasti itu. Kedua, unsur penanggalan yang dapat dijadikan dasar sebagai bukti serta pendapat yang berhubungan dengan arti prasasti itu bagi sejarah daerah yang kelak menjadi Kabupaten Nganjuk.

1. Prasasti Anjuk Ladang ini, dikeluarkan oleh seorang raja yaitu, Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotunggadewa. Pejabat tinggi kerajaan yang menerima perintah disebutkan Rakai Hino Pu Sahasra dan Rakai Wka Pu baliswara. Perintah itu selanjutnya diteruskan kepada Rakai Kanuruhan Pu Da. Data tersebut juga tercantum dalam prasasti Hering tahun 856 Saka atau 934 masehi, tanpa perbedaan sedikitpun.

Dari data tersebut menunjukkan bahwa ada keistimewaan dari gelar raja Sindok yang dituliskan dalam prasasti yang ditempatkan di daerah Nganjuk, dibandingkan dengan prasasti ditempat lain dari masa yang lebih tua maupun dari zaman yang lebih muda.

Memang gelar Pu Sindok sebagai kepala negara dan kepala wilayah ditulis dengan berbagai sebutan yang tidak sama, sehingga menimbulkan kesan tidak konsisten. Ada kalanya ia disebutkan bersama dengan permaisurinya seperti dalam prasasti Cunggrang II tahun 851 Saka, Prasasti Geweg dari daerah Jombang, tahun 855 Saka, walaupun angka tahunnya mungkin sekali sepuluh tahun lebih tua dari angka tahun yang tertulis di piagamnya. (L.C.Damais, 1952 : 58 – 59). Sebagaian besar prasasti yang dikeluarkannya, mencantumkan gelar jabatan rakai Halu, rakai Hino bahkan rakriyan Mapatih, disamping gelar Sri Maharaja, atau Paduka Sri Maharaja. Demikian pula nama diri sang raja sering ditulis dengan nama yang berbeda kecuali namanya sebagai wamsakarta atau pendiri dinasti, yaitu Sri

Isanawikrama.

2. Unsur penanggalan yang berkaitan dengan prasasti Anjuk Ladang, memang terdapat dua versi yang berbeda, khususnya tentang angka tahun. Dr. Brandes membacanya 857 Saka, Suklapaksa atau paro terang. (Brandes, 1913 : 84). Hasil bacaannya itu kemudian dikoreksi oleh L.C. Damais, bahwa prasasti Anjuk Ladang dikeluarkan pada tahun 859 Saka bertepatan dengan Krsnapaksa. Ia juga berhasil menemukan unsur hari pekan (wara) yaitu (HA) riyang, dalam konteks tanggal 12 bulan Caitra. Dalam hal ini kedua pakar itu tidak berbeda pendapat. kecuali yang menyangkut saat siklus hari edar bulan antara Suklapaksa dan Krsnapaksa. .

Dengan membandingkan seluruh prasasti semasa pemerintahan Pu Sindok yang dikeluarkan pada bulan Caitra Sukla tanggal 1, dan tanggal 12, dalam padanannya dengan tarikh Masehi, dapat disimpulkan sebagai berikut :

Tanggal 1 Sukla bulan Caitra tahun 857 Saka bersamaai» dengan tanggal 8 Maret 935 Masehi. Pada tanggal 12 Krsnapaksa bulan Caitra, bertepatan dengan hari HA KA SU 3 April 935 atau tanggal 4 April WU U SA. Sementara itu tanggal 1 Sukla bulan Caitra tahun 859 Saka, bertepatan dengan tanggal 15 Maret 937 Masehi, sedang tanggal 12 Krsnapaksa bulan Caitra tahun 859 Saka, jatuh pada tanggal 10 April 937 Masehi, dengan hari pekan HA PO SO atau WU WA ANG. Dalam prasasti Anjuk Ladang itu unsur hari pekannya terbaca Ha atau Hari yang dalam pekan Sadwara, atas dasar data itu bersesuaian dengan PO atau Pon pekan Saptawara, serta bertepatan dengan hari SO atau Soma pekan Saptawara. Dengan demikian berdasar- kan data penanggalan yangtercantum pada prasasti Anjuk Ladang yaitu tanggal 12 bulan Caitra dengan hari pekan Hari yang jika tahunnya dibaca 857 Saka menurut Brandes, terdapat ketidak sesuaian antara unsur hari pekannya antara Sadwara, Paneawara. dan Saptawara.

Oleh karena itu dengan menggunakan rumus perhitungan yang disusun oleh L.C. Damais, hari pertama tahun Saka 859, menurut siklus Wuku dengan sistim hari-hari pertama dimulai hari Tu = Tunglai Sadwara, PA = Pahing Pancawara, dan A = Aditya Saptawara, maka hari pertama tahun 937, jatuh pada hari kedua sesuai dengan Ha Sadwara, atau PO Pancawara, atau SO Saptawara. Atas dasar perhitungan tersebut, data penanggalan prasasti Anjuk Ladang tanggal 12 Krsnapaksa Ha bulan Caitra tahun 859 Saka, bersesuaian dengan 10 April 937 Masehi. (Damais 1955 : 156 – 158).

3. Peristiwa apakah yang diungkapkan dalam prasasti Anjuk Ladang dan apakah makna yang terungkap dalam prasasti itu dalam konteks sejarah Nusantara dan sejarah regional Jawa Timur pada awal abad X ?.

Berikut penafsiran yang pernah dikemukakan oleh pakar epigrafi dan sejarah klasik Indonesia, Prof.Dr.J.G. de Casparis, 34 tahun yang lalu.

“…………………… Pada tahun 928 atau 929 atau satu dua tahun

kemudian pasukan dari Melayu ialah daerah Jambi yang patuh kepada Sriwijaya mendarat di Jawa Timur. Pasukan itu sampai dekat Nganjuk, tetapi disana menderita kekalahan oleh laskar Jawa yang dipimpin oleh Pu Sindok. Peristiwa yang penting itu kita ketahui dari sebuah prasasti Sindok yang berangka tahun 937 (?). Prasasti itu mengenai sebatang tugu kemenangan (Jaya stambha) bertempat di Anjuk Ladang, beberapa kilometer sebelah selatan kota Nganjuk yang sekarang. Peristiwa itu dapat menjelaskan dua soal yang sebelumnya tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan. Yang pertama mengenai kedudukan Pu Sindok yang oleh penyelidik lebih dulu dianggap sebagai teka teki. Maklumlah karena nama Sindok sudah kita temui dalam beberapa prasasti sebelumnya pemerintahannya sebagai seorang pegawai tinggi (Rakai Halu dan Rakai Hino), tetapi tidak lazim di Jawa bahwa seorang prabu digantikan oleh menterinya. Akan tetapi pergantian luar biasa memang mungkin dalam keadaan luar biasa. Andaikata kita berpendapat bahwa Sindoklah yang menjadi penyelamat negara selaku panglima perang, maka

dapat dimengerti bahwa tahta kemudian diserahkan kepadanya”

“Soal yang lain yang sekarang dapat dimengerti, ialah sebab perpindahan kraton ke Jawa Timur …. Sekarang ternyata bahwa pemindahan itu dapat kita fahami sepenuhnya. Dalam taraf pertama raja-raja Mataram lama seperti Balitung sampai dengan Wawa, lebih mementingkan Jawa Timur daripada Jawa Tengah. Karena keinsyafan akan pentingnya perniagaan antar pulau. Dalam taraf yang kedua pemimpin pemimpin Jawa menghadapi serangan oleh Sriwijaya, dan memutuskan hanya akan membela bagian kerajaan yang dipentingkan itu. Lembah rendah sungai barat dari itu termasuk Jawa Tengah dibiarkan saja” (J.G. de Casparis, 1958).

Hipotesa yang menggambarkan Prasasti Anjuk Ladang sebagai suatu monumen kemenangan terhadap serangan musuh secara langsung tidak didukung oleh prasasti itu sendiri. Apalagi jika dikaitkan dengan jasa Pu Sindok sebagai penyelamat dan panglima perang, yang menjadikan ia dipromosikan sebagai raja. Ketika Sindok memerintahkan untuk menetapkan Watek Anjuk ladang sebagai desa Swatantra, dalam kalimat:

…………………… “sawah kakatikan iyanjukladang tutugani tanda

swatantra”, sehingga desa itu dibebaskan dari pajak, ia telah menjadi raja selama delapan tahun. Dengan kata lain jika memang terbukti sima anjuk ladang itu ada hubungannya balas budi Sindok kepada penduduk watek Anjuk Ladang, ketika masih memangku jabatan rakai Mapatih, atau rakai Halu atau Hino, prasasti manakah yang memberikan keterangan tentang kemenangan terhadap musuh dari Sriwijaya itu. Tampaknya prasasti Kinawe dari raja Wawa (928 – 929) yang berasal dari daerah Berbek tidak memberi dukungan hipotesa tersebut.

Suatu data yang tidak diragukan adalah adanya hubungan antara penetapan swatantra kepada kepala desa (Rama) di Anjuk Ladang itu, dengan sebuah bangunan suci seorang tokoh yang cukup penting yaitu : bhatara i sang hyang prasada kabaktyan i dharma samgat pu anjukladang atau samgat anjukladang. Bangunan suci itu juga disebut : sang hyang prasada kabaktyan

isri jayamarta ………………..  Sima punpunana bhatara (baris 6 dan

8) Sedang bangunan tugu kemenangan terdapat dalam kalimat : “sang hyang prasada ateherang jayastama” (14).

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa nama desa Anjukladang berkaitan dengan pejabat Watek, Rama, dan Samgat, serta bangunan suci Sri Jayamrata, barangkali sebuah Patirtan yang terletak tidak jauh dari Candi Lor sekarang. Ataukah bangunan yang disebut “sang hyang prasada kabaktyan i dharma samgat i anjukladang” itu, pada abad X tidak lain Candi Lor sekarang. Di tempat candi itu berdiri terletak desa Candirejo, disitulah pada tahun 1913, ditemukan sejumlah patung perunggu yang menggambarkan pantheon Budhisme Mahayana, dari sekte yang khas mengungkapkan tradisi kerajaan setempat. (ROD 1913: 59 gambar nomor : XII – XXIII). Penemuan arkeologis disekitar desa Candirejo tempat Candi Lor itu berdiri, membuktikan bahwa ditempat itulah pada abad X merupakan Watek Anjuk Ladang, tempat berdirinya bangunan suci “Sang Hyang Prasada Kabaktyaan i Anjukladang”, yang tertulis dalam baris 27 prasasti Candi Lor itu. Nama itu hidup terus sejak 10 abad lalu dan dalam perjalanan sejarah tetap lestari meskipun dalam ucapan yang telah berubah.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Harimintadji, dkk. Ngamjuk dan Sejarahnya, Ngnjuk :Keluarga, 1994. hlm. 56-

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Nganjuk, Sejarah, Th. 1994 dan tag , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar