Sandur Ronggo Budoyo, Kabupaten Tuban


Pertunjukan Sandur Ronggo Budoyo

Pertunjukan Sandur atau Sandur merupakan sebuah pertunjukan (baca: seni pertunjukan) yang cukup populer dan khas di daerah Kabupaten Tuban. Sandur diakui sebagai icon daerah Tuban karena sifatnya yang unik dan khas. Dalam tulisan ini mengambil paguyuban Sandur Ronggo Budoyo yang dipimpin Sakru (45 tahun) desa Bektihajo, Kecamatan Semanding Kabupaten Tuban sebagai Studi kasus. Pemilihan tersebut dengan alasan bahwa Sandur tersebut merupakan satu-satunya paguyuban Sandur yang anggotanya masih ada dan aktif melakukan pementasan.

pertunjukan Sandur merupakan pertunjukan rakyat yang digelar di tanah lapang atau di halaman yang bersifat komunal. Penonton duduk di sekeliling pementasan. Tempat pertunjukan, untuk membatasai dengan penonton dipasang tali berbentuk bujur sangkar dengan sisi-sisi sekitar 4 meter, tinggi sekitar 1,5 meter. Masing-masing sisi diberi janur kuning sehingga batas itu lebih jelas. Di tengah-tengah sisi sebelah timur dan barat dipancangkan sebatang bambu menjulang ke atas dengan ketinggian sekitar 15 meter. Dari ujung kedua bambu dihubungkan dengan tali yang cukup besar dan kuat. Di tengah-tengah tali diikatkan tali yang menjulur samapi ke tanah tepat ditengah arena. Pada tali baik yang di sisi maupun di atas bambu diikatkan beberapa kupat dan lepet bagian dari sesaji. Di tengah-tengah atau titik pusat arena ditancapkan gagar mayang (rontek) dengan bendera kertas meliputi emat warna hijau (pengganti warna hitam), kuning, merah dan putih.

Waktu pertunjukan biasanya dilakukan pada malam hari dimulai sekitar jam 20.00 berakhir pada 04.00 pagi hari. Ada dua fungsi pementasan Sandur, pertama dipentaskan di tempat-tempat keramat di mana tempat para tokoh Sadur nyetri dan kedua dipentaskan di tempat umum. Pementasan di tempat keramat dengan tujuan sebagai ungkapan rasa terima kasih dan mencoba apakah tokoh Sandur sudah mendapat kekuatan tertentu. Pementasan ini dianggap wajib dilakukan pada awal musim pementasan. Sejak dahulu memang selalu begitu tidak berani meninggalkan, karena ada perasan takut bila tidak dilakukan akan mendapatkan sesuatu yang tidak diinginkan.

Pementasan untuk umum melayani permintaan orang punya nadhar (duwe ujar, atau duwe uni). Bagi orang yang mengundang tidak dipungut biaya, cukup menyediakan makan minum serta menyiapkan ubarampe sesaji dan bambu. Kalau yang mengundang tempatnya jauh perlu menyediakan transpotasi. Akhir-akhir ini Sandur diundang (ditanggap) dipentaskan di lembaga-lembaga pemerintah dan pada acara-acara tertentu dengan menerima imbalan sebagai jasa. Bila sepi tidak ada yang mengundang biasanya ada saja anggota Sandur sendiri berkeinginan untuk ditempati. Semua keperluan pementasan ditanggung bersama secara kolektif. Sudah menjadi kebiasaan bila ada pementasan Sandur tetangga sekitar tempat pementasan membawa berbagai makanan dan minuman hasil bumi mereka secara suka rela.

Penari Sandur terdiri dari empat anak gembala laki-laki yang belum akil balik atau belum dikitan. Empat anak tersebut menjadi tokoh Balong, Pethak, Tangsli dan Cawik sebagai tokoh perempuan. Untuk menjadi penari Sandur mereka harus mengikuti proses yang disebut daden yaitu selama satu minggu mereka disatukan di rumah salah satu sesepuh, tidak boleh ke luar rumah dan berpuasa. Pada saat itu disuruh menghafalkan nyanyian-nyanyian dan dialog-dialog sesuai dengan ceritan dalam Sandur. Pada hari ke tuju mereka diajak keliling nyetri ke tempat-tempat keramat untuk mendapatkan kekuatan tertentu. Setelah mereka selesai mengikuti proses daden baru dapat disebut penari Sandur. Dalam nyetri juga membawa semua peralatan yang bisa dibawa seperti pakaian penari, rontek, tali, jaranan, kendang, gong bumbung agar mendapatkan kekuatan tertentu.

Perlengkapan pentas pokok yang dimiliki meliputi, busana penari, gagar mayang atau rontek, gong bumbung, kendang, tali {blabar atau kentheng), dan jaran kepang. Dikatakan pokok karena tidak bisa didapatkan secara mendadak di tempat pertunjukan seperti peralatan lainnya bambu, meja tempat sesaji dan kursi yang bisa meminjam penduduk di tempat pementasan. Untuk uba rampe sesaji dan nasi tumpeng untuk selamatan bisa dipersiapkan dari rumah pimpinan sandur, semua harus baru tidak boleh barang yang sudah dipakai atau barang sisa. Kurang sempurnanya sesaji maupun uba rampe dianggap akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Cerita yang disajikan tetap saja yaitu tentang perjalanan seorang anak yang bernama Pethak mencari ngengeran kepada seorang juragan Germo. Jalannya cerita menggambarkan bagai mana proses menggarap ladang mulai dari buka ladang (babad alas), membajak (ngrakal), menanam (icir), menyemai (besik), memberi rujak (ngrujaki) hingga menuai (undoh-undoh). Di tengah jalannya cerita terdapat seling cerita fragmen adegan yang bersifat humor dan edukatif, seperti Jaranan, Cina dingklang, Kaki-nini, Polisi Hutan. Adegan selingan>ang bersifat simbolik adalah sindhiran yaitu bancik endog, bancik kendi, bancik dengkul, bancik pundak dan kalongking sebagai adegan penutup.

Musik Sandur oleh masyarakat setempat disebut panjak hore, terdiri dari 25 hingga 30 orang semua laki-laki. Kalau dulu sekiatr tahun 70-an jumlah panjak hore bisa mencapai 50 orang. Mereka melantun lagu-lagu vokal dari awal hingga akhir pementasan. Peralatannya atau instrumennya hanya sebuah kendang dan satu bumbung yang berfungsi sebagai kempol dan gong. Karena suara yang dominan adalah vokal ada yang menyebutnya musik mulut dan karena suaranya terrdengar

hore-hore maka disebut panjak hore. Musik mulut dari 30 orang yang menggema sepanjang malam dengan karakteristik yang khas. Dari segi musikal pertunjukan sandur mempunyai kesan yang unik dan menarik. Syairnya merupakan deskripsi (nyandra) masing-masing adegan serta apa yang dilakukan oleh penari.

Penonton merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pertunjukan. Keterlibatan penonton dalam pertunjukan mulai dari menyediakan makan dan minum bagi para pemain juga komunikasi pada dengan pemain saat pertunjukan serta ikut menyanyi bersama panjak hore. Selain itu tentang keterlibatan penonton dalam pertunjukan juga disebut di dalam resitasi tandhuk sebagai berikut:

“.. derek-derek jajar pinarak wonten ngriki sedaya, derek kula sak lebeting kentheng, sakjawining kentheng mboten wonten kula wastani. Sedaya ugi kula wastani. Gending suling, kenthung liwung kembange sukun, sintena kemawon ingkang ningali Sandur kula sageta rukun pirukun. Gending suling kenthung liwung kembange klerak, sintena kemawon ingkang ningali Sandur kula kedhah mbeta gelar piyambak-piyambak…”

(“”…saudara-saudara yang duduk berjajar di sini semuanya, saudaraku yang di dalam kentheng maupun di luar kentheng, tidak ada yang saya sebut, semua juga saya sebut. Gending suling kenthung liwung bunganya sukun, semua yang menonton Sandur saya sermua bisa rukun. Gending suling kenthung liwung bunganya klerak, semua yang menonton Sandur saya harus membawa tikar sendiri-sendiri…”).

Yang dimaksud saudaraku di dalam kentheng adalah pemain Sandur dan di luar kentheng adalah penonton. Pada kalimat “semuanya disebut” berarti tidak dibeda-bedakan. Semua penonton supaya rukun dan membawa “gelar” sendiri-sendiri. Kata “gelar” selain berarti tikar juga keperluan atau keyakinan, meskipun keperluan dan keyakinannya berbeda-beda semua dihormati.

Jalannya Pertunjukan

Pertunjukan Sandur yang dilakukan semalam suntuk dari pukul 20.00 hingga pukul 04.00 tetap menarik penonton dari awal hingga akhir. Ada penonton yang datang

justru menjelang pagi hari, karena ingin menonton adegan kalongan yang bersifat akrobatik magis. Sekitar pukul 20.00 panjak hore sekitar 20 orang masuk kalangan, mereka duduk melingkar menghadap rontek di pusat arena membelakangi penonton. Pra pertunjukan diawali dengan penyajian lagu-lagu panjak hore yang melantunkan lagu-lagu gambuh kalangan dilanjutkan gambuh pedanyangan.. Lagu gambuh kalangan syairnya berisi deskripsi (nyandra) tentang pembuatan kalangan atau arena dari awal hingga selesai. Lagu gambuh pedanyangan syirnya berisi permohonan ijin ke pada pedanyangan tempat pertunjukan dilaksanakan. Pada saat ini penonton sudah mulai berdatangan duduk di sekiling kalangan.

Pada akhir dilantunkannya lagu gambuh pedanyangan, muncul prosesi yang terdiri dari yang terdepan tukang obor, diikuti berturut-turut tukang upet (pembawa perapian untuk dupa), tukang kandhut (pembawa pakaian penari), empat penari Sandur, dan paling belakang tukang obor. Prosesi masuk kalangan berjalan sambil menari mengelilingi panjak hore dan rontek tiga kali terus keluar lagi untuk paes (rias busana). Adegan ini disebut Bendrong lugasan karena para penari masih lugasan belum rias busana penari. Pada saat menunggu penari sedang rias busana ditempat yang lain, panjak hore melantunkan lagu gambuh paras yang syairnya nyandra baagai mana penari sedang rias busana.

Setelah penari selasai rias busana keluar seperti pada prosesi pertama, meskipun penari sudah rias busana namun masih menggunakan kerudung sehingga wajahnya tidak tampak. Prosesi masuk kalangan dan berjalan sambil menari keliling tiga kali terus penari duduk bersila disebelah sesaji yang telah disiapkan, yang lain bergabung dengan panjak hore. Adegan ini disebut Bendrongan dan terus diiringi oleh lagu-lagu panjak hore. Setelah penari duduk panjak hore menghentikan lagu-lagunya,

dilaksanakan selamatan dibacakannya do’a dan tandhuk oleh juru kunci Sandur. Pada saat dibacakan tandhuk dan do’a Islam semua termasuk penonton menyahut dengan kata-kata “enggih” dan “amin”.

Bacaan doa berisi permohonan keselamatan dan resitasi bacaan tandhuk yang cukup panjang menceritakan jalannya asap (kukus) menyan madhu membubung tinggi hingga langit sap ke tujuh tempat bersemayam para bidadari. Setelah mencium harumnya menyan madhu 44 bidadari turun ke tempat pertunjukan, 4 bidadari masuk kepada penari dan 40 lainnya masuk ke panjak hore. Pada saat-saat tertentu diselingi lagu-lagu panjak hore yang syairnya juga menceritakan perjalanan turunnya bidadari tersebut.

Pertunjukan utama dimulai setelah selamatan dan pembacaan tandhuk selesai. Adegan pertama yaitu adegan simbolik bancik endog yang disebut sindhiran. Selanjutnya berturut-turut adegan babad alas (buka ladang), ngrakal (membajak), /c/r (bertanam), besik (menyemai), sambang tegai (menjenguk ladang) atau ngrujaki (memberi rujak), dan undoh-undoh (menuai). Di sela-sela tiap adegan diselingi adegan sindhiran bancik kendi, bancik dengkul dan bancik pundak. Adegan terakhir sebagai penutup yaitu bandhan diterus bandhulan atau kalongan yang bersifat magis akrobatik.

Menjelang adegan terakhir salah seorang penari laki-laki jatuh pingsan. Pada saat itu pula para penonton seolah tersentak langsung berdiri dan mendekat kalangan. Penari yang pingsan busana tarinya ditanggalkan dan diikat dengan tali, dimasukkan ke dalam kotak. Setelah beberapa saat dibuka, sudah terlepas dari ikatan, adegan ini disebut bandhan. Masih dalam keadaan tak sadar penari dibawa ke tempat tali yang menjulur di tengah arena. Penari naik ke atas dengan memanjat tali. Sampai di atas menari-nari sambil tiduran diatas tali, kadang menggelantong dengan kepala menjulur ke bawah. Panjak hore dan para penonton dengan serentak dan semangat melantunkan lagu kalongking seolah memberi semangat. Teriakan penonton terutama anak-anak dari berbagai arah “…mudun cung – mudun cung…” (turun cung) berulang-ulang, yang lain tetap melantunkan lagu kalongking.Penari kalongking mengambil ketupat dan lepet yang banyak bergelantong di tali atas dan dilemparkan ke pada penonton. Penonton berebut kupat dan lepet, bagi mereka yang mendapatkan dipercaya mendapat keberuntungan. Setelah beberapa saat penari turun dan disambut oleh juru kunci dibawa berputar-putar kalangan hingga sadarkan diri. Penari sadar memakai pakaian sehari-hari, panjak hore melantunkan lagu gambuh uleh-uleh sebagai pertanda dan pengantar para bidadari pulang ke asalnya dan pertunjukan selesai.

Ritualisasi Pertunjukan Sandur

Yang dimaksud ritualisasi pertunjukan di sini, bagai mana proses semua unsur pertunjukan beralih dari simbol profan menjadi simbol ritual atau sakral, bagai mana alur jalannya pertunjukan sebagai jalannya ritual dan bagai mana keterlibatan penonton dalam pertunjukan ritual. Dengan kejelasan uraian hal tersebut akan menunjukkan bahwa pertunjuka Sandur adalah pertunjukan ritual.

Proses Ritualisasi

Proses ritualisasi pertunjukan Sandur merupakan bagai mana proses beralihnya dari makna keseharian dunia profan masuk ke wilayah ritual dunia sakral. Berdasarkan landasan konseptual yang diacu yaitu teori van Gennep peralihan dari dunia profan ke dunia sakral melalui tiga tahap yaitu pemisahan, peralihan dan penyatuan. Proses menjadi penari Sandur melalui tiga tahap dipilih dan dipisahkan dari anak gembala yang belum kitan, masuk proses daden dan nyetri sebagai penyucian dan mendapatkan kekuatan selanjutnya^nengadakan pementasan di tempat keramat sebagai wisuda penyatuan dan diakui sebagai penari Sandur.

Demikian juga semua peralatan serta ubarampe yang dianggap sesuatu yang pokok dalam pertunjukan. Tahap pemisahan terjadi pada saat memilah dan dengan memilih penuh kehati-hatian untuk mendapat sesuatu dengan kualitas dan kuantitas tertentu sesuai dengan kebutuhan. Barang-barang harus baru belum pernah dipakai, kalau makanan masakan tidak boleh dicicipi. Kalau sudah dipersiapkan dengan kondisi tertentu sudah masuk tahap peralihan. Sesudah “diserahkan”dengan tandhuk

dan do’a pada saat selamatan sudah masuk wilayah sakral, segala sesuatu menjadi terlarang dan tabu (malatl).

Tentang tempat pertunjukan dipilih tempat yang sesuai, dipersiapkan dengan ukuran dan kondisi tertentu. Semua peralatan dipasang dan arena terbentuk. Sesaji ditempatkan pada tempatnya, di-gambuh sebagai permohonan ijin kepada pedanyangan. Setelah semua dilakukan dengan penah hati-hati baru dinyatakan syah sebagai tempat pertunjukan sandur. Semua unsur pertunjukan mendapatkan sakralisasi melalui proses yang sama. Suatu hal yang tidak dilakukan sakralisasi yaitu sesuatu yang dianggap sekedar peralatan yang tidak terkait secara fungsional dengan ritual seperti meja tempat sesaji, kursi tepat duduk penari yang biasanya meminjam penduduk disekitar pertunjukan.

No. Simbol Profan Pemisahan Peralihan Simbol Sakral
1. Anak Gembala Yang belum kita sesuaikan dengan karakter tokoh Tirakat dan nyetri Penari Sandur
2. Tempat lapangan/ halaman Dipilih, dibentuk menjadi kalangan Gambuh kalangan

Gambuh pedayangan

Tempat Pertunjukan sandur
3. Uba rampe Dipilah dan dipilh sesuai dg kuantitas & kualitas tertentu Tanduk Sesaji Pertunjukan Sandur
4. Peralatan Dipilah dan dipilih sesuai dg kuantitas & kualitas tertentu Nyetri Peralatan pertunjukan Sandur

Tabel: Proses Sakralisasi ritual.

 

Dalam tabel tampak proses peralihan unsur pertunjukan Sandur dari simbol profan menjadi simbol sakral atau ritual.

Struktur Jalannya Pertunjukan Sebagai Proses Ritual

Setelah mengkaji jalannya pertunjukan Sandur dari awal hingga selesai pertunjukan baik yang bersifat verbal maupun non verbal atau simbolik, identik dengan proses kegiatan ritual seperti pada tabel berikut:

No. Proses Ritual Adegan Verbal Adegan nonVerbal
1. Pemisahan Pra pertunjukan:  
    panjak hore melantunkan  
    Gambuh kalangan
    Gambuh pedayangan  
    Bendrong lugasan  
2. Peralihan Pra pertunjukan  
    Bendrongan  
    Slamatan-tandhuk 44Widodari turun
3. Penyatuan Masuk cerita:  
    Babad alas Bancik endog
    Ngrakal Bancik kendi
    Icir Bancik dengkul
    Besik  
    Ngrujaki Bancik pundak
  Undoh-undoh Kalongan

Tabel: Jalannya Pertunjukan Sebagai Proses

Dalam tabel tampak:

  1. Tahap pemisahan, mulai dari panjak hore melantukan lagu gambuh kalangan, gambuh pedanyangan untuk memisahkan dari tempat lama menjadi arena pertunjukan, hingga bendrong lugasan di mana penari masuk kalangan masih menggunakan pakai sehari-hari, tetapi sudah terpisah dari dunia sehari-hari.
  2. Tahap peralihan mulai adegan bendrongan, penari masuk kalangan sudah rias busana tari tetapi dikerudungi sehingga belum di tampakkan. Penari bersila, panjak hore berhenti menyanyi, dilanjutkan selamatan dan pembacaan tandhuk. Dalam resitasi tandhuk diungkapkan bidadari sebanyak 44 turun dan masuk ke penari dan panjak hore. Mereka sudah bukan dirinya seperti sebelumnya tetapi sudah beralih menjadi dirinya yang lain atau yang baru. Di sini sudah terjadi penyatuan tetapi tertutup.
  3. Tahap penyatuan mulai dengan adegan sindhiran bancik endog (menginjak telor), pecahnya telor bertarti kehidupan baru dalm dunia yang baru. Selanjutnya adegan menggarap ladang, dari buka ladang hingga menuai, merupakan gambaran proses kehidupan akan berakhir dengan memetik buahnya. Terdapat adegan diselingi sindhiran bancik kendi, bancik dengkul dan bancikpundakyang bersifat simbolik. Di sini antara adegan cerita verbal dan adegan sindhiran merupakan dwi-tunggal, ragawi dan rohani, syari’at dan spiritualitas. Pada tingkat akhir adalah menuai buahnya (undoh-undoh). Terdapat empat tingkatan capaian spiritualitas seperti dalam adegan sindhiran, namun hasil akhir tetap ada dua kemungkinan mendapat siksa neraka {dibandha) atau naik ke atas surga (kalongan).
  4. Pemain dan Penonton Sebagai Pelaku Ritual

Pemain atau pelaku pertunjukan Sandur setelah dikaji, menurut kelompoknya dapat di- klasifikasi sebagai berikut:

(1). Kelompok kasepuhan meHputv, juru kunci orang yang paling senior, menguasai tentang tehnik dan hal yang berkaitan dengan spiritual. Berikutnya yang termasuk kasepuhan yang mempunyai kemampuan berada dibawah juru kunci berturut-turut; tukang tandhuk, tukang umpet, tukang oncor, tukang kandut, dan tukang bancik. Tugas-tugas tersebut ada yang bisa dirangkap atau satu orang merangkap lebih dari satu tugas.

(2). Kelompok panjak hore; meliputi panjak kendang, panjang gong dan vokalis. Bagi vokalis tentu menguasai repertoar lagu-lagu Sandur yang cukup banyak dan beragam. Panjak hore yang sudah senior dapat membantu tugas-tugas kasepuhan.

(3). Kelompok Penari Sandur meliputi; Balong,Tangsil,Cawikdan Pethak. Penari Sandur merupakan pembawa cerita dalam pertunjukan semalam.

(4). Kelompok penonton; dalam pertunjukan Sandur penonton menjadi bagian yang integral pertunjukan seperti diungkapkan dalam tandhuk. Masing­masing individu memiliki tingkat antusias yang berbeda secara gradual.

Empat kelompok dan tingkatan pelaku pertunjukan tersebut sesuai dengan empat tingkat pada adegan sindhiran. Masing-masing memiliki tingkat keseriusan dalam mengungkapkan emosi religius meraka. Bagi penonton meskipun tidak terlibat secara langsung sebagai pelaku, tetapi mereka mencium aroma, memandang, menyentuh

mendengar apa saja yang terjadi dalam pertunjukan, sehingga membawa ke dalam suasana sakral dan membangkitkan emosi religius mereka. Dengan demikian secara emosional mereka merasa ikut terlibat dan’menyatu di dalamnya.

Ungkapan ritual yang berbentuk pertunjukan, maka masyarakat religi atau umat pelaku ritus adalah pelaku pertunjukan dan penonton secara keseluruhan (lihat Peacock, 1987:6, Murgianto, 2003:206). Keterlibatan masing-masing individu antara pemain dengan pemain, penonton yang satu dengan yang lain tidak sama. Masing-masing ada yang mengikuti mulai awal hingga akhir atau hanya bagian tertentu saja. .

 

Pertunjukan Sandur Dalam Konteks Sistem Religi Masyarakat Desa Bektiharjo. Secara umum orang menyebut pertunjukan Sandur Ronggo Budoyo desa Bektiharjo merupakan seni pertunjukan. Anggapan tersebut tidaklah salah, karena penonton bisa mendapatkan apresiasi estetik dari dari pertunjukan tersebut. Tidak hanya apresiasi estetik, tetapi juga hiburan karena banyak adegan, dialog, tingkah laku pemain yang bersifat humor dalam pertunjukan tersebut. Namun setelah dikaji dari sudut pandang religi, menunjukan bahwa pertunjukan Sandur tersebut dapat dikategorikan sebagai pertunjukan ritual. Hal tersebut tampak dari semua unsur pertunjukan, peralatan, tempat dan waktu mangalami proses sakralisasi. Struktur jalannya pertunjukan identik dengan proses ritual. Pemain dan penonton merupakan pelaku ritual. Pertunjukan ritual atau ritual pertunjukan dapat digolongkan sebagai ostensión ritual. Kegiatan ritual yang demikian, para pelaku ritus tidak saja mendapatkan pengalaman spiritual transendental tetapi juga mendapatkan kekayaan emajinasi sentuhan estetik.

Pertunjukan Sandur merupakan kegiatan ritus masyarakat desa Bektiharjo atau ungkapan emosional religius mereka yang bersifat sinkretik. Dalam proses sakralisasi peralatan Sandur, mereka menuju ke tempat-tempat keramat, pedanyangan dan cikal bakal desa. Dalam pertunjukan menggunakan sesaji yang ditujukan kepada roh-roh halus dan para leluhur. Para pelaku pertunjukan penari sandur dan panjak hore melakukan pementasan setelah mendapat kekuatan dari bidadari. Dalam selamatan Sandur dibacakan tandhuk memetri dan mohon keselamatan kepada pedanyangan, cikal-bakal, para wali, para nabi, dan dilanjutkan do’a Islam (bahasa Arab). Di sini roh halus, pedanyangan, cikal-bakal, wali, nabi, bidadari semuanya mendapatkan penghormatan dan tempat yang layak. Hal tersebut sesuai dengan kebiasaan sehari-hari masyarakat desa Bektiharjo, meskipun malakukan syari’at Islam tetapi tidak meninggalkan adat-istiadat warisan leluhurnya yang dirasakan masih relevan dengan kondisi sekarang.

TEROB Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni, Volume II ,Nomor 3. Oktober 2011

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Seni Budaya, Th. 2011 dan tag , , , , , , . Tandai permalink.

3 Balasan ke Sandur Ronggo Budoyo, Kabupaten Tuban

  1. Bisa beritahu apa bedanya dengan Sandur Madura?

  2. Ping balik: SENI PERTUNJUKAN SANDUR, KABUPATEN TUBAN | SPECTRA DANCE STUDIO

  3. Khusna berkata:

    Permisi gan/sis saya mau tanya alamat pastinya paguyuban sandur ronggo budoyo itu dimana ya?

Tinggalkan komentar