Mondreng, Kabupaten Blitar


Kesenian Mondreng

Menurut sejarahnya kesenian Mondreng berasal dari Mataram. Kesenian Mondreng sebenarnya nama asli nya adalah Mondri, yang artinya aji-aji yang ampuh. Hal tersebut dapat dilihat dari buku yang dikarang oleh Martonegoro (seorang abdi dalem Mataram) dan dijadikan pedoman untuk pementasan kesenian Mondreng. Buku tersebut bertuliskan arab pegon, berbahasa jawa dan berisi riwayat para nabi. Kesenian Mondreng yang tumbuh dan berkembang di Nglegok terutama di desa Dayu adalah pimpinan mbah Sengadi. Mbah Sengadi aslinya berasal dari Jawa Tengah, yang ikut dalam pengarahan tenaga ke Bojonegoro, dengan tujuan agar dapat pekerjaan yang layak untuk hidup, ternyata setelah sampai di Bojonegoro justru terlantar. Mbah Sengadi pergi ke Bojonegoro berbekal kesenian Mondreng, dengan membawa buku untuk pegangan pementasannya yang asli. Karena

nasibnya yang malang, yaitu dia sudah terlantar dan buku tersebut hilang, sehingga buku yang ada tinggal tiruannya. Lagi pula disetiap bulan Maulud (bulan jawa) tepatnya tanggal 12 diadakan ulang tahun terhadap kesenian Mondreng tersebut, yaitu dengan mengadakan pertunjukan kesenian ini secara gratis untuk umum.

Perlengkapan Kesenian Mondreng yang digunakan sangat sederhana, yaitu lima buah terbang dan tanpa pakaian yang khusus (seragam), jadi menurut selera masing-masing pelaku. Begitu pula pelakunya tidaklah terlalu banyak dan hanya 10 orang. Dari 10 orang pemain tersebut tugasnya dibagi sebagai berikut:

–       5 orang pemegang alat musik.

–        1 orang sebagai dalang, dan

–       4 orang bertugas sebagai ridat (penari) dan sokral (solawat atau pe­nyanyi).

Namun dalam permainannya selama pertunjukkan 1 orang tersebut tidak terus bertugas seperti itu terus hingga selesai, tetapi kalau sudah lelah bergantian tugasnya dan yang jelas, dari awal hingga akhir pertunjukkan tetap 10 orang tersebut.

Dalam setiap pertunjukkan, kesenian Mondreng pakem ceritanya diambil dari serat Ambiyo. Serat Ambiyo isinya menggambarkan tentang perjalanan kelahiran Nabi Muhammad. Bagi setiap orang yang nanggap pertunjukkan kesenian Mondreng harus menyediakan sesaji, berupa, cok bakal, pisang, kelapa, panggang ayam, dan bunceng. Pada saat pertunjukkan, sesaji biasanya ditaruh dibelakang sang dalang. Bagi penanggap kesenian Mondreng harus memberi uang tanggapan atau sering disebut memberi kas yang sifatnya keiklasan atau sukarela dan tidak mengikat.

Pertunjukkan kesenian Mondreng selalu berpedoman pada serat Ambiyo yang bentuknya berupa pupuh-pupuh gending, sehingga penampil­annya semacam cerita yang dilagukan atau ditembangkan. Melagukan atau menembangkan serat Ambiyo pada kesenian Mondreng disebut solawat. Mengingat penampilannya hanya cerita yang dilagukan atau ditembangkan, maka para pemainnya hanya duduk saja. Hanya sewaktu menginjak pada pupuh yang menceritakan tentang nenek (eyang : bahasa jawa) nya yaitu Abdul Muntolib memanggil kanjeng Nabi yang dikawal oleh 4 (empat) malaekat, terdapat adegan srokal atau solawat yang diselingi rodat (joget). Maksud melakukan hal yang demikian, adalah agar bayi atau anak kecil tidak diganggu oleh iblis.

Dalam setiap jalannya pertunjukkan diawali dalang njantur (bercerita) atau berpetuah, dilanjutkan dengan nyanyi atau nembang (solawat). Setelah selesai solawat biasanya disenggaki oleh semua pemain dengan ucapan inggih, barulah adalang njantur kembali. Sebagai contohnya dalang pertama kali untuk njantur sebagai pertanda dimulainya pertunjukan kesenian Mondreng, yaitu : Hong wilaheng awigeno mastuhu purnomo sidem. Hong pinaagka sabda wilaheng asmane dhat kang maha amisesa. Mastuhu tegese anyaritakake sidem dedep sabuana walang alisik den ira ngestokakeceritanipun sri maha raja kanjeng Nabi Rasullullah. Sedang untuk pupuh terakhir sebagai penutup dari pertukkan kesenian Mondreng adalah Lagu Sungguh Betul, yang isinya sebagai berikut: Sungguh betul Aliahmu kabeh lain telah lahir di dunia semua. Amung Allah ingkang darbe Pangeran murbeng kesemuanya di dunia ini. Selanjutnya ditutup dengan solawat Allah humma soluallahsayidina.

Dalam pertunjukkannya, kesenian Mondreng harus menghabiskan pembacaan buku serat Ambiyo tersebut, sehingga membutuhkan waktu semalam suntuk, yaitu dari jam 19.00 sampai 04.00. dengan selesainya pertunjukkan dilanjutkan kataman dari buku serat Ambiyo, serta sesaji yang disediakan dibawa oleh rombongan kesenian Mondreng tersebut.

Masyarakat Nglegok sering mempergelarkan kesenian Mondreng, selain berfungsi sebagai hiburan, tatapi juga untuk nadar. dan nadar tersebut setelah semua yang menjadi harapannya terkabul, maka bentuk nadarnya nanggapi kesenian Mondreng.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: WUJUD, ARTI, DAN FUNGSI PUNCAK-PUNCAK KEBUDAYAAN LAMA DAN ASLI BAGI MASYARAKAT PENDUKUNGNYA; Sumbangan Kebudayaan Daerah Terhadap Kebudayaan Nasional; DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN RI, 1996/1997, hlm. 54-56

 

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Blitar, Kesenian, Th. 1997 dan tag , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar