Jaranan, Kota Kediri, Jawa Timur


Nadzar Nanggap Jaranan Akhirnya Sukses Dalam Bisnis

Jaranan di daerah Kediri ternyata tak hanya sebatas sebagai seni pertunjukan. Lebih dari itu, masyarakat di sana banyak yang percaya jika nadzar nanggap jaranan akan membuat usaha menjadi lancar dan meraih kesuksesan.

JARANAN 1Suatu saat, seorang warga yang tinggal di Perak, Jombang, mengaku heran dengan temannya yang asal Kediri. Teman itu mengajaknya mendatangi rumah seorang pawang jara­nan yang ada di Kelurahan Kampungdalem, Kota Kediri. Tujuannya bukan untuk or­der nanggap jaranan, melainkan berkeluh kesah soal permasalahan usaha toko berasnya yang mengalami sepi pembeli. Di akhir obrolan, pawang jaranan yang dianggap memiliki kelebihan supranatural itu menyanggupinya untuk membantu dengan caranya. Tapi, syaratnya nanti jika usahanya itu telah sukses, sang teman harus nanggap jaranan yang di bawah kepemimpinannya.

Selang sekitar sebulan setelah peristiwa kedatangannya pada pawang jara­nan itu, usaha sang teman kembali bergairah. Toko be­rasnya ramai pembeli dan pesanannya cukup banyak dengan pengambilan dalam jumlah besar. Dan, setelah dirasa uangnya sudah mencukupi, ia pun mendatangkan seni jaranan atau kuda lumping yang asal Kelurahan Kampungdalem, Kediri, untuk pentas di rumahnya.
Acara pentas jaranan berlangsung meriah. Banyak penduduk yang ikut menyaksikan kesenian yang termarjinalkan ini. Dan, teman yang punya hajat itu tersenyum penuh kegembiraan sebab telah memenuhi janji nadzarnya. “Fenomena itu banyak sekali terjadi di Kediri. Bahkan, sekarang orang-orang di daerah Jombang yang wilayahnya berdekatan dengan Kediri, banyak yang ikut-ikutan melakukannya,” ucap teman itu kepada LI­BERTY belum lama ini.

JARANAN  2

Arief Syaifuddin Huda, pemerhati budaya, yang ting­gal di Jombang mengatakan bahwa tidak aneh jika seseorang mendatangi pawang jaranan untuk meminta bantuan atau sekedar konsultasi mengenai permasalahannya sebab seorang pawang jaranan biasanya memang mempunyai kelebihan khusus dalam hal supranatural. Bahkan, tidak sedikit dari para pawang jaranan ini, yang pekerjaan sampingannya adalah sebagai dukun atau orang pintar yang sering didatangi orang untuk berbagai tujuan.
Sedang nanggap jaranan, menurut Arief Syaifuddin Huda, bisa pula memiliki dua makna, yakni sebagai ajang promosi yang dilakukan sang pawang jaranan agar kesenian yang dipimpinnya lebih dikenal orang. Namun, bagi sebagian orang ada juga yang beranggapan bahwa jaranan adalah seni yang sakral, yang memang sering dijadikan media untuk bernadzar agar segala keinginan mudah terkabulkan.

Seperti diketahui banyak orang, jaranan merupakan salah satu tarian tradisional khas Kediri. Selain sebagai hiburan, seni jaranan juga dikenal sebagai alat pemersatu masyarakat di Kediri. Meski berupa tarian, jaranan memiliki ciri tersendiri, baik dari tarian, pakaian yang dikenakan, serta irama yang mengiringinya. Kesenian ja­ranan asli Kediri, biasa diiringi dengan berbagai alat musik, seperti gamelan, gong, kendang, kenong. Sedangkan, dilihat dari tariannya, ada 2 macam tarian yang digunakan, yaitu tarian pegon atau jawa, dan tarian senterewe yakni gabungan antara tarian jawa dengan tarian kreasi baru.
JARANAN 4Jaranan, sebenarnya menggambarkan cerita masa lalu, ketika Raja Bantar Angin, seorang raja dari Ponorogo bermaksud melamar Dewi Songgolangit, putri cantik dari kerajaan Kediri, atau yang biasa disebut juga dengan Dewi Sekartaji atau Galuh Candra Kirana. Konon, karena wajahnya jelek, Raja Bantar Angin akhirnya menyuruh Patihnya, yang bernama Pujangga Anom, seorang patih yang dikenal sangat tampan. Agar Dewi Sekartaji tidak tertarik dengan Patih Pujangga Anom, Raja Bantar Angin memintanya memakai sebuah topeng buruk rupa. Lalu Patih Pujangga Anom, datang ke Kerajaan Kediri, menyampaikan maksud rajanya. Putri Sekartaji, yang mengetahui Patih Pujangga Anom mengenakan topeng, merasa tersinggung, lalu menyumpahi agar topeng tersebut, tidak bisa dilepas seumur hidup.

Raja Bantarangin, akhirnya datang sendiri ke Kera­jaan Kediri. Sebagai gantinya, Dewi Songgolangit meminta 3 persyaratan. Jika Raja Ban­tarangin bisa memenuhi, dirinya bersedia diperistri. Tiga syarat tersebut, binatang berkepala dua, 100 pasukan berkuda warna putih, dan alat musik yang bisa berbunyi jika dipukul bersamaan. Sayangnya, Raja Ban­tarangin, hanya bisa meme­nuhi 2 dari 3 persyaratan tersebut, 100 kuda warna putih yang digambarkan de­ngan kuda lumping, alat mu­sik yang bisa dipukul bersamaan yakni gamelan. Sehingga, terjadi pertempuran diantara keduanya. Kerajaan Kediri, datang dengan membawa pasukan berkuda, yang kini digambarkan sebagai jaranan, sementara Kerajaan Ponorogo membawa pasu­kan, yang kini digambarkan sebagai Reog Ponorogo.

JARANAN 3

Di perjalanan, terjadi pertempuran. Raja Ponoro­go yang marah, membabat macan putih yang ditunggangi patih Kerajaan Kediri, dengan cambuk samandiman, hingga akhirnya melayang ke kepala salah satu kesatria dari Ponorogo. Bersamaan dengan kejadian tersebut, seekor burung merak, kemudian juga menempel dikepala kesatria tersebut, sehingga ada kepa­la manusia yang ditempeli kepala macan putih dan merak, ini yang sekarang disimbolkan Reog Ponorogo. Bahkan, dalam tarian reog, semua penari juga membawa cambuk. Sementara dalam kesenian jaranan, menggam­barkan pasukan berkuda Dewi Sekartaji yang hendak melawan Raja Ponorogo. Barongan, Celeng dan atribut di dalamnya, sebagai simbol, selama dalam perjalanan menuju Ponorogo yang melewati hutan belantara, pa­sukan juga dihadang berba­gai hal, seperti naga, dan hewan liar lainnya. 

PERTARUHAN NYAWA
JARANAN 6Sanjoyo Putro, demikian nama kelompok kesenian yang saat ini dipimpin Mariyani. Kelompok ini sendiri berdiri sejak 1990 dan merupakan reinkarnasi dari kelompok Samboyo Putro yang berdiri pada sekitar 1977. Sebelumnya kelompok Samboyo Putro adalah kelompok kesenian jaranan yang paling terkenal di wilayah Kediri. Namun karena sang pendiri yang juga sekaligus pemimpin kelompok ini meninggal, akhirnya ke­lompok ini mulai vakum. Adalah Sarpan orang yang kemudian merintis kembali berjalannya keseni­an ini. Para anggota kelom­pok ini pun dikumpulkan dan kemudian mereka memproklamasikan berdirinya San­joyo Putro. Berbagai perlengkapan yang dibutuhkan dalam kesenian ini pun ke­mudian mulai dibeli, sedang­kan perlengkapan yang lama tetap dibiarkan di rumah pemilik lamanya di wilayah Gambiran, Kediri.

Dan seolah kembali menemukan masa-masa kejayaannya bersama Samboyo Putro, undangan untuk tampil datang silih berganti ke alamat Sanjoyo Putro. Sampai-sampai para anggotanya merasa kewalahan un­tuk mengatur jadwal tampil. “Sanjoyo Putro ini berbeda dengan kelompok yang lain. Atraksi yang ditampilkan terus, terang saja lebih menarik. Terutama pada saat ndadi (kesurupan/trance, Red). Pada saat itu anak-anak akan melakukan berba­gai atraksi yang membuat jantung berdebar-debar,” ungkap Mariyani.

JARANAN 5

Atraksi dalam kondisi trance memang menjadi atraksi unggulan dari kese­nian jaranan. Karena dalam atraksi ini para anggota ke­lompok kesenian tersebut akan bisa melakukan berba­gai hal yang berada di luar nalar. Kita akan bisa melihat bagaimana para anggota ke­lompok ini bisa mengunyah pecahan kaca seperti me­ngunyah kerupuk. Atau bah­kan ada pula yang terkadang mampu memanjat pohon dengan mudah seperti seekor monyet dan kemudian melompat ke bawah tanpa mengalami cedera sedikit pun.

Dan menurut Mariyani, atraksi-atraksi seperti inilah yang menjadi andalan ke­lompok kesenian yang dipimpinnya. Karena itulah dia mengatakan bahwa tiap kali Sanjoyo Putro tampil, para penonton akan berjubel memenuhi lapangan untuk menyaksikan dari awal sampai akhir.

Hal ini pula yang menyebabkan Kastur, almarhum suaminya bersedia untuk meneruskan tongkat kepemimpinan kelompok ini saat Sarpan melepaskannya pada tahun 2000 yang lalu. Kastur sendiri sebenarnya bukanlah bagian dari anggota kelom­pok kesenian ini. Namun dia telah terlanjur jatuh cinta dengan penampilan kelom­pok ini. Sehingga hampir kemanapun Sanjoyo Putro tampil, dirinya pasti akan hadir untuk menyaksikan.

 HARI NAHAS
JARANAN 7Namun sayangnya takdir berkehendak lain. Setelah li­ma tahun dia memimpin kelompok ini, Tuhan keburu memanggilnya. Dia meninggal saat dalam perjalanan menuju ke lokasi dimana Sanjoyo Putro akan tampil. Jalanan yang rusak membuat sepeda motor yang ditumpanginya bersama salah satu anak buahnya berjalan tanpa kendali hingga membuatnya terpental jatuh dan akhirnya tewas.

Kontan saja kabar kematian sang pemimpin ini membuat Mariyani dan anak buahnya yang sudah berada di lokasi tanggapan terkejut bagai disambar petir. Sehingga tanggapan yang sedianya diadakan untuk ri­tual bersih desa tersebut dibatalkan. Dan untunglah warga desa yang memiliki hajat dan mengundangnya mau mengerti. Kepergian Kastur nyaris membuat para anggota San­joyo Putro kehilangan ken­dali. Mereka hampir mirip anak ayam yang kehilangan induknya. Bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Hal ini karena bagaimanapun, selain untuk melestarikan tradisi, bermain jaranan merupakan salah satu mata pencaharian sampingan bagi para anggota yang umumnya bekerja sebagai buruh tani ini. Karenanya mereka khawatir kalau-kalau kelompok ini nantinya akan mati seiring dengan meninggalnya sang pemimpin. Yang berarti bahwa mereka juga akan kehilangan tambahan penghasilan.

Tapi untunglah Mariyani terbilang sosok yang teguh memegang sumpah dan janji. Meski sebelumnya dia me­rasa agak ragu dengan kemampuannya dalam memim­pin kelompok ini, namun akhirnya dia bertekad bahwa dia memang harus menjalankan amanah sang suami un­tuk terus mempertahankan kelompok ini sampai akhir hayatnya. Berbagai tempat pun ia datangi untuk sekedar menawarkan jasa hiburan kesenian kelompok ini. Hasilnya pun cukup menggembirakan, hampir tiap bulan tanggapan datang ke kelompoknya.

“Jauh dekat gak masalah yang penting kelompok ini tetap bisa hidup. Karena kalau tidak, bukan tidak mungkin anak buah kami tidak bisa makan. Sebab kelompok ini bisa dikatakan salah satu sumber penghasilan mereka, selain bekerja di sawah,” tuturnya.

Namun demikian, kisah kepergian sang suami menghadap Sang Pencipta cukup memberikan pelajaran berharga baginya untuk tidak sembarangan dalam menerima order tanggapan. Dalam kelompok jaranan seperti Sanjoyo Putro memang seringkali ada satu hari yang dianggap keramat dan pada saat itu dia tidak diperbolehkan untuk tampil. Dan di kelompok Sanjoyo Putro ha­ri itu adalah hari Jumat Legi.

“Jumat Legi adalah hari di mana kita waktunya memberi makan dan yang yang menunggui perlengkapan. Biasanya pada saat itu, selain dimandikan dengan air kembang, di da­lam kamar penyimpanan akan disediakan kembang serta kemenyan,” terang Mariyani sambil menunjukkan tempat pembakaran yang terletak tepat di bawah gamelan yang berada di sa­lah satu kamar di rumahnya.

Dan pelanggaran terhadap pantangan ini berarti malapetaka. Hal inilah yang kemungkinan terjadi pada almarbum suaminya. Karena saat itu memang bertepatan dengan hari Jumat Legi, yang berarti harusnya kelompok ini tidak boleh tampil. Dan bila dipaksakan untuk tam­pil, maka bukan tidak mungkin para danyang itu akan memangsa sendiri para an­gota kelompok itu. Hal ini pula yang konon terjadi pada beberapa pemimpin kelompok ini sebelumnya, hingga akhirnya kelompok ini terus berganti pemimpin. Hanya saja peristiwa yang dialami berbeda-beda dan tidak semuanya meninggal karena kecelakaan.

MELOBI DANYANG
Keberadaan danyang penunggu perlengkapan jaranan memang bukan hal yang aneh bagi komunitas pemain jaranan. Sebab ke­beradaan mereka memang tidak bisa lepas dari peran para mahluk penunggu ini. Dalam kondisi tertentu seperti saat ndadi (trance), jelas kehadiran makhluk itu sangat diharapkan untuk memberikan kekuatan lebih pada para pemain. Sehingga mereka bisa melakukan berbagai atraksi yang luar biasa dan terkadang tidak masuk akal.

Karena itulah sebuah jamuan istimewa harus senantiasa diberikan menjelang mereka tampil, serta pada saat-saat tertentu, seperti pada malam Jumat Legi di kelompok Sanjoyo Putro. Hal ini perlu dilakukan agar bisa terjadi kerja sama yang saling menguntungkan di antara para anggota kelompok dengan para makhluk penung­gu tersebut. Dan sesaji itu adalah bagian dari lobi untuk mendapatkan dukungan da­lam kerja sama itu.

Maka dari itulah, para anggota kelompok ini tidak boleh memberikan sesaji yang asal-asalan kepada para makhluk penunggu itu. Sebab saat si makhluk itu tidak suka, bukan tidak mungkin justru malapetaka yang akan dihadapi. Hal ini seperti yang diceritakan Mariyani yang mengatakan bahwa ru­mahnya nyaris habis terbakar hanya karena salah memilih kemenyan untuk sesaji.

“Awalnya guling anak saya yang terbakar lalu coba dibawa ke dapur untuk dimatikan. Tapi anehnya bukannya mati tapi apinya justru semakin besar dan membakar sebagian dapur saya. Untunglah apinya kemudian bisa dipadamkan. Semula saya tidak menyangka kalau semua ini ada kaitannya dengan sesaji yang saya berikan. Saya menganggapnya sebagai kecelakaan saja. Saya baru sadar setelah kemudian tertidur dan bermimpi didatangi barong yang terbang berkeliling di atas kepala saya sambil bersiap untuk memangsa saya. Barulah saat itu saya sadar kalau memang menyan yang saya berikan saya ganti. Sejak dulu sesajinya selalu pakai menyan madu, tapi karena saat itu sedang tidak ada, akhirnya saya belikan menyan Arab yang harganya memang lebih murah,” kenang Mariyani.

Sejak saat itu Mariyani tidak lagi berani bermain-main dengan sang penunggu itu. Dirinya semakin menyadari pentingnya arti kerja sama dengan sang danyang. Sebab bagaimanapun selama ini dirinya telah diuntungkan secara ekonomi oleh keber­adaan makhluk-makhluk itu, melalui banyaknya undangan tanggapan yang mampir ke kelompoknya. Dan balas budi berupa sesaji yang terbaik memang layak diberikan, agar kerja sama itu bisa selalu langgeng, yang berarti nama besar Sanjoyo Putro juga pasti akan tetap berkibar. RUD-K/@-6

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil  Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur : LIBERTY, 11-20 APRIL 2012.

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Kediri [Kota], Seni Budaya dan tag , , , , , , . Tandai permalink.

9 Balasan ke Jaranan, Kota Kediri, Jawa Timur

  1. Arief Syaifuddin Huda berkata:

    Barangkali diperlukan tulisan lain mengenai sejarah dan budaya Jawa Timur saya siap membantu..

  2. ardhan berkata:

    nanggap x brapa y..??

  3. santoso berkata:

    pendiri jaranan SANJOYO putro kediri BUKAN bapak sarpan ( pemilik ke dua ) , tetapi bapak SUPARNO ( almarhum ) , selang 7-8 tahun baru dipegang sama bapak sarpan .

Tinggalkan Balasan ke Pusaka Jawatimuran Batalkan balasan