Jeruk Pame­lo


Hiasi Lahan Kering

Tiga puluh tahun silam, tidak terlalu banyak diharapkan dari petani di Desa Duwet, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Struktur tanah pertanian di sana kering, tidak subur dan tidak ada saluran irigasi, petani tidak mempunyai banyak pilihan selain menanam singkong atau menanam padi, petani terpaksa bergantung pada belas kasih alam. Minimnya sumber air dan tidak adanya saluran irigasi membuat mereka hanya mampu menerapkan sistem pertanian tadah hujan.

“Pernah saya coba agar masyarakat membudidaya­kan tanaman tebu. Walau hasilnya baik dan bisa meningkatkan taraf hidup petani, produksinya tidak terlalu maksimal. Selain itu juga pernah dicoba menanam cengkeh, namun gagal karena daerahnya tidak cocok,” ujar mantan Kepala Desa (Kades) Duwet, W Supardi.

Namun, perjuangan Mbah Supardi untuk meningkatkan taraf hidup warganya tidak pernah surut. Dia melakukan survei ke Solo dan Pacitan untuk menimba ilmu perta­nian. Akhirnya, sekitar tahun 1970an Mbah Supardi mendapat ide cemerlang. Waktu itu ia mengajak warganya bersama-sama menanam Jeruk Pamelo.

“Waktu itu saya memang sedikit keras ke warga. Saya minta mereka menanam setidaknya satu dua pohon jeruk di halaman rumah mereka. Hasilnya baru bisa dirasakan sekarang ini,” ujar Mbah Pardi tersenyum.

Saat ini, jika Anda datang ke Desa Duwet, boleh dibilang cuma ada satu jenis tanaman saja yang ditanam di sini, Jeruk Pamelo. Selain deretan tanaman jeruk yang tumbuh di sekitar desa, pada halaman setiap rumah warga sedikitnya ada dua hingga tiga pohon jeruk dengan buah yang rimbun, sebesar bola voli.

Menurut Kades Duwet, Sutrisno, saat ini 75 persen lahan pertanian di desanya ditanami pohon Jeruk Pame­lo, sisanya untuk tanaman lain dan pemukiman.

Desa Duwet memiliki luas mencapai 228 hektar. Dari jumlah itu 150 hektarnya ditanami jeruk pamelo sekitar 135.000 pohon. Rata-rata warga memiliki 0,2 ha-0,4 ha lahan dengan omzet per tahun mencapai Rp 30 juta. Saat ini sumber pendapatan utama warga memang berasal dari budi daya Jeruk Pamelo.

Desa Duwet, hanyalah salah satu sentra budi daya Jeruk Pamelo di Magetan. Menurut ketua Asosiasi Pamelo Magetan Drs Su-ratman, di seluruh Magetan terdapat sekitar 1.215 hektar tanaman, tersebar di empat kecamatan meliputi Keca­matan Sukomoro (40 persen), Bendo (35 persen), Takeran (17 persen), dan sisanya Kecamatan Kawedanan. Keempat kecamatan sentra tanaman jeruk ini sekarang dikenal dengan istilah kawasan Betasuka.

Sejak tahun 2001, tanam­an sudah tersebar di sekitar 15 kecamatan di Kabupaten Magetan. Jeruk Pamelo ini terdiri dari tiga varietas, pamelo Adas atau Namba-ngan, pamelo Sri Nyonya, dan pamelo Bali Merah.

Jeruk ini dibudidayakan pada lahan berketinggian 50 meter hingga 400 meter di atas permukaan laut (dpi). Pada tahun 2001. Pemkab Magetan mencatat sebanyak 1.222 hektar lahan atau sekitar 448.800 pohon ditanam di daerah ini. Dari 540 hektar lahan atau 216.000 pohon yang sudah berproduksi dihasilkan sekitar 22.724 ton jeruk.

“Budi daya jeruk pamelo sudah menjadi sumber pendapatan utama di empat wilayah ini. Jika dirata-rata, setiap petani bisa memper­oleh penghasilan sedikitnya Rp 1 juta setiap bulan,” ujar Suratman.

Penghasilan “rutin” per bulan sedikitnya Rp 1,1 juta. itu diperoleh jika setiap petani rata-rata memiliki lahan seluas 0,2 hektar-0,3 hektar. Jika setiap hektar terdapat

sekitar 400 pohon, maka setiap pohon menghasilkan sekitar 80 buah jeruk, per­buatnya seharga Rp 3.000,-. Setelah dikurangi biaya perawatan sebesar Rp 5 juta-Rp 6 juta per tahun, maka setiap petani memperoleh Rp 13,2 juta per tahun.

Pendapatan itu jauh lebih besar daripada petani yang menanam padi atau tebu. Walaupun masa panen padi mencapai tiga kali dalam setahun, petani hanya bisa memperoleh tidak lebih dari Rp 700.000, sementara tanaman tebu keuntungannya lebih tidak menentu lagi.

Saat ini nilai produksi Jeruk Pamelo Kabupaten Magetan mencapai Rp 54 milyar per tahun. Daerah pemasarannya merambah ke beberapa kota besar seperti Surabaya, Semarang, Solo, Yogyakarta, Bali, Bandung, dan Jakarta.

Pasar Jakarta dan Ban­dung menyerap 70 persen produksi jeruk asal Magetan. Sayangnya, lantaran dari segi penjualan kami masih tergantung pihak luar maka akan ada perbedaan harga jual di tingkat petani dan pedagang. Selisih harga jualnya bisa mencapai Rp 4.000 per buah. Para pe­dagang membeli dari petani seharga Rp 3.000 per buah sementara harga di pedagang bisa mencapai Rp 7.000. Belum lagi yang diserap di pasar induk buah dan sa­yuran di Jakarta kemudian dijual kembali ke beberapa daerah lain.

Walaupun masih belum digarap maksimal, jeruk pamelo telah diekspor ke beberapa negara seperti Taiwan, Singapura, Malaysia, dan Belanda. Ketenaran jeruk pamelo asal Magetan bahkan melebihi produk serupa asal Thailand dan Malaysia.

“Para pembeli di beberapa negara itu lebih menyukai jeruk asal Magetan lantaran rasanya lebih beragam serta bentuknya lebih besar dan bagus. Berat nya bisa mencapai 1,5 kilogram-1,8 kilogram,” tambah Suratman.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Magetan, Tirsan Yusuf mengemukakan, untuk menjadikan Jeruk Pamelo tetap menjadi ikon Kabupaten Magetan, tahun 2007 petani jeruk mendapatkan dana bantuan dari APBN sebesar Rp 350 juta untuk program pengembangan agribisnis

Dana tersebut dibagikan ke tujuh kelompok tani jeruk pamelo, masing-masing mendapatkan dana bantuan Rp 50 juta. Dana bantuan itu sifatnya bergulir. (Rijai/w)

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: POTENSI JAWA TIMUR, EDISI 3 TAHUN IX/2009, hlm. 10

Tentang Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur
Pos ini dipublikasikan di Magetan, Sentra dan tag , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar